Selalu saja ada kabar terjadinya penyelewengan di Dewan Perwakilan Rakyat. Kali ini soal manipulasi kunjungan kerja. Para anggota Dewan itu diduga melakukan kunjungan kerja fiktif yang berpotensi merugikan negara senilai Rp 945 miliar. Jika nantinya dugaan ini terbukti, penyelesaian hukum harus dilakukan. Tak cukup hanya membawanya ke sidang majelis etik.
Dugaan terjadinya penyelewengan itu muncul dari hasil analisis Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) ihwal enam jenis kunjungan kerja DPR selama paruh pertama 2015. Keenam kunjungan kerja itu adalah persidangan III dan IV 2014-2015, persidangan I dan II 2015-2016, enam kali kunjungan kerja di luar masa reses 2015, serta kunjungan kerja sekali setahun.
Hasil pemeriksaan tersebut menunjukkan beberapa kejanggalan. Pertama, minimnya laporan pertanggungjawaban. Dari 545 anggota, hanya puluhan yang membuat laporan kegiatan kunjungan kerjanya. Mereka yang melaporkan ini pun kebanyakan hanya menyertakan bukti kuitansi penerimaan uang, sedangkan laporan belanja dan kegiatan tidak disertakan.
Ada dua kemungkinan mengapa mereka tidak melapor. Pertama, bisa saja kunjungan kerja terjadi tapi mereka malas menyusun laporan. Kemungkinan lain, kunjungan hanya diwakilkan kepada staf khusus atau malah sama sekali tidak pernah ada. Kemungkinan mana pun yang terjadi, hal ini tetap penyelewengan.
Indikasi lain penyelewengan adalah temuan tiket pesawat fiktif senilai Rp 2,05 miliar. Tiket-tiket yang tak terkonfirmasi itu menunjukkan adanya manipulasi biaya transportasi.
Anggaran kunjungan kerja anggota DPR tidak kecil. Untuk anggaran tahun 2015, misalnya, angkanya Rp 1,24 triliun. Jumlah itu dibagi ke setiap anggota untuk mengunjungi konstituen pada masa reses. Dalam setahun, mereka mendapat lima kali masa reses. Di luar itu, masih ada anggaran kunjungan non-masa reses. Pos-pos inilah yang rawan dimainkan dengan melakukan kunjungan kerja fiktif.
Parlemen dan fraksi-fraksi di DPR seharusnya mendukung penelusuran temuan BPK ini. Janganlah karena pelakunya sesama kolega lalu mereka saling melindungi. Menganggap kasus ini sekadar kesalahan administrasi akan kian merusak kredibilitas lembaga parlemen yang selama ini memang sudah jatuh.
Pada Juni nanti, BPK akan merampungkan hasil pemeriksaan terhadap anggaran DPR 2015. Sudah pasti, jika ada indikasi tindak pidana korupsi-termasuk dalam kasus kunjungan kerja fiktif ini-laporan itu akan sampai juga ke penegak hukum. Penegak hukum tak boleh ragu mengusut kasus ini sebagai kejahatan korupsi. Jika tidak, modus seperti ini akan terus diulang. Apalagi saban tahun anggaran pos kunjungan kerja semakin besar.