Oleh Toriq Hadad
Wartawan Tempo
PERNAH dengar Muaro Jambi? Saya belum pernah mendengarnya sebelum berkunjung ke Jambi pertengahan pekan ini. Saya juga baru tahu di sana ada kawasan percandian bersejarah. Lokasinya sekitar 40 kilometer dari pusat kota, bisa ditempuh sejam berkendara. Sepanjang jalan terlihat kebun kelapa sawit, juga pohon duku dan durian. Tidak ada pintu gerbang. Petunjuk lokasi serba seadanya. Saya tak merasa sedang memasuki kompleks yang masuk "daftar tunggu" UNESCO sebagai salah satu Warisan Dunia ini, apalagi karcis masuknya hanya Rp 3.000.
Kawasan percandian itu begitu lapang dan asri. Rumputnya dipotong pendek. Bau harum mangga "bacang" tercium keras dari sederet pohon yang berdampingan dengan durian dan duku. Saking luasnya, untuk mengitari jalan kecil yang menyambungkan candi-candi itu ada penyewaan sepeda. Seorang biksu muda berkepala plontos berkeliling dengan membonceng motor. Serombongan peziarah menaburkan bubuk beras dan gula di beberapa tempat, kabarnya untuk semut dan makhluk kecil lainnya.
Di kawasan ini para ahli menaksir ada 82 candi--sebagian besar masih tertimbun di bawah tanah. Candi terdekat yang tampak dari jalan masuk adalah Candi Gumpung. Pertama kali adanya candi yang diduga dibangun pada abad ke-9 sampai ke-10 ini disebut oleh peneliti purbakala F.M. Schnitger, yang kemudian menulis buku Forgotten Kingdoms in Sumatra pada 1989. Candi Gumpung hanya satu dari 12 candi yang bisa dipugar di area 2.600 hektare itu. Dari sejumlah arca, prasasti emas, mata uang logam, dan artefak lain, diketahui bahwa Muaro Jambi merupakan salah satu lokasi penting penyebaran agama Buddha di Asia Tenggara. Kawasan yang dibangun antara abad ke-7 dan ke-13 itu diduga "terbenam" banjir lumpur Sungai Batang Hari, yang letaknya tak jauh dari lokasi itu.
Kawasan ini semacam "pesantren" Buddha, terutama sekte Tantrayana dari aliran Mahayana, yang sekarang lebih dikenal sebagai Tibetan Buddhism. Benda-benda sejarah yang ditemukan di lokasi itu menunjukkan hubungan yang erat antara Muaro Jambi dan orang-orang India, Persia, Cina, Burma, Kamboja, Vietnam, Siam, dan Arab.
Muaro Jambi jelas berpotensi besar mendatangkan wisatawan. Penganut ajaran Buddha di dunia ditaksir 380 juta orang, lebih dari 90 persen ada di Asia. Bila 1-2 persen saja setiap tahun datang berziarah, Muaro Jambi akan menjadi penyumbang besar pendapatan daerah. Apalagi provinsi penghasil sawit dan karet itu sedang berjuang mengejar Sumatera Selatan dan Riau, dua tetangganya yang ekonominya tumbuh sangat pesat.
Tapi pengelolaan kawasan percandian itu serba memprihatinkan. Dana APBN untuk pemugaran tak memadai. Presiden Yudhoyono dan Ibu Negara berkunjung ke sana akhir September tahun lalu dan menetapkan kawasan itu sebagai Kawasan Wisata Sejarah Terpadu. Tapi tak ada yang berubah. Sebagian lokasi masih dikuasai penduduk. Kegiatan pabrik penampungan minyak sawit mentah di lokasi percandian masih normal-normal saja. Tempat penumpukan batu bara (stockpile) tak juga berkurang kegiatannya, apalagi berpindah lokasi. Protes masyarakat, termasuk kalangan seniman Jambi, agar percandian dibebaskan dari pabrik dan perumahan, tak membawa hasil.
Saya teringat kasus batik. Kita baru ribut setelah Malaysia mengklaim batik sebagai miliknya juga. Jangan-jangan perlu ada negara lain yang mengklaim percandian Muaro Jambi sebagai bagian dari budaya mereka. Apalagi memang ada pertalian sejarah. Percandian ini dibangun oleh Kerajaan Sriwijaya dan juga Melayu Kuno--yang wilayah kekuasaannya membentang luas sampai ke Malaya. Kalau ada klaim itu, yakinlah, DPR akan mencak-mencak, pemerintah akan menggulung lengan baju tinggi-tinggi, mungkin akan muncul Front Penyelamat Muaro Jambi. Barangkali, sayang sekali, hanya dengan cara begitu Muaro Jambi merebut perhatian pemerintah dan kita semua.