Agus Dermawan T., Pengamat Budaya Dan Seni
Akhirnya mengaku, saya adalah pengarang yang diam-diam gemar "dipaksa" menerima order menulis pidato, sejak 1980-an. Pesanan itu berasal dari pemilik pabrik kue, direktur waralaba es teler, bupati, direktur jenderal, menteri, istri menteri, anak presiden, wakil presiden, sampai ibu negara.
Pekerjaan ini, walau saya lakoni dengan sepintas lalu, senantiasa dilandasi kerja serius. Karena itu, sebelum menulis naskah, selain mendiskusikan tema yang diangkat, saya menanyakan kebiasaan tokoh tersebut dalam berpidato. Adakah ia biasa dalam gaya impromptu atau pidato spontan tanpa persiapan. Atau biasa tampil skriptif, yakni pidato dengan membaca naskah. Atau bergaya memoriter, pidato dengan cara menghafal naskah terlebih dulu. Atau gaya ekstemporan, dengan menyiapkan garis-garis besar di kertas kecil, untuk kemudian sebentar-sebentar diintip kala beraksi di atas mimbar.
Dari pekerjaan ini, saya lalu menyadari bahwa sebuah pidato sesungguhnya hasil kerja yang sungguh-sungguh. Pun, misalnya, pidato itu hanya diluncurkan tiga sampai lima menit. Itu sebabnya masuk akal apabila Susilo Bambang Yudhoyono, kala menjadi presiden, beberapa kali marah kepada pendengar yang mengobrol sendiri ketika ia berbicara.
Ihwal pendengar (audience) yang tak peduli dengan pidato, agaknya sudah menjadi pemandangan lumrah bagi masyarakat Indonesia. Dimaklumi, tentu ada pidato yang muter-muter dan tak layak didengar: "Sehingga terasa sebagai alat untuk menyembunyikan pikiran-pikiran rahasianya," bagai sejak dulu diduga negarawan Prancis abad ke-19, Charles Maurice de Talleyrand. Namun, bagaimanapun, pidato itu digubah lewat persiapan pikiran. Dan rasanya, hanya mereka yang "kurang pendidikan" yang tidak menghargai persiapan pikiran.
Ketidakhormatan publik Indonesia kepada pidato sudah sampai di semua lapisan. Suatu kali pada medio 2015, sebuah galeri menghelat pembukaan pameran. Tiga orang telah berpidato. Namun para tamu yang hampir semuanya kaya dan berpendidikan tinggi mengobrol semaunya, sehingga ruangan penuh bunyi bak sarang lebah. Lalu tiba giliran Heri Dono diminta berpidato. Perupa pencipta Trokomod untuk Venice Biennale ini tidak menyampaikan kalimat, namun berteriak panjang sekuat tenaga, "Hoooaaaaeeeekkkk!" Hadirin terhenyak, diam, lalu tertawa. Mereka tidak mengetahui bahwa Heri Dono marah kepada hadirin yang tunaetika.
Namun ihwal penistaan pidato ini bukan persoalan akhir-akhir ini saja. Sekitar 26 tahun silam, sosiolog-budayawan Umar Kayam sudah mengungkap kekonyolan sosial itu di koran Kedaulatan Rakyat, 23 Mei 1989. Kolom tersebut menceritakan bagaimana ia dengan semangat membacakan pidato pengukuhan dirinya sebagai guru besar di Universitas Gadjah Mada. Ia merasa pidatonya yang ilmiah namun ngepop itu didengarkan khusyuk oleh ratusan tamu. Ia sangat kecewa setelah sahabatnya yang orang Amerika melaporkan (sambil heran), bahwa yang mengikuti pidatonya hanya tiga deret kursi terdepan.
Padahal di negara-negara yang mengasuh bangsa bermartabat, pidato apa pun, apalagi dari guru besar, diapresiasi selayaknya ilmu yang tiba-tiba datang dari angkasa luar. *
Berita terkait
Jaga Persatuan, AHY Ajak Biasakan Ucapkan Terima Kasih dan Maaf
29 Juli 2017
Mantan calon gubernur DKI Jakarta, Agus Harimurti Yudhoyono (AHY) mengajak masyarakat membiasakan mengucap terima kasih dan maaf dalam beriteraksi.
Baca SelengkapnyaDeklarasi WCF 2016 Jadi Agenda Pembangunan Dunia
13 Oktober 2016
Sektaris Jenderal UNESCO, Irin Bokova, mengatakan simposium WCF harus dijadikan refleksi global.
Baca SelengkapnyaPemerintah Kirim 50 Pegiat Budaya ke Selandia Baru
12 Oktober 2016
Wakil Rektor Auckland University of Technology, Professor Nigel Hemmington, berharap kerja sama tersebut terus berlanjut.
Baca SelengkapnyaBudayawan Tegur Jokowi Soal Infrastruktur Kebudayaan
23 Agustus 2016
Para budayawan menilai, Presiden Joko Widodo sudah lupa dengan program-program pembangunan kebudayaan.
Baca SelengkapnyaBeri Kuliah Umum di UI, Begini Nostalgia Sri Mulyani
26 Juli 2016
Bekal ilmu dan pengetahuan di UI sangat membantunya memahami masalah dengan obyektif dan akurat.
Baca SelengkapnyaSri Mulyani Beri Kuliah Umum Soal Pemuda di UI Siang Ini
26 Juli 2016
Sri Mulyani akan memberikan kuliah umum di Universitas Indonesia siang ini.
Baca SelengkapnyaJJ Rizal: Orang Indonesia itu Tegas, Toleran, Setia Kawan
30 Desember 2015
Sejarawan JJ Rizal mengatakan saat ini Indonesia mengalami defisit "orang Indonesia"
Baca SelengkapnyaGus Mus: Konsep Agama, Tuhan dan Indonesia Perlu Diteliti Ulang
28 Agustus 2015
Gus Mus khawatir jangan-jangan pandangan orang-orang selama ini terhadap Tuhan dan agama itu ternyata keliru.
Baca SelengkapnyaGus Mus: Anggota DPR dan Para Pimpinan Harus Jadi Manusia Dulu
28 Agustus 2015
Gus Mus mengatakan, ada orang yang menganggap manusia adalah yang seperti dirinya sendiri sehingga sama saja menganggap yang lain bukan manusia.
Baca SelengkapnyaAda Salam Sunda Sampurasun di Markas PBB New York
19 Agustus 2015
Bupati Purwakarta, Jawa Barat, Dedi Mulyadi, memperkenalkan salam khas Sunda "Sampurasun" ketika memulai pidato kebudayaan di markas PBB.
Baca Selengkapnya