Banten, abad ke-17, adalah sebuah kasus dalam sejarah ketika dunia luar tak lagi "luar", ketika batas lokal dan internasional bercampur-baur dan peradaban terjadi.
Sebuah buku yang baru terbit kembali versi bahasa Indonesianya, terdiri atas telaah sejarawan Claude Guillot, Banten: Sejarah dan Peradaban Abad X-XVII, yang diterbitkan cole Franais d'Extrme-Orient, menggambarkan suasana pertemuan dan benturan dalam arus globalisasi pertama di Asia masa itu. Tak seluruhnya apik, tak seluruhnya buruk.
Dalam catatan Edmund Scott, orang Inggris yang tinggal di Banten pada 1603-65, kehidupan menakutkan. Kebakaran dan pembunuhan menguasai wilayah itu. Scott punya pengalaman traumatis: ia lihat sendiri bunuh-membunuh antara kaum bangsawan dan para saudagar yang dipimpin ponggawa kerajaan, seorang keturunan Tamil.
Bagi Scott, Banten adalah negeri maut. Tanahnya tertutup rawa, beracun, kumuh, dan gersang. Hasil bumi hanya biji lada. Dan bagi Scott, orang Banten malas dan "haus darah".
Mungkin saja kesimpulan Scott lahir dari ketakutan yang akut terhadap mereka yang di luar dunianyayang menyebabkan juga ia dengan bengis menghukum penduduk lokal yang mencoba mencoleng. Ia bakar bagian dalam kuku jari orang itu dengan besi panas, sebelum dicabut. Setelah ditancapkan sekrup besi di tulang lengan, si terhukum dimasukkan ke sel penjara "di mana semut-semut putih.. menyeruak ke dalam lukanya".
Bagi Scott, ada tembok yang membedakan yang "Banten" yang "asing" dan "maksiat" dengan yang "Inggris" atau yang "Kristen". Ia buas terhadap pencoleng setempat, tapi, seperti dikatakan Guillot, tak menganggap sebagai pencurian perompakan kapal yang sering dilakukan orang Eropasebuah kejahatan yang selalu disertai pembunuhan.
Awal abad ke-17 adalah awal konflik bersenjata di antara orang-orang Eropa di Banten. Perdagangan lada antara Banten dan Cina membawa hasil besar. Orang Portugis, yang sejak sebelum pertengahan abad ke-16 telah berada di ujung barat Pulau Jawa itu, kemudian ambil peran dalam bisnis ini. Tapi mereka akhirnya menimbulkan permusuhan dengan penguasa Bantendan para saudagar Belanda yang menginginkan monopoli mengambil celah ini.
Ketika orang Portugis datang kembali dengan sebuah armada besar, di Teluk Banten sudah hadir lima kapal Belanda. Di hari Natal 1601, perang laut yang dahsyat pecah. Armada Portugis kalah. Sejak itu orang Portugis tak lagi berusaha menghalangi kehadiran orang Belanda di perairan Nusantara; mereka pun meninggalkan Banten selama kurang-lebih 70 tahun. Sebagai gantinya, mereka mengalihkan perdagangan mereka ke Makassar.
Antara 1640 dan 1660, ekonomi Makassar maju pesat. Di bawah Sultan Mohamad Said dan Hasanuddin, ada Perdana Menteri Karaeng Pattingaloang dan Karaeng Karunrung. Keduanya tampak bergairah menimba ilmu pengetahuan Eropa: mereka tak hanya berbicara lancar dalam bahasa Portugis dan Spanyol, tapi juga membaca pelbagai buku dalam kedua bahasa itu yang mereka jadikan bagian penting perpustakaan.
Seperti Makassar, juga Banten maju. Kedua kerajaan itu berhubungan akrab. Keduanya juga menjalin hubungan dagang dengan Manila, di Filipina. Waktu itu di sana berlaku mata uang real yang berasal dari Meksiko. Real dari perak ini sangat dibutuhkan dalam perdagangan di Asia: jumlah mata uang yang ada terbatas, dan para saudagar Eropa di wilayah timur itu harus menunggu kedatangan kapal yang membawa uang tunai. Dalam keadaan itu, mereka tak bisa membeli produk lokal di saat yang tepat. Maka Manila penting.
Bahwa pada Maret 1663 sebuah kapal Kesultanan Banten berangkat ke kota di Filipina itu menunjukkan bahwa Sultan Ageng Tirtayasa mengetahui apa yang disebut sebagai "rahasia Manila" itu. Ia siap dengan kapal-kapal Banten; ia menyewa sejumlah orang "asing": nakhoda Inggris.
Orang asing tak selamanya diterima dengan mudah dalam sejarah Banten, tapi para penguasa wilayah ini agaknya punya pengertian tersendiri tentang batas "asing" dan "bukan asing". Seperti tampak dalam sebuah peta tahun 1596, di Banten ada yang tak terdapat dalam kerajaan di Jawa umumnya: para pegawai tinggi dan pedagang besar adalah orang yang datang dari negeri lain. Mereka berdiam dalam kota berbenteng. Bahkan seorang Tamil memegang pucuk administrasi pemerintahan di bawah raja.
Mereka bukan bangsawan; dan memang untuk beberapa lama terjadi konflik bersenjata antara para pangeran dan pendukung ponggawa Tamil itu. Tapi kemudian berakhir. Di bawah Sultan Ageng, ada seorang keturunan Cina, Kaytsu namanya. Berkat ikhtiarnya Banten punya armada niaga yang besar, hingga kerajaan terlibat dalam perdagangan luar negeri. Dia membuka jalur perdagangan ke Manila, Taiwan, Vietnam, Thailand, dan Jepang. Kapal yang besar pun dipesan dari Rembang, Jawa Tengah, tempat pertukangan yang terkenal, dan kapal pertama bahkan dilayarkan ke Coromandel di India.
Banten pun makmur dan maju. Dalam pada itu, Sultan Ageng membangun. Ada Kiai Ngabehi Cakradana. Orang ini berperan penting dalam perubahan tata kota Banten antara 1651 dan 1682. Ia mendirikan kompleks permukiman, membuat benteng dan jembatan batusebuah teknik yang sebelumnya tak dikenal di Jawa. Seperti Kaytsu, Cakradana, yang bermula sebagai pandai besi, juga keturunan Cina. Dan bersama Kaytsu, ia "berbagi pengabdian sepenuh hati" kepada Raja.
Dunia, di Banten dan Makassar di abad ke-17, tampak menyediakan banyak hal di luar pintu. Tapi apakah arti "luar"? Sultan Ageng bukan orang macam Scott. Ia tak menegakkan tembok yang kedap. Dan ternyata ia mengakhiri kejayaannya dalam sengketa dengan sesuatu yang di "luar" tapi juga "di dalam": putranya sendiri.
Goenawan Mohamad