Kota

Penulis

Senin, 20 Juni 2011 00:00 WIB

Jangan sekali-kali meninggalkan sejarah
— Bung Karno, 17 Agustus 1966

JAKARTA meninggalkan sejarah, terkadang sadar, terkadang tidak. Mungkin tiap kota demikian. Setidaknya tiap kota di mana revolusi datang dan revolusi pergi.

Weltevreden yang tenang dan berpohon-pohon, daerah yang disiapkan dengan selera orang-orang mapan (tevreden berarti ”puas”), gedung-gedung kekuasaan dengan tembok putih yang tinggi seperti tak akan terganggu oleh debu dan dera waktu—kita tahu semua itu kini tak tersisa dalam ingatan kolektif. Kita menemukan tilasnya secara kebetulan, atau dengan riset yang tak mudah: Batavia dalam gambar warna sepia.

Dan bukan hanya jejak abad ke-19 yang pudar. Atau terhapus. Jika kini kita lewat Tugu Proklamasi, kita sebenarnya melihat sesuatu yang bertaut tak langsung dengan sejarah. Rumah yang dulu di dekat sana, di jalan yang dulu bernama Pegangsaan Timur—rumah yang bernomor 56 tempat Bung Karno dan Fatmawati tinggal waktu itu—sudah tak ada lagi.

Bung Karno sendiri yang melenyapkannya. Di tempat itu ia ingin menandai sesuatu yang menengok ke masa depan, bukan ke masa lalu: 1 Januari 1961 ia, presiden di pucuk kekuasaan ”demokrasi terpimpin”, mengayunkan cangkul pertama untuk mendirikan sebuah tugu berbentuk bulatan tinggi dengan pucuk berlambang petir. Sekitar 50 meter di belakangnya didirikan sebuah gedung petak, gaya arsitektur modern. Dari sinilah akan dilaksanakan ”Pembangunan Nasional Semesta Berencana”.

Masa lalu pun tersisih. Pernah di tempat itu ada tugu peringatan yang didirikan sejumlah aktivis perempuan Jakarta pada 1946, untuk memperingati setahun kemerdekaan—ketika pasukan Sekutu masih menduduki kota dan suasana tegang. Tapi sejak setahun sebelum Bung Karno mengayunkan cangkul di sana, tugu itu sudah dihancurkan.

Baru pada 1968, sekitar dua tahun setelah ia tak berkuasa lagi, jejak sejarah itu ditangkap kembali. Sejumlah tokoh perempuan yang dulu aktif dalam persiapan proklamasi, terutama Yos Masdani, mendapat dukungan Gubernur Ali Sadikin untuk mendirikan kembali tugu tahun 1946 itu. Pada 1972, renovasi selesai. Tugu kembali hadir—meskipun tanpa rumah Bung Karno yang dahulu.

Saya tak tahu persis mengapa Bung Karno menghapus petilasan yang penting itu. Mungkin karena tugu kecil itu dulu diresmikan Syahrir, penentangnya yang kemudian, di tahun 1962, dipenjarakannya: politik ingatan sering berlangsung bersama politik kekuasaan. Atau mungkin pula itu juga bagian dari keyakinan lazim seorang revolusioner. Di tahun 1930-an, seperti kita temukan dalam Dibawah Bendera Revolusi, ia menyerukan agar bangsa Indonesia menyambut ”zaman sekarang”. Apa yang disebutnya ”oude-cultuur-maniak”, kegilaan kepada kebudayaan lama, harus dicampakkan. Juga ”pikiran dan angan-angan” yang ”hanya merindui candi-candi, Negarakertagama, Empu Tantular dan Panuluh, dan lain-lain barang kuno”.

Revolusi punya cara sendiri dalam memandang waktu dan memilih lupa. Pada 1792 Revolusi Prancis menghapuskan monarki, institusi berabad-abad itu, dan menetapkan kalender baru yang dimulai dari ”tahun satu”. Ketika Khmer Merah merebut kekuasaan Kamboja pada 1975, tahun itu disebut ”Tahun Nol”. Tampaknya revolusi adalah ”instan” (l’instant) dalam gambaran Bachelard: menawarkan apa yang ”secara mutlak baru”. Tiap ”instan”, kata Bachelard, mewakili apa yang ab origo, murni asli.

Tentu ada yang berlebihan dalam pandangan ini. Sejarah berlangsung dalam waktu, dan waktu memang terdiri atas deretan ”instan”—tapi tiap ”instan” tak pernah berbatas mati dengan ”instan” lain. Yang memisahkan hanya membran yang dengan mudah tembus dan bergerak terus. Saya tetap menyukai baris-baris puisi T.S. Eliot, penyair yang mengikuti kuliah umum Bergson tentang waktu di College de France di awal abad ke-20:

Time present and time past

Are both perhaps present in time future,

And time future contained in time past.

Ingatan tak bisa dipilah-pilah. Ia bergerak, bersama waktu yang bagaikan arus sungai yang deras: tampak koheren dari luar, tapi sesungguhnya kelipatan yang beraneka, tak terbilang, saling menyusup, berbenturan, saling mengubah.

Tapi apa boleh buat: manusia perlu pegangan yang praktis dan jelas. Manusia perlu titik-titik perhentian, betapapun cuma dalam peta di pikirannya. Ia perlu mengambil jarak dari pengalaman, dari waktu—ya, agar bisa mengalahkan waktu.

Itulah yang diinginkan revolusi: menang atas masa lalu, menang atas masa depan.

Tapi bukan hanya revolusi yang berniat demikian. Aneh atau tak aneh, juga kapitalisme. Juga kekuasaan politik yang melupakan revolusi.

Maka Jakarta meninggalkan sejarah—baik karena Bung Karno (yang kemudian meminta kita agar tak meninggalkan sejarah) maupun masa pasca-Bung Karno: ketika masa lalu kalah laku di perdagangan ingatan. Dan tak cuma Jakarta.

Beijing juga. Kota itu kini seakan-akan punya ”tahun nol”-nya sendiri. Dalam The New York Review of Books terbaru, 23 Juni 2011, Ian Johnson mencatat perubahan Beijing dalam gairah kapitalisme. Tapi mania perubahan tak dimulai di situ. Johnson juga mengutip dari buku Wang Jun, Beijing Record, cerita tentang nasib tragis arsitek Liang Sicheng.

Sejak awal sejarah RRC Liang mencoba menyelamatkan Beijing dari transformasi besar menjadi kota ”sosialis”. Tapi ia kalah. Pada 1955 ia dituduh ”kanan” dan dipaksa mengaku dosa. Seandainya Liang masih hidup, ia kini akan dituduh ”kekiri-kirian”.

Di manakah sejarah? Tidak selalu di kiri atau di kanan. Kota, sosialisme, kapitalisme—semua bergegas.

Goenawan Mohamad

Berita terkait

Timnas U-23 Indonesia Witan Sulaeman Punya Ritual Telpon Orang Tuan Sebelum Bertanding

1 menit lalu

Timnas U-23 Indonesia Witan Sulaeman Punya Ritual Telpon Orang Tuan Sebelum Bertanding

Saat ini Witan Sulaeman dan para pemain timnas U-23 Indonesia tengah berlaga di Piala Asia U-23 2024.

Baca Selengkapnya

Pelindo Layani 2,2 Juta Orang Saat Mudik Lebaran 2024

4 menit lalu

Pelindo Layani 2,2 Juta Orang Saat Mudik Lebaran 2024

Sebanyak 2.260.360 orang tercatat menggunakan layanan kepelabuhanan PT Pelabuhan Indonesia (Persero) atau Pelindo di 63 terminal penumpang selama periode libur panjang Lebaran, pada 26 Maret - 26 April 2024.

Baca Selengkapnya

2.089 Peserta Akan Ikuti UTBK SNBT di Itera, Ini Ketentuannya dari Panitia

14 menit lalu

2.089 Peserta Akan Ikuti UTBK SNBT di Itera, Ini Ketentuannya dari Panitia

Sebanyak 2.089 peserta akan mengikuti UTBK SNBT 2024 di Institut Teknologi Sumatera atau Itera, besok.

Baca Selengkapnya

Peneliti BRIN Pertanyakan Benih Padi Cina Mampu Taklukkan Lahan Kalimantan

18 menit lalu

Peneliti BRIN Pertanyakan Benih Padi Cina Mampu Taklukkan Lahan Kalimantan

BRIN sampaikan bisa saja padi hibrida dari Cina itu dicoba ditanam. Apa lagi, sudah ada beberapa varietas hibrida di Kalimantan. Tapi ...

Baca Selengkapnya

5 Perbedaan Jaminan Hari Tua dan Jaminan Pensiun BPJS Ketenagakerjaan

20 menit lalu

5 Perbedaan Jaminan Hari Tua dan Jaminan Pensiun BPJS Ketenagakerjaan

Ini perbedaan Jaminan Hari Tua dan Jaminan Pensiun BPJS Ketenagakerjaan dilihat dari pengertian, tujuan, manfaat, kepesertaan, hingga besaran iuran.

Baca Selengkapnya

Partai Gelora Tolak PKS Gabung Kubu Prabowo, PKB Ogah Ikut-ikutan

23 menit lalu

Partai Gelora Tolak PKS Gabung Kubu Prabowo, PKB Ogah Ikut-ikutan

Aboe Bakar mengatakan PKS ingin berbuat sesuatu bagi bangsa Indonesia setelah dua periode atau 10 tahun berada di luar pemerintahan.

Baca Selengkapnya

Kiper Timnas U-23 Indonesia Ernando Ari Minta Doa ke Ibunya sebelum Laga Semifinal Piala Asia U-23 2024 Lawan Uzbekistan

26 menit lalu

Kiper Timnas U-23 Indonesia Ernando Ari Minta Doa ke Ibunya sebelum Laga Semifinal Piala Asia U-23 2024 Lawan Uzbekistan

Ibu kiper timnas U-23 Indonesia, Ernando Ari, Erna Yuli Lestari, mengungkapkan bahwa anaknya menelponnya meminta didoakan menjelang pertandingan.

Baca Selengkapnya

The Problematic Constitutional Court Ruling

26 menit lalu

The Problematic Constitutional Court Ruling

The drama behind the Constitutional Court's ruling over the presidential election dispute.

Baca Selengkapnya

Cerita Korban Gempa Garut Bertahan di Rumahnya yang Rawan Roboh

27 menit lalu

Cerita Korban Gempa Garut Bertahan di Rumahnya yang Rawan Roboh

Korban gempa Garut bertahan di rumah mereka yang rawan roboh karena tidak ada tempat pengungsian.

Baca Selengkapnya

Alasan Masyarakat Perlu Imunisasi Seumur Hidup

27 menit lalu

Alasan Masyarakat Perlu Imunisasi Seumur Hidup

Imunisasi atau vaksinasi tidak hanya diperuntukkan bagi bayi dan anak-anak tetapi juga orang dewasa. Simak alasannya.

Baca Selengkapnya