Putu Setia
Yang mulia Romo Imam. Saya kehilangan Romo setelah Romo balik ke Karanganyar, menetap di padepokan yang asri di Dusun Kemuning, di bukit teh Gunung Lawu. Dengan berat hati surat ini saya tulis setelah subuh, seperti kebiasaan kita berbincang di waktu lalu. Mau apa lagi, untuk BBM-an tak mungkin, saya tak punya BlackBerry.
Lagi pula saya rindu menulis surat. Terpikir tadinya menulis surat untuk Presiden, tapi saya ragu apakah saya benar-benar tidak kehilangan Presiden, saat ini? Kalaupun Bapak Presiden itu ternyata tak hilang dari memori saya, pastilah beliau sangat sibuk. Sibuk memikirkan partainya, partai idola kita--dulu, empat tahun lalu.
Yang mulia Romo. Saya sedang kena penyakit lupa, penyakit yang mewabah sekarang ini. Kadang lupa kalau negeri ini masih punya presiden--begitu banyak masalah kok seperti tak ada yang mengurus. Juga lupa apakah sebelum ini Ibu Megawati, Bapak Jusuf Kalla, Prabowo, Wiranto, sudah pernah jadi presiden atau belum? Atau hanya jadi calon presiden, lalu kalah? Saya lupa, apakah Ical Bakrie dan Hatta Rajasa masih ketua umum partai? Yang saya ingat, tokoh-tokoh itu tetap digadang-gadang untuk bertarung dalam pemilu dua tahun lagi. Yang menggadangnya adalah pebisnis survei.
Romo yang mulia. Saya sebut pebisnis survei karena, kalau namanya tak dimasukkan dalam pertanyaan, bagaimana responden memilihnya? Saya mungkin salah, karena mudah dibantah: bukankah sebelumnya masyarakat yang disuruh memasukkan namanya? Ya, betul. Tapi kalau diberi catatan "jangan pilih nama-nama itu karena sudah kedaluwarsa", misalnya, kan juga tak apa-apa. Ya, saya pasti salah lagi, karena itu menyimpang dari metode survei yang harus "apa adanya". Oke, saya mengaku salah. Karena itu, saya tak berminat membuat lembaga survei.
Romo yang mulia, bukankah partai saat ini lagi dijauhi oleh masyarakat? Bukankah partai telah gagal total membangun negeri ini, apalagi mensejahterakan rakyat? Partai Demokrat terjun bebas karena gonjang-ganjing di dalam. Partai lain yang mencoba mencari untung dari gonjang-ganjing itu ternyata tak dilirik. Artinya, semua partai sami mawon, tak ada satu pun partai yang diuntungkan oleh jebloknya Demokrat. Bahkan, semakin bernafsu partai lain memanfaatkan gonjang-ganjing Demokrat, semakin kentara pula bahwa partai itu juga tak beres. Seperti para lawyer yang berkumpul setiap minggu. Semakin mereka berdebat membela kliennya plus memojokkan lawannya, semakin telanjang mereka membuka aib tentang profesi kepengacaraannya.
Di saat partai tak lagi diminati masyarakat, bagaimana mungkin pucuk pimpinan partai itu dipilih oleh masyarakat untuk bertanding dalam Pemilu 2014? Secara akademis tentu tak aneh, karena yang berhak menjadi presiden di negeri ini adalah orang partai atau orang bukan partai tetapi dicalonkan oleh partai, meskipun akhirnya rakyat pula yang memilih--suka atau benci kepada partai. Ini susahnya jadi rakyat.
Celakanya, masyarakat lupa akan "jasa-jasa" yang pernah dihasilkan oleh tokoh-tokoh yang digadang-gadang untuk bertarung dalam Pemilu 2014 itu. Misalnya, ada yang "berjasa" dalam bidang keamanan dengan menangkap sejumlah aktivis, ada yang "berjasa" mengeluarkan lumpur di perut bumi Sidoarjo, ada yang "berjasa" karena memang tak berbuat apa-apa. Sudah tahu ingatan masyarakat itu pendek, metode survei tak juga memberi alternatif, selain kepopuleran tokoh.
Itu sebabnya saya tak paham, Romo. Apakah ada kemajuan di negeri ini setelah reformasi yang dibanggakan itu, selain kita mudah lupa dan pintar berdusta?