Sudah lama saya tak mendengar kata babu. Kata itu pernah saya jadikan judul cerita pendek yang dimuat sebuah koran beroplah besar terbitan Jakarta, 1980. Wow, sudah lama sekali.
Saya memang senang istilah yang polos, apa adanya. Seperti halnya saya suka memakai kata pelacur dibanding wanita tuna susila, karena saya menganggap orang yang susilanya tuna tak cuma pelacur. Koruptor pun susilanya tuna. Lagi pula, dalam cerita saya itu, saya ingin mengatakan: "babu juga manusia", yang punya kehormatan dan layak dihormati.
Tapi banyak orang menyebut kata itu terlalu merendahkan manusia. Srimulat, yang jadi kegemaran saya sejak bermarkas di Bale Kembang, Solo, tak pernah memakai istilah babu. Mereka memakai istilah batur. Babu itu kasar.
Kerja sama Putu Wijaya (penulis skenario) dan Nya' Abbas Akup (sutradara) menjadikan film Inem Pelayan Seksi laris sampai tiga seri. Entah siapa yang "mengubah" judul film itu--kalau memang ada--karena saya sempat menduga judul awalnya "Inem Babu Seksi". Lihat adegan ketika Inem melakukan perlawanan, organisasinya bernama PBB--Persatuan Babu-Babu.
Meski babu diganti pelayan, banyak orang tetap merasakan tak enak. Kok, ada jenis pekerjaan yang hanya melayani orang, apalagi dalam urusan rumah tangga, itu sangat merendahkan. Maka kata yang dipakai kemudian adalah pembantu. Lengkapnya: pembantu rumah tangga, lazim disingkat PRT. Nah, ini dirasa klop, tak ada kesan merendahkan. Bukankah presiden, yang mengatur rumah tangga negara, juga punya pembantu yang disebut menteri? Dan bukankah menteri adalah jabatan prestisius yang banyak diincar orang?
Namun, sekarang, pembantu rumah tangga pun jadi tak enak didengar telinga jika dikaitkan dengan negeri lain, misalnya Arab Saudi. Ada puluhan PRT bermasalah di sana, beberapa di antaranya antre dipancung mengikuti jejak Ruyati. Paling tidak mengikuti jejak Darsem, nyawanya ditebus bermiliar rupiah. Jika nasib baik, pulang dengan membawa momongan bayi--entah siapa ayahnya. Negeri lain jarang punya masalah seperti ini karena, menurut mantan Ketua Pengurus Besar Nahdlatul Ulama Hasyim Muzadi, hanya Indonesia yang mengirim pembantu rumah tangga ke negara orang. Bangsa lain tidak mengirim pembantu rumah tangga, yang masih dianggap setengah budak yang bisa diperlakukan seenaknya--diperkosa, dianiaya, dikurung tanpa makan, dan seterusnya.
Indonesia, taman firdaus yang alamnya kaya-raya, ternyata dipermalukan dengan mengekspor pembantu rumah tangga, padahal sudah tak lagi disebut babu. Bukan saja rendah di mata orang asing, sesama kita pun masih tega merendahkan PRT ini. Dengar pernyataan Duta Besar Indonesia untuk Arab Saudi, Gatot Abdullah Mansur, saat rapat dengar pendapat di Komisi I DPR, Kamis pekan lalu, "Tenaga kerja yang dikirim ke Arab Saudi adalah KW-3, bukan KW-1." Bagi yang pernah membangun rumah tentu tahu, keramik yang mutunya paling jelek disebut KW-3. Betapa terhinanya PRT ini dipersamakan dengan keramik. Duh, Gusti.
Jika begitu, demi tegaknya burung Garuda, hentikan ekspor PRT, meskipun yang dikirim kualitas satu (KW-1). Negeri yang luas dengan sumber daya alam yang besar ini rasanya masih bisa menampung calon-calon teraniaya itu. Kalaupun nyiur tak lagi melambai, kelapa sawit masih subur di Kalimantan dan Sumatera.
Bagaimana kalau kata babu dihidupkan lagi, untuk menggugah Presiden SBY dan Menteri Muhaimin agar punya rasa malu. Indonesia bukan negara babu, bukan bangsa budak. Negeri ini milik para juragan, negerinya para majikan, gemah ripah loh jinawi--asal diurus dengan benar.