Wartawan Tempo
SUKAR mencari bagian Jakarta yang bebas stiker, tempelan, spanduk, poster, atau baliho. Mulai iklan sedot WC, cari pembantu, badut ulang tahun, sampai propaganda partai politik setiap hari menempeli wajah Ibu Kota. Belakangan kantor-kantor pemerintah tak mau ketinggalan dalam "lomba tempel" itu.
Ketika Indonesia mendapat giliran menjadi Ketua ASEAN, departemen dan lembaga pemerintah bersemangat memajang spanduk dan baliho. Aksi ini semakin trengginas dua pekan lalu. Sewaktu Perserikatan Bangsa-Bangsa memberikan penghargaan Global Champion for Disaster Risk Reduction kepada Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, "pertandingan" pasang poster dan baliho antarinstansi pemerintah itu mencapai puncaknya. Isinya sama: ucapan selamat kepada Presiden Yudhoyono.
Sebagai media penyampai pesan, bagi saya, baliho itu sama saja dengan orang bicara melalui loudspeaker. Semakin besar baliho, kian terasa "suara" yang digemakan semakin kuat. Saya tak percaya jarak antara para menteri dan Presiden sebegitu jauhnya sampai mereka perlu "memekik". Saya juga tak percaya Presiden tak punya waktu untuk menerima ucapan selamat dari menterinya, sampai-sampai mereka perlu memajang baliho untuk mencuri perhatian Presiden di jalan-jalan raya.
Ucapan selamat bisa disampaikan langsung seusai sidang kabinet atau seusai sang menteri menghadap. Kalau dianggap kurang mantap atau terlalu lama menunggu panggilan, tak ada larangan bagi menteri sowan ke Cikeas, agar pemberian selamat kesannya khusus dan spesial. Jika niat para menteri semata-mata mengucapkan selamat, semestinya acara salaman di Istana atau Cikeas sudah bisa dianggap cukup.
Lain lagi kalau maksud pemasangan baliho atau spanduk itu lebih dari ucapan selamat. Misalnya agar "atensi" yang diberikan lewat baliho membuat Presiden semakin yakin bahwa sang menteri memang loyal dan mendukungnya. Keyakinan begini bagi Presiden semakin penting mengingat sering kali partai yang mengaku sebagai pendukung pemerintah tiba-tiba bersuara berseberangan dengan suara Istana di parlemen.
Bayangkan betapa kikuknya menteri kabinet yang berasal dari partai yang tiba-tiba bersuara lain itu. Dalam kekikukan itu, baliho merupakan sarana yang penting untuk menunjukkan "dukungan". Dalam keadaan ini, target utama pesan di baliho tentu saja bukanlah Presiden, melainkan orang ramai. Orang banyak perlu diyakinkan dengan "suara" sekeras-kerasnya bahwa hubungan Menteri X dengan bosnya aman-aman saja. Dampak tak langsung yang diharapkan, masyarakat percaya bahwa partai tempat sang menteri bernaung pun mesra-mesra saja dengan partai pendukung utama Presiden. Baliho bisa menjadi alat propaganda yang efektif.
"Politik baliho"--ditambah pemasangan iklan di media massa dengan tema sama--memang menjadi mahal dan boros. Tapi kalkulasi politik (dan ekonomi) di balik baliho barangkali membuat biaya pembuatan bahan propaganda itu serta biaya pasang iklan di media massa bisa menjadi "sangat murah". Bagi sejumlah partai yang menempatkan menteri di kabinet, sudah lama terdengar bahwa kementerian merupakan andalan penting untuk menyokong partai.
Gampang ditebak, yang paling diuntungkan dengan "politik baliho" agaknya bukanlah Presiden atau publik, melainkan penguasa kementerian itu sendiri. "Politik baliho" jelas bukan kabar baik bagi penyelenggaraan pemerintahan kita.