Nova Riyanti Yusuf, Mantan Ketua Panitia Kerja RUU Kesehatan Jiwa DPR dan Fellow Harvard Medical School.
Pada 10 Oktober 2015, peringatan Hari Kesehatan Jiwa Sedunia mengangkat tema "Martabat dalam Kesehatan Jiwa". Sejauh mana Indonesia menangani perkara kesehatan jiwa dalam konteks Revolusi Mental?
Jika akan dilakukan perubahan-perubahan mendasar dalam sebuah sistem ketatanegaraan, manusialah yang menjadi titik masuk perubahan mendasar dan tolok ukur keberhasilan pembangunan. Manusia adalah ruh pembangunan.
Menurut standar umum, potensi manusia diukur dengan indeks pembangunan manusia, yang mengombinasikan tiga dimensi: kesehatan, pendidikan, dan pendapatan. Indeks ini menyederhanakan potensi manusia menjadi begitu matematis. Kesehatan dengan ekspektasi usia hidup yang baik hanya dapat tercapai dengan memperhatikan aspek-aspek dalam definisi kesehatan, yaitu kesehatan fisik, mental/jiwa, spiritual, dan sosial. Kesehatan jiwa menjadi bagian yang tidak dapat dipisahkan (integral) dari kesehatan secara umum dan salah satu unsur utama dalam menunjang terwujudnya kualitas hidup setiap manusia.
Secara historis, Indonesia pernah memiliki Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1966 tentang Kesehatan Jiwa yang ditandatangani oleh Presiden Sukarno. Tapi beleid ini diputuskan tidak berlaku lagi pada era Orde Baru. Regulasi yang ada, sampai kemudian lahir Undang-Undang Kesehatan Jiwa Nomor 18 Tahun 2014 tentang Kesehatan Jiwa, tidaklah memadai dan tidak bisa menjawab permasalahan kesehatan jiwa yang semakin kompleks sesuai dengan perkembangan zaman, gejolak alam, ledakan jumlah manusia, dan krisis kemanusiaan.
Undang-Undang Kesehatan Jiwa telah berusia satu tahun, tapi amanat untuk menerbitkan berbagai peraturan setahun setelah undang-undang itu disahkan masih dikesampingkan. Peraturan tersebut mencakup peraturan presiden, peraturan pemerintah, peraturan Menteri Kesehatan, dan peraturan Menteri Sosial. Tapi, setidaknya, penulis telah melihat draf peraturan presiden tentang koordinasi upaya kesehatan hiwa.
Kesehatan jiwa tidak akan pernah menjadi prioritas pembangunan kesehatan selama terstigma hanya berbicara tentang kasus-kasus gangguan jiwa ekstrem, seperti gelandangan psikotik yang bertelanjang bulat di tepi jalan dan terabaikan oleh sistem. Gangguan jiwa tidak hanya mencakup psikotik, seperti skizofrenia, tapi juga kasus-kasus neurotik, seperti depresi dan kecemasan.
UU Kesehatan Jiwa tidak hanya mengatur perlindungan bagi masyarakat dengan gangguan jiwa, tapi juga berupaya agar rakyat Indonesia memiliki kesehatan jiwa yang optimal. Dan, bagi mereka yang rentan, sebisa mungkin gangguan jiwa dicegah. Seperti dikatakan oleh WHO, sehat jiwa adalah hidup sehat, mampu bersaing, serta menerima kelebihan dan kekurangan diri serta orang lain.
Stigma juga kerap terjadi pada level pemerintah dengan memarginalkan pembangunan kesehatan jiwa dan menganaktirikan anggaran kesehatan jiwa, yang hanya 1 persen dari anggaran kesehatan, sehingga membuahkan prestasi pelanggaran hak asasi manusia yang luar biasa. Riset Kesehatan Dasar 2013 menunjukkan terjadi 14,3 persen kasus pemasungan pada orang dengan gangguan jiwa atau sekitar 56.000 kasus. Itu angka yang fantastis.
Indonesia setidaknya sudah memiliki (kembali) Undang-Undang Kesehatan Jiwa yang kini lebih komprehensif, sehingga bisa dianggap serius untuk mengawal salah satu target Tujuan Pembangunan Berkelanjutan yang menyinggung pentingnya promosi kesehatan jiwa. Namun, sejauh ini, belum ada keberanian dari pemerintah Indonesia untuk mewujudkannya. Program Bebas Pasung Indonesia 2014 pun gagal. Bandingkan dengan Cina, yang punya program 686 dengan dana awal 6,86 juta yen, atau Australia saat Perdana Menteri Julia Gillard mengangkat Menteri Kesehatan Jiwa dan Lanjut Usia.
Melalui akun Twitter @puskomdepkes, pada 8 September 2015, penulis membaca pernyataan Menteri Kesehatan Nila F. Moeloek bahwa Revolusi Mental harus ditanamkan sejak dini, yaitu saat bayi dilahirkan, hingga lanjut usia. Tapi, apakah Menteri Kesehatan memahami bagaimana menerjemahkan Revolusi Mental melalui pembangunan kesehatan untuk rakyat Indonesia?
Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2014 tentang Kesehatan Jiwa sudah menjawab itu. Pasal 4 sampai 15 undang-undang itu mengatur upaya promotif dan preventif kesehatan jiwa yang selama ini terjebak pada upaya kuratif (penyembuhan) dan rehabilitatif (yang ala kadarnya).
Upaya promotif terutama dilaksanakan di lingkungan keluarga. Keluarga diharapkan mampu mempersiapkan semua anggota keluarganya untuk beradaptasi secara baik dalam kehidupan bermasyarakat sesuai dengan tahapan siklus.
Kelahiran UU Kesehatan Jiwa juga menunjukkan anomali. Sementara banyak undang-undang terlahir karena "desakan" publik, kelahiran undang-undang ini kurang dinantikan tapi kemudian menstimulasi pergerakan. Penulis mendapatkan informasi tentang kemunculan berbagai lembaga swadaya masyarakat yang melakukan upaya dalam soal kesehatan jiwa. Hal ini sesuai dengan Pasal 84 dan 85 UU Kesehatan Jiwa tentang peran-serta masyarakat.
Jika UU Kesehatan Jiwa sejalan dan bahkan merupakan salah satu konsep yang mampu ikut berkontribusi dalam penerjemahan Revolusi Mental, seharusnya kementerian terkait berlomba-lomba menunjukkan kemampuan masing-masing untuk menerjemahkan agenda besar Presiden tentang Revolusi Mental dalam berbagai peran mereka.
Berita terkait
RPP Pengamanan Zat Adiktif Dipersoalkan, Dianggap Mengancam Kehidupan Petani Tembakau
13 Oktober 2023
Perhimpunan Pengembangan Pesantren dan Masyarakat (P3M) mengkritisi RPP tentang pengamanan zat adiktif. Dianggap mengancam kehidupan petani tembakau.
Baca SelengkapnyaSusun Aturan Turunan UU Kesehatan, Kemenkes Buka Portal Khusus untuk Diakses Publik
15 September 2023
Terkait UU Kesehatan, Kemenkes telah meluncurkan portal khusus yang bisa diakses di laman resmi https://partisipasisehat.kemkes.go.id.
Baca SelengkapnyaDPR Sahkan UU Kesehatan, GP Farmasi Indonesia Siapkan Strategi dan Langkah Taktis Majukan Usaha
9 September 2023
Wakil Ketua GPFI Ferry Soetikno mengemukakan berlakunya UU Kesehatan itu dipastikan membawa perubahan strategis bagi usaha farmasi.
Baca SelengkapnyaLima Ratusan Buruh Demo di Patung Kuda Tuntut UU Cipta Kerja dan UU Kesehatan Dicabut, Serta..
26 Juli 2023
Dalam unjuk rasa oleh lima ratusan buruh di Patung Kuda siang hari ini, terdapat tiga isu yang diusung. Apa saja tuntutan mereka?
Baca SelengkapnyaBamsoet Dukung Perlunya Aturan Hukum Terhadap Pengobatan yang Belum Berbasis Bukti
18 Juli 2023
Penelitian ini juga menekankan perlunya pemerintah membentuk lembaga independen yang khusus mengkaji berbagai temuan yang dihasilkan oleh dokter
Baca SelengkapnyaPemerintah Bakal Hapus Kelas dan Terapkan KRIS, Begini Kata Bos BPJS Kesehatan
18 Juli 2023
Direktur Utama BPJS Kesehatan, Ghufron Mukti, mengatakan UU Kesehatan tidak berdampak pada peserta BPJS Kesehatan.
Baca SelengkapnyaPemerintah Tetapkan Anggaran Kesehatan Menjadi Berbasis Kinerja, Apa Alasannya?
16 Juli 2023
Anggaran kesehatan berbasis kinerja mampu pengalokasian sumber daya yang terbatas untuk membiayai kegiatan prioritas pemerintah.
Baca SelengkapnyaPolemik dan Efek RUU Kesehatan, Menteri Kesehatan: Nakes Asing Tetap Harus Penuhi Sejumlah Syarat
15 Juli 2023
Salah satu yang ramai di RUU Kesehatan yakni terbuka lebar peluang dokter asing dan nakes asing masuk. Benarkah bakal terjadi banjir?
Baca SelengkapnyaKata Moeldoko dan Menkes Budi Gunadi soal Ramainya Penolakan UU Kesehatan
15 Juli 2023
Pengesahan RUU Kesehatan diwarnai dengan aksi unjuk rasa yang digelar di luar Gedung DPR, bahkan dibayangi penolakan dan ancaman mogok dari nakes
Baca SelengkapnyaPemilu 2024: AHY Sebut Janji Partai Demokrat Jika Kembali ke Pemerintahan, Singgung Omnibus Law Cipta Kerja dan Kesehatan
15 Juli 2023
AHY menyatakan Partai Demokrat akan mengevaluasi kebijakan yang tak berpihak kepada masyarakat jika kembali masuk pemerintahan pasca Pemilu 2024.
Baca Selengkapnya