Putu Setia
Seorang Lady Gaga, penyanyi pop yang albumnya laku keras--tapi saya tak punya--menggoyang negeri ini sebelum dia menggelar pentas yang sebenarnya. Penyanyi yang konon gaya berpakaiannya begitu aneh dan mengumbar aurat--tapi saya jarang lihat--itu menelanjangi berbagai orang penting di negeri ini. Ribut di dunia nyata dan riuh di dunia maya. Menjadi santapan stasiun televisi yang memang suka membesar-besarkan sesuatu yang tidak besar.
Orang yang ingin mendapatkan atau mengaku sudah mendapat gelar sebagai "penjaga moral bangsa" asyik berdebat tentang Lady Gaga, seolah-olah penyanyi ini sudah hadir di Indonesia, negeri yang mewariskan budaya adiluhung di dunia. Gaga pun dicap sebagai pemuja setan, corong orang-orang Yahudi, penebar kemerosotan moral.
"Bagaimana nasib anak-cucu kita di kemudian hari kalau orang seperti Lady Gaga itu dibiarkan datang merusak moral bangsa," kata seolah ulama dari Forum Umat Islam. "Bencana akan datang ke negeri ini. Kita sudah pernah mengalami tsunami, lain kali mungkin tsunama," begitu lanjutannya, berupaya melucu di tengah wacananya soal moral.
Ulama lain dari Front Pembela Islam berkata: "Lady Gaga belum datang saja sudah datang musibah, jatuhnya pesawat Sukhoi yang menimpa banyak korban. Bagaimana kalau dia benar-benar datang?"
Saya terkesiap. Dada ini terasa makin sesak. Musibah Sukhoi membuat saya ikut sedih, di antara korbannya ada teman saya. Juga karena jatuhnya pesawat itu di Gunung Salak, gunung yang menyimpan banyak hikayat masa lalu, dan di salah satu lerengnya umat Hindu membangun pura, melengkapi candi peninggalan kerajaan Pajajaran. Apa iya Sukhoi supercanggih itu jatuh sebagai "kutukan" akan datangnya seorang wanita centil bernama pop Lady Gaga?
Lumayan ada suara lain, datang dari Ketua PBNU Said Aqil. Beliau berkata (dan lalu menulis di akun Twitter-nya): "Meskipun datang sejuta Lady Gaga maupun sejuta Irsyad Manji, keimanan warga NU tidak akan goyah dan berkurang."
Ini lebih masuk akal, soal iman tak segampang itu dipengaruhi oleh Lady Gaga, yang hanya seorang diri, belum sejuta. Sependapat, Kiai. Tetapi kenapa suara yang beda ini tak mendapatkan panggung segemuruh penghujat Gaga?
Masyarakat--yang normal--tidak semudah itu imannya runtuh hanya karena menonton Lady Gaga selama dua jam atau lebih sedikit. Kalau aksinya disebut erotis dan gayanya menjurus porno--muncul lagi kata yang saya benci ini--bukankah pentas dangdut di kota-kota kecamatan di seluruh pelosok negeri ini juga penuh dengan erotisme? Dangdutan di kota-kota kecil itu adalah "pentas mini" dari Lady Gaga. Kenapa itu tak diriuhkan? Bukankah melibatkan lebih banyak masyarakat, karena karcisnya murah, bahkan orang bisa menonton gratis dengan menerobos pagar? Penonton Lady Gaga itu lebih terseleksi karena mahalnya harga tiket.
Maaf, saya bukan pengagum Lady Gaga. Kalau misalkan saya diberi tiket gratis, belum tentu saya memilih Gaga jika di sekitar itu ada wayang atau ketoprak. Saya orang kolot, kuno, selera kampungan. Yang hendak saya bela dari heboh Lady Gaga ini adalah kepolisian tidak memberikan izin pertunjukan hanya karena ada ormas yang mengancam akan membubarkan pertunjukan itu dengan alasan iman dan moral--termasuk membawa-bawa nama setan yang sampai saat ini belum pernah saya temui. Saya cemas, kalau "tradisi" ini berlanjut dan polisi pasrah bongkokan kepada ancaman seperti itu, apa yang akan kita tonton nanti--termasuk apa yang kita diskusikan--harus dimintakan persetujuan dulu kepada ormas itu, sebelum minta izin ke kantor polisi. Ini harus dilawan.