Putu Setia
Gerhana bulan semalam istimewa. Orang menyerbu pantai menyaksikan gerhana di atas air. Saya tetap di kampung, bulan terbit di lereng gunung.
"Ya, istimewa karena tidak larut malam. Apakah suasananya meriah?" tanya Romo Imam, begitu saya usai menceritakan fenomena alam itu lewat telepon.
"Meriah? Ya, biasa saja. Ada orang yang menatap langit, ada yang asyik di kamar menonton sinetron. Maklum, di kampung, tak satu pun yang memotret, wong mereka tak paham apa indahnya gerhana."
"Ada yang memukul kentongan? Ada yang melemparkan air ke atap rumah, melakukan ruwatan dengan membersihkan diri dari air yang jatuh dari atap?"
Saya tercenung sejenak. "Tak ada. Itu kan cerita setengah abad lalu, ketika saya bocah. Bahkan saya ingat memukul baskom keras-keras. Kata Ibu, bulan dicaplok Kala Rawu, raksasa jahanam, jadi perlu diusir dengan bunyi-bunyian keras, ha-ha-ha?."
Romo ikut tertawa. "Tradisi leluhur kita di Jawa dan Bali sudah tak berbekas," katanya. Saya jawab, "Ya, karena itu dongeng konyol."
"Tapi Kala Rawu masih ada, banyak orang menjadikan fenomena alam itu sebagai saat yang baik untuk membersihkan rohani, ya, semacam ruwatan di masa lalu," kata Romo.
Saya tak merespons. "Kala itu artinya waktu," ujar Romo. "Rawu itu malam atau gelap. Pada saat sinar menyejukkan ditutupi oleh kegelapan, ketika itu orang semestinya meruwat diri dengan melakukan introspeksi, apa sebenarnya yang salah. Ini harus diketahui agar kegelapan bisa diusir dan sinar kembali muncul."
"Waduh, saya tak paham," kata saya. Romo melanjutkan, "Ya, kita ambil contoh gampangan. Presiden SBY sudah berjanji akan menjadi orang terdepan memberantas korupsi. Ketika rakyat berdemo di istananya menuntut koruptor ditindak tegas, kan mestinya SBY keluar dan berseru, 'Ayo, kita sama-sama memerangi koruptor.' Jadi tak perlu ada orang bakar diri. Ketika Menteri Hukum ingin membuat jera koruptor dengan menghapus remisi dan bebas bersyarat, anggota DPR seharusnya mendukung. Tapi kok malah tidak, bahkan mencecar Menteri, hanya karena teman anggota DPR itu sedang ditahan dengan status koruptor. Ketika rumah Anas Urbaningrum mau disegel massa antikorupsi, Anas kan semestinya keluar, lalu mengajak massa: 'Ayo kita ke KPK, periksa saya, pertemukan saya dengan Nazaruddin, siapa yang benar dan siapa yang ngaco.'"
"Ada kegelapan yang menutupi sinar baik," kata Romo lagi. "Sinar baik itu katakanlah tekad memberantas korupsi. Dari Presiden, Menteri, wakil rakyat, hingga mahasiswa semuanya bertekad memberantas korupsi. Tapi, begitu koleganya jadi koruptor, mereka langsung membela. Sebenarnya mereka itu betul-betul antikorupsi atau tidak?"
"Sekarang semua orang bilang antikorupsi. Koruptor dimiskinkan, buatkan 'kebun koruptor', usut skandal Century, seret pengemplang pajak, tangkap Angelina, tangkap Muhaimin, eh, malah Nazaruddin didukung. Ini kan terbalik."
"Romo," saya menyela, "Nazaruddin didukung maksudnya supaya terus bercerita siapa saja yang menilap uang negara." Romo langsung pula menyela, "Ya, tapi kan ada gilirannya. Selesaikan kasus satu per satu. Abraham Samad benar, harus ada prioritas. Yang tak benar dari Samad adalah dia mengecam Busyro terlalu banyak bicara, sedangkan dirinya tiap jam mengobral janji. Sami mawon."
"Mari kita mengusir Kala Rawu, meruwat diri dengan bertanya kepada diri sendiri: kita ini sebenarnya korup atau tidak?" kata Romo. Saya mau menanggapi, tapi Romo duluan bicara, "Sudah, ya, sebentar lagi Barca melawan Real Madrid. Ini lebih menarik daripada ngomongin koruptor membela koruptor."