Putu Setia
Keluarga duafa itu duduk termangu di trotoar jalan. Ibu memangku bayinya. Dua anak, laki dan perempuan, juga duduk lemas, entah itu bersaudara atau entah anak sang ibu itu. Panas terik, jalanan padat, tapi anak-anak dan perempuan itu tak menadahkan tangannya ke pengemudi mobil. Mungkin mereka lelah, mungkin juga mereka lapar dan haus. Lalu saya bergumam: "Oh, sama dong. Saya juga lapar. Kita sama-sama berpuasa. Selamat berpuasa, anak-anak." Gumaman saya begitu klise, kata yang bertebaran di jejaring sosial.
Tiba di rumah, ada undangan berbuka puasa dari seorang sahabat yang kini jadi pengusaha sukses. Buka puasa di restoran hotel bintang lima. Padahal sejam yang lalu ada pesan singkat dari sahabat wartawan, mengharap kehadiran saya pada buka puasa di sekretariat paguyuban jurnalis independen. Saya telah menyanggupinya. Saya jadi bimbang sejenak, apakah akan membatalkan buka puasa bersama para jurnalis, yang mungkin suguhannya hanya pecel lele, sayur lodeh, kolak pisang. Lalu, datang ke para konglomerat, pasti di sana ada steak ikan tuna, kambing bakar, spaghetti, dan es krim yang warna-warni.
"Apa yang kau pikirkan saat menahan lapar di bulan Ramadan ini?" Tiba-tiba kata itu seperti terngiang di telinga saya. Ini ucapan Kiai Hamam Djafar--sudah almarhum--pengasuh Pondok Pesantren Pabelan, Muntilan. Pertanyaan itu tidak ditujukan untuk saya, melainkan untuk beberapa santrinya. Namun saya ada di samping beliau, waktu itu tahun 1980-an, saya lagi belajar "perbandingan agama" dan akrab dengan beliau. Saya tak ingat apa jawaban para santri, tapi yang saya ingat kata Kiai: "Jika yang dibayangkan adalah makanan enak-enak, puasa tak begitu bermakna." Hari itu saya mendapat pelajaran bagaimana puasa bisa melatih kepekaan batin terhadap masalah sosial, kemiskinan, ketimpangan, ketidakadilan, dan sebagainya.
Ingat itu, saya jadi ingat keluarga pengemis tadi, dan saya merasa berdosa telah bergumam yang salah. Kita sama-sama menahan lapar, tapi saya pasti akan makan setelah magrib nanti, bahkan bisa memilih pecel lele atau kambing bakar. Tapi apakah dua anak itu, plus ibunya yang menggendong bayi, akan bisa makan, meskipun tak perlu pecel lele apalagi kambing bakar? Terus-terang saya tak yakin.
Berjuta-juta orang lapar karena kemiskinan, bukan lantaran puasa Ramadan atau merayakan Nyepi. Dan kita lalai, sebagian besar tak acuh, karena--mengutip Bimbo--kita punya mata tetapi tidak melihat (kesengsaraan itu), kita punya telinga tetapi tidak mendengar (kepedihan itu). Yang kita lihat saat bulan Ramadan adalah "Lebaran Sale" dan sejenisnya. Dan saat umat Hindu berpuasa, yang dilihat adalah "Bazar Nyepi". Di situ berbagai makanan lezat dan barang konsumtif dijajakan. Puasa tak lagi bermakna, karena batin kita tak diolah untuk peka terhadap nasib sesama, begitu kata bijak Kiai Hamam.
Tapi apa bentuk kepedulian kita? Mengumpulkan kaum papa, lalu melemparkan makanan ke arah mereka, dan kita terhibur melihat kaum papa saling berebut dan saling injak, bak memberi makan pada sekumpulan ayam? Atau kita mendatangi fakir miskin, memberikan kardus mi instan, sambil mengajak wartawan televisi agar disiarkan secara luas bahwa kita sudah menjadi dermawan agung? Puasa melatih kita untuk jujur, ikhlas, bukan dengan pamrih--lagi kata bijak Kiai Hamam.
Saya jadi terganggu dengan buka puasa di hotel mewah. Syukur banyak tempat berbuka yang peduli kepada kaum miskin seperti masjid, wihara, aula kampus, dan tempat lainnya lagi. Lapar bersama-sama, mari upayakan kenyang yang tidak berbeda.