Putu Setia
Saya penggemar Rhoma Irama. Kalau Soneta Grup pentas, saya pasti menontonnya. Begitu pula kalau Rhoma kampanye di atas panggung, saya suka mendengar orasinya. Saya bahkan berkali-kali ke rumahnya. Waktu itu di kawasan Tebet. Sekalian bertemu dengan istrinya--satu-satunya istri--yang membentuk Soneta Girl.
Tentu ini kisah lama, sekitar tahun 1983-1984. Rhoma membawa perubahan di Nusantara. Nama sebelumnya hanya Oma Irama, R paling depan adalah Raden, menyusul H adalah Haji; Raden Haji Oma Irama, disingkat Rhoma Irama. Nama begini lagi tren, meniru nama kondang Hamka, mubalig paling tenar di saat itu, yang juga singkatan dari nama yang panjang. Majalah Tempo menurunkan laporan utama dengan banner "Irama Oma Irama", ditulis Syubah Asa (dari sisi budaya Islam) dan Putu Wijaya (dari sisi musik dangdut). Saya salah satu reporternya yang beruntung, karena bisa membeli puluhan kaset Bang Haji--dengan uang kantor. Ini dangdut lain, dibandingkan dengan, misalnya, Elvi Sukaesih--eh, ada yang ingat nama ini?
Waktu itu usia saya lewat sedikit dari 30 tahun, usia yang produktif. Kini, anak saya yang berusia seperti itu. Tapi anak saya tak kenal Rhoma Irama, dia tak tahu lagu Begadang, tak pernah dengar film Satria Bergitar. Saya memaksa anak saya untuk mengingat-ingat, masak sih tak pernah baca tentang Rhoma Irama? Anak saya lalu menjawab: "Pernah sih, agak lama, ulama yang berselingkuh di hotel...." Ah, jangan teruskan, kata saya.
Sejak minggu lalu, anak saya sudah tahu banyak tentang Rhoma Irama. Bahkan setiap hari bercandanya tentang Rhoma Irama di Twitter dan Facebook. Apalagi Bang Haji hari-hari terakhir ini suka muncul di televisi. Kini anak saya yang justru bertanya tentang Rhoma: "Memangnya kenapa sulit benar untuk menjadi calon presiden, kok sampai menggadang Rhoma Irama?"
Saya terkekeh-kekeh. "Benar kan, Rhoma telah menggebrak kebuntuan itu?" kata saya. Pada saat kader-kader partai rikuh menyatakan diri sebagai calon presiden karena disandera oleh ketua umumnya, pada saat para elite nonpartai bingung mematut-matut diri supaya bisa dilirik partai, pada saat aktivis LSM menggadang seseorang untuk menjadi capres tapi kekurangan modal, Rhoma Irama tampil dengan kalem: "Saya merasa ada panggilan dari dalam diri saya." Panggilan menjadi calon presiden? Yang mendengar boleh bertepuk tangan, terkesima, tertawa, atau mau muntah.
Kenapa "panggilan jiwa" Rhoma Irama ini sampai mengguncangkan jagat politik Nusantara? Pimpinan DPR memberi reaksi, pengamat politik yang tersohor mengulasnya, rating televisi melonjak naik. Itu karena Rhoma tampil apa adanya, dia tidak kampanye. Nyata beda dengan Ketua Umum Golkar Aburizal Bakrie, yang sudah ditetapkan sebagai calon presiden tapi bingung mempopulerkan "nama baru" ARB. Bukannya tambah terkenal, malah jadi olok-olok. Kenapa tak mempopulerkan Bang Ical? SBY itu singkatan yang dibuat media massa setelah Susilo Bambang Yudhoyono menjadi presiden. Sebelum itu, singkatan SBY hanya dikenal terbatas di lingkungan militer.
Rhoma Irama memberi pelajaran kepada kita semua: (1) jangan takut menjadi calon presiden; (2) tampil apa adanya, baik dan buruk orang menilai; (3) tak perlu pencitraan, media dan pengamat yang datang, bukan kita yang mengundang. Ada yang lain, silakan ditambah.
Pesan saya, Bang Haji, tetaplah tampil untuk selingan di tengah karut-marut politik ini. Namun pada saatnya nanti, ketika pertarungan berebut jabatan presiden tiba, lupakanlah niat jadi capres itu. Zaman sudah berubah. Salam.