Penegaraan Pancasila Pasca-1965

Penulis

Rabu, 30 September 2015 03:10 WIB

Ito Prajna-Nugroho, peneliti di Lembaga Studi Terapan Filsafat dan alumnus Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara

"Tidak ada negara di luar penegaraan. Adanya negara ialah karena dan selama manusia menegara. Menegara berarti bercakap-cakap. Percakapan itu mempersatukan. Andaikata menegara berhenti, maka lenyap juga negara. Karena menegara itu perbuatan manusia, jadi sebagai realisasi juga mengandung unsur kegagalan." Demikian kata-kata filsuf Indonesia, Driyarkara, dalam tulisannya di majalah kebudayaan Basis, Tahun VI, April 1957, berjudul "Filsafat Kehidupan Negara".

Ditulis dua belas tahun setelah kemerdekaan Indonesia, karya Driyarkara itu seperti telah jauh-jauh hari mengantisipasi peliknya problematika kehidupan sosial-politik Indonesia di bawah panji Republik. Benturan antar-aliran politik, korupsi, nepotisme, fanatisme ideologis, radikalisme agama, brutalnya perebutan kekuasaan, semua itu terang-terangan mempecundangi demokrasi dan menggerogoti fondasi kepentingan publik (res publica) yang menjadi dasar negara republik. Puncak kemelut itu tentu saja prahara sosial-politik pada akhir September 1965 hingga 1966, berupa "pembersihan" besar-besaran terhadap komunisme oleh golongan anti-komunis yang sejak beberapa tahun sebelumnya telah dibuat resah dan takut oleh politik agitasi PKI.

Konflik, baik sebagai potensi maupun peristiwa aktual, selalu memiliki ciri yang khas, yaitu kecenderungannya berubah brutal. Ketakutan dan irasionalitas, melalui histeria massa, adalah orgy yang dapat dengan mudah mengubah percikan konflik menjadi brutalitas, baik di tingkat personal maupun massal. Di titik paling brutal itu saling membinasakan adalah kanal alamiah setiap konflik. Sejarah peradaban manusia memiliki segudang contoh dari konflik dalam bentuknya yang paling brutal, seperti juga diperlihatkan oleh sejarah Indonesia dalam prahara 1965-1966. Sebagai warga yang mengalami langsung "kegilaan" prahara 1965, baik sebelum maupun sesudahnya, Driyarkara selalu mengajak untuk kembali kepada Pancasila sebagai dasar negara.

Pancasila, dalam pandangan Driyarkara, adalah dasar negara yang menentukan bukan saja kodrat manusia Indonesia yang beradab berbudaya, tapi juga menentukan sikap perilaku negara beserta aparatusnya dalam menjamin serta melindungi keberlangsungan hidup warga di dalamnya. Pancasila menjadi dasar yang menentukan kewarasan, keadaban, dan keberadaan hidup menegara Republik Indonesia. Dalam bahasa Driyarkara, Pancasila harus dipandang dalam hubungannya dengan negara, dan bukan untuk mengatur-atur moral individu warga yang hak-hak pribadinya justru dilindungi oleh Pancasila. Maka seorang Rusia bisa saja menerima Pancasila sebagai Weltanschauung (pandangan hidup), tapi baginya Pancasila tidak dialami sebagai dasar negara (Driyarkara, 2006: 923).

Dengan kata lain, Pancasila sebagai dasar negara terutama berkaitan dengan moralitas negara, dan bukan mengurusi moralitas pribadi individual masing-masing warganya. Untuk itu, Pancasila memerlukan proses penegaraan terus-menerus dari manusia Indonesia, khususnya para pemimpin dan punggawa negara yang telah didaulat merawat kesejahteraan publik. Maka, segala bentuk kesewenangan dan kebiadaban, apalagi pembantaian dan pembunuhan massal, adalah bentuk kegagalan negara dalam menjamin keselamatan warga dan kepentingan publik yang seharusnya dilindungi, sesuai dengan prinsip-prinsip Pancasila sebagai dasar negara.

Negara justru akan semakin gagal jika menolak mengakui kegagalannya. Sebab, sebagaimana dikatakan Driyarkara, sudah sewajarnya hidup menegara, sebagai realisasi tindakan manusia, mengandung unsur kegagalan. Kebesaran dan kedaulatan negara justru terletak pada kemampuannya dalam menyikapi serta mengakui kegagalan tersebut. Dengan kata lain, kemampuan negara untuk melampaui, dan bukannya melupakan, trauma-trauma masa lalunya. Tindakan politis negara yang paling logis, paling rasional, tapi juga paling minimal, dalam hal ini tidak lain adalah: meminta maaf kepada mereka yang telah dicerabut dari hak-hak dasarnya.

Dalam kaitan dengan prahara G-30-S 1965, 50 tahun setelah peristiwa tersebut terjadi, pada abad ke-21 di mana komunisme dan Marxisme-Leninisme sebagai ideologi praktis telah mandul semandul-mandulnya, penolakan aparatus negara, termasuk kepala negara, untuk meminta maaf memperlihatkan bagaimana kita sebagai bangsa belum dapat melampaui atau men-transendensi trauma-trauma masa lalu kita.

Sebelum kita saling mendakwa dan saling membenarkan posisi masing-masing, mungkin layak jika kita saling memeriksa diri sejauh mana negara telah sungguh konsisten melaksanakan amanat Pancasila dalam hidup bernegara saat ini, seraya saling mengingatkan bahwa "setiap pusat pemerintahan bisa menjadi pusat anarkisme, pusat perekonomian justru dapat menjadi pusat pemelaratan, pusat peradilan menjadi sarang korupsi, dan pusat kebudayaan justru menjadi pusat kebuayaan (Driyarkara, 2006:603)." *

Berita terkait

Selangkah Lagi Jadi WNI, Calon Pemain Timnas Indonesia Maarten Paes Sudah Pelajari Pancasila dan Indonesia Raya

59 hari lalu

Selangkah Lagi Jadi WNI, Calon Pemain Timnas Indonesia Maarten Paes Sudah Pelajari Pancasila dan Indonesia Raya

Maarten Paes ingin segera belajar Bahasa Indonesia dan berjanji bakal berkontribusi untuk perkembangan sepak bola Indonesia.

Baca Selengkapnya

Jokowi Bagi-bagi Sepeda, Warga Diminta Ucapkan Pancasila bukan Nama Ikan

23 Februari 2024

Jokowi Bagi-bagi Sepeda, Warga Diminta Ucapkan Pancasila bukan Nama Ikan

Presiden Jokowi kembali membagikan sepeda ke warga ketika berkunjung ke Kota Bitung, Sulawesi Utara, Jumat, 23 Februari 2024.

Baca Selengkapnya

Ahmad Basarah Optimistis Ideologi Negara Terus Menyala

9 Februari 2024

Ahmad Basarah Optimistis Ideologi Negara Terus Menyala

Penerbitan buku tentang Pancasila oleh mahasiswa sangat menginspiras

Baca Selengkapnya

Bamsoet Ajak Kader FKPPI Jaga dan Bela Pancasila

25 Januari 2024

Bamsoet Ajak Kader FKPPI Jaga dan Bela Pancasila

Bambang Soesatyo apresiasi kader FLPPI yang berkomitmen menjaga dan membela pancasila.

Baca Selengkapnya

Bamsoet Ajak Komunitas Otomotif Kuatkan Nilai-Nilai Kebangsaan

25 Januari 2024

Bamsoet Ajak Komunitas Otomotif Kuatkan Nilai-Nilai Kebangsaan

Dalam komunitas otomotif dapat ditemukan banyak aspek yang sangat relevan dengan nilai-nilai kebangsaan.

Baca Selengkapnya

Lambang Pancasila 1 sampai 5 Beserta Maknanya

17 Januari 2024

Lambang Pancasila 1 sampai 5 Beserta Maknanya

Lambang Pancasila 1 sampai 5 memiliki makna mendalam yang mencerminkan Indonesia. Berikut ini makna lambang Pancasila yang wajib diketahui.

Baca Selengkapnya

Mahfud Md: Tugas Saya Paling Pokok di Politik Menjaga Keutuhan Ideologi

14 Januari 2024

Mahfud Md: Tugas Saya Paling Pokok di Politik Menjaga Keutuhan Ideologi

Mahfud Md berharap masyarakat tidak jauh kepada pikiran yang ingin mengganti ideologi Indonesia itu.

Baca Selengkapnya

FSGI Bicara Pergantian Nama PPKn jadi Pendidikan Pancasila: Ada Dua Rekomendasi

1 Januari 2024

FSGI Bicara Pergantian Nama PPKn jadi Pendidikan Pancasila: Ada Dua Rekomendasi

Perubahan PPKn menjadi Pendidikan Pancasila dimulai pada Juli 2022.

Baca Selengkapnya

Makna dan Kedudukan Pancasila sebagai Dasar Negara Indonesia

18 Desember 2023

Makna dan Kedudukan Pancasila sebagai Dasar Negara Indonesia

Ketahui makna dan kedudukan Pancasila sebagai dasar negara Indonesia berikut ini. Maknanya mendalam dan sesuai dengan nilai-nilai bangsa Indonesia.

Baca Selengkapnya

Heru Budi Beri Hadiah 2 Siswa SLB Negeri 7 Jakarta yang Bisa Sebutkan Pancasila

13 Desember 2023

Heru Budi Beri Hadiah 2 Siswa SLB Negeri 7 Jakarta yang Bisa Sebutkan Pancasila

Dua penyandang siswa disabilitas bacakan Pancasila di atas panggung lalu Heru Budi berikan hadiah

Baca Selengkapnya