Heri Priyatmoko, Dosen Sejarah Fakultas Sastra Universitas Sanata Dharma
Sehari-hari, Pegunungan Lawu tampak hijau dan anggun. Tapi, kemarin, parasnya bersalin merah dan mencemaskan. Sebagaimana diberitakan Koran Tempo edisi 26 Agustus lalu, gunung yang berada di perbatasan Provinsi Jawa Tengah dan Jawa Timur ini dilalap api-yang mengamuk membakar hutan dan semak belukar, bahkan merembet ke Karanganyar.
Gunung Lawu dalam pandangan masyarakat Jawa bukanlah tumpukan tanah yang menjulang tanpa makna. Sejak periode Hindu-Buddha sampai Mataram Islam, gunung yang menawarkan pemandangan elok ini-selain Gunung Merapi-dianggap sebagai kiblat. Adanya bermacam ritual gunung dan penempatan Candi Sukuh-Cetho di bukit Lawu ialah bukti historis bahwa raja dan masyarakat kuno menaati konsep segara-gunung, yang membawa pesan harmoni lingkungan.
Nenek moyang mewanti-wanti agar manusia senantiasa merawat gunung sepanjang masa jika tidak mau alam murka. Larangan menebangi pohon membabi-buta dan mengeruk tanah perbukitan seenaknya memang sengaja diciptakan demi mewujudkan keselarasan antara jagat raya (makrokosmos) dan dunia manusia (mikrokosmos) melalui petunjuk astrologi, upacara persembahan, dan gagasan.
Penekun sejarah terkemuka, Robert Heine Geldern, lewat buku klasik Konsepsi tentang Negara dan Kedudukan Raja di Asia Tenggara (1982) mengudar gagasan perihal gunung yang dipandang sakral. Gunung Meru yang dipercaya sebagai pusat jagat raya-merujuk pada susunan Buddhisme, gunung ini dikitari tujuh barisan pegunungan-adalah yang pertama diulas. Di luar rantai pegunungan, dijumpai benua bernama Jambudwipa sebagai tempat tinggal umat manusia. Sampai di tlatah Jawa, pemahaman tersebut dikembangkan tanpa ada nafsu mengesampingkan keberadaan gunung.
Syiwa dianggap sebagai dewa gunung, dan semua penguasa kerajaan adalah inkarnasi Syiwa. Sajak Jawa termasyur abad XIV, "Nagarakertagama", menuturkan kepada anak-cucu bahwa kelahiran Raja Rajasanagara dari Majapahit (1350-1389 M) ditandai dengan kejadian letusan gunung api. Peristiwa alam tersebut dimaknai: raja yang baru saja membuka kelopak mata dan melihat terangnya dunia itu merupakan titisan Batara Girinata atawa Syiwa.
Keharusan masyarakat menghormati gunung dikekalkan dalam sepucuk gagasan bahwa raja sebagai junjungan warga disamakan dengan gunung. Mata kanan raja mewakili matahari, mata kirinya bulan, dan tangan berikut kakinya keempat mata angin. Lantas, mahkota yang runcing melambangkan puncak gunung. Dan selop adalah representasi bumi.
Fakta kultural di muka membulatkan pandangan raja laksana sumbu jagat raya. Alam pemikiran yang demikian ini selanjutnya melahirkan gelar Paku Buwono (Paku Dunia) yang dikenakan penguasa terakhir Keraton Kartasura dan Keraton Kasunanan Solo sampai kini. Karena raja dilukiskan mirip dengan gunung, siapa pun di masa lalu yang mendekati istana kudu menyatakan penghormatan dengan turun bila naik kuda, menutup payung, dan menundukkan diri ke arah puncak runcing istana.
Begitulah ajakan mulia dari leluhur agar tak lelah memelihara gunung sampai diterapkan dalam aturan perilaku sehari-hari. Gunung Lawu bukan hanya tempat rekreasi dan latar ber-selfie. Ia menyimpan harmoni sekaligus petaka bila kita emoh merawatnya. Jagat cilik bakal porak-poranda kalau kita melecehkan gunung dengan mengeksploitasinya tanpa henti. *
Berita terkait
Amerika Perkuat Infrastruktur Transportasinya dari Dampak Cuaca Ekstrem, Kucurkan Hibah 13 T
10 hari lalu
Hibah untuk lebih kuat bertahan dari cuaca ekstrem ini disebar untuk 80 proyek di AS. Nilainya setara separuh belanja APBN 2023 untuk proyek IKN.
Baca SelengkapnyaPertama di Dunia, Yunani Berikan Liburan Gratis sebagai Kompensasi Kebakaran Hutan 2023
18 hari lalu
Sebanyak 25.000 turis dievakuasi saat kebakaran hutan di Pulau Rhodes, Yunani, pada 2023, mereka akan mendapat liburan gratis.
Baca SelengkapnyaBNPB Ingatkan Banyaknya Kasus Kebakaran Hutan dan Lahan di Sumatera
43 hari lalu
Dari data BNPB, kasus kebakaran hutan dan lahan mulai mendominasi di Pulau Sumatera sejak sepekan terakhir.
Baca SelengkapnyaRisiko Karhutla Meningkat Menjelang Pilkada 2024, Hotspot Bermunculan di Provinsi Rawan Api
47 hari lalu
Jumlah titik panas terus meningkat di sejumlah daerah. Karhutla tahun ini dinilai lebih berisiko tinggi seiring penyelenggaraan pilkada 2024.
Baca SelengkapnyaPenugasan Jokowi, BMKG Bentuk Kedeputian Baru Bernama Modifikasi Cuaca
48 hari lalu
Pelaksana tugas Deputi Modifikasi Cuaca BMKG pernah memimpin Balai Besar TMC di BPPT. Terjadi pergeseran SDM dari BRIN.
Baca SelengkapnyaTentang Musim Kemarau yang Menjelang, BMKG: Mundur dan Lebih Basah di Banyak Wilayah
48 hari lalu
Menurut BMKG, El Nino akan segera menuju netral pada periode Mei-Juni-Juli dan setelah triwulan ketiga berpotensi digantikan La Nina.
Baca SelengkapnyaMendagri Tito Karnavian Minta Pemda Susun Regulasi Terkait Karhutla
48 hari lalu
Regulasi dinilai penting karena akan mempengaruhi perumusan program dan anggaran penanganan kebakaran.
Baca SelengkapnyaPara Menteri Sudah Rapat Kebakaran Hutan dan Lahan, Ancang-ancang Hujan Buatan
49 hari lalu
Saat banyak wilayah di Indonesia masih dilanda bencana banjir, pemerintah pusat telah menggelar rapat koordinasi khusus kebakaran hutan dan lahan.
Baca SelengkapnyaSuhu Udara Global: Bumi Baru Saja Melalui Februari yang Terpanas
53 hari lalu
Rekor bulan terpanas kesembilan berturut-turut sejak Juli lalu. Pertengahan tahun ini diprediksi La Nina akan hadir. Suhu udara langsung mendingin?
Baca SelengkapnyaKebakaran Hutan Kerap Terjadi di Sumatera dan Kalimantan, Ini Cara Antisipasi Karhutla
3 Maret 2024
Kebakaran hutan kerap terjadi di beberapa daerah di Pulau Sumatera dan Kalimantan. Bagaimana cara mengantisipasinya?
Baca Selengkapnya