Putu Setia
Saya tak sabar menunggu 2014, tahun yang penuh hiruk-pikuk. Kepada sahabat Facebook, saya tuliskan curahan hati ini dengan kalimat: "Kutunggu 2014 dengan gelisah."
Teman saya menanggapi serius. "Jangan gelisah," tulisnya. "Banyak orang terlalu berharap ketika Presiden akan me-reshuffle kabinetnya. Harapan itu berlebihan karena mereka semestinya sudah tahu sepak terjang Presiden yang sudah tujuh tahun memerintah negeri ini. Seharusnya harapan itu tidak diletakkan terlalu tinggi, biasa-biasa saja, atau tanpa mengharap."
"Apa yang Anda maksudkan?" balas saya dengan spontan. Teman saya menulis: "Ya, pada akhirnya kabinet itu hanyalah hasil kompromi politik. Orang ditempatkan bukan dengan melihat keahlian dan pengalamannya, tapi siapa yang bisa didepak dengan risiko kecil, siapa yang mau ditaruh di mana. Bergesernya Marie Pangestu dan Jero Wacik, misalnya, adalah bukti menempatkan orang bukan pada bidangnya. Dicopotnya Fadel Muhammad dan Patrialis Akbar, bukti bahwa risikonya kecil. Menteri yang menjadi ketua umum partai berisiko besar kalau diutak-atik. Nah, ini kan tujuannya tak terkait dengan kesejahteraan rakyat, ini hanya kabinet untuk ketenangan Presiden."
"Itu tidaklah menjadi pikiran saya, yang jelas 2014 bakal seru," tulis saya. Teman saya cepat membalas: "Bagus, tak usah dipikirkan terlalu serius. Maksud saya, sampai kita kehilangan akal. Yang penting adalah selama tiga tahun menunggu 2014 ini keadaan tidak sampai krisis amat. Bahwa kesejahteraan rakyat tak akan bertambah baik, korupsi masih tetap banyak, ya, sudahlah. Mau bilang apa lagi kalau pemerintah tak mampu mengatasi semua itu. Yang perlu dijaga adalah situasinya tidak jauh lebih buruk dibanding sekarang. Mengganti pemerintah di tengah jalan ongkosnya lebih besar dan merusak tatanan yang sudah ada."
Kali ini saya tak membalas. Yang saya pikirkan beda. Tapi teman saya terus melanjutkan: "Betul, kita harus memelihara kesabaran menunggu 2014. Bahkan saya sampai pada kesimpulan, prestasi terbesar Presiden kita sekarang ini adalah membuat kita sabar. Sabar menunggu kapan menteri yang bolak-balik diperiksa Komisi Pemberantasan Korupsi ikut dicopot, sabar menunggu kapan kepala penjara dipecat karena tak mampu melenyapkan bisnis narkotik di penjara, sabar menunggu tertibnya anggota parlemen menghadiri rapat, dan beribu-ribu kesabaran lainnya. Padahal, kalau saja kita tidak menganggap semua itu pelajaran bersabar, penanganan kasus tersebut mudah sekali, hanya dibutuhkan keberanian dan tindakan tegas."
"Apa sudah ada survei siapa yang menang pada 2014?" tulis saya. Teman saya membalas: "Saya tak begitu percaya pada survei dikaitkan dengan kemenangan. Survei mengenai kepercayaan rakyat kepada partai, misalnya, bisa saja mencerminkan apa yang terjadi saat itu. Tapi, pada saat menentukan kemenangan, yakni lewat pemilihan umum, pemilihan presiden, serta pemilihan gubernur dan bupati, yang bicara uang. Siapa yang bisa memberi uang kepada rakyat yang punya hak pilih, dia yang menang. Karena itu, yang penting dipikirkan sekarang ini bagaimana membuat sistem agar politik uang berkurang, bagaimana mendidik rakyat agar betul-betul memilih pemimpin yang benar."
Saya jadi bingung: "Anda menulis soal apa, sih?" Balas teman saya: "Ya, menunggu 2014 itu, menunggu pemilihan umum dan pemilihan presiden." Langsung saya balas: "Anda salah besar, saya sudah malas mengurusi politik, saya sudah muak dengan ucapan politikus yang tak bisa dipegang. Yang saya tunggu pada 2014 itu adalah bola, Piala Dunia Brasil."