Dana Desa Tersandera

Penulis

Selasa, 24 November 2015 01:43 WIB

Arie Sujito, Sosiolog UGM, Tim Advokasi UU Desa IRE Yogyakarta

Pengucuran dana desa sebagai bagian dari implementasi Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa mengalami hambatan. Sejak pertengahan 2015, upaya pemerintah, dalam hal ini Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi, bersama Kementerian Dalam Negeri dan Kementerian Keuangan, berupaya menyusun langkah-langkah strategis agar pencairan dana desa yang bisa menjadi sumber daya membiayai pembangunan itu segera dijalankan. Namun, implementasinya ternyata tidak mudah.

Selain lambannya koordinasi kelembagaan tingkat kementerian, regulasi turunan berupa peraturan pemerintah (PP) sebagai dasar hukum tidak berjalan efektif. Hal ini terjadi terutama karena regulasi itu tidak disiapkan secara matang, runtut, dan sinkron dari peraturan menteri hingga peraturan bupati. Lebih-lebih, gejala pembengkakan jumlah desa secara tiba-tiba sebagai reaksi janji pengucuran dana desa menjadi masalah yang tidak bisa dianggap remeh.

Birokratisasi, fragmentasi, dan buruknya konsolidasi penanganan dana desa ini telah berdampak paling nyata, yakni kabupaten pada akhirnya tidak responsif. Lebih dari 50 persen dana desa masih "tersimpan" di kabupaten. Ini sungguh ironis. Hak konstitusional atas dana desa, yang semestinya segera dimanfaatkan oleh pemerintah desa bersama masyarakat, akhirnya harus tertunda.

Alasannya macam-macam. Daerah merasa masih ragu karena tafsir antar-regulasi yang tidak sama. Umumnya mereka berlindung dari ketakutan atas risiko hukum jika salah mengambil kebijakan. Sayangnya, keraguan ini berlarut-larut dan akibatnya desa tidak segera mendapatkan haknya. Padahal tinggal kurang dari dua bulan saja sampai akhir tahun dana itu harus dipertanggungjawabkan penggunaannya.

Ada pula gejala di beberapa daerah yang sedang menjalankan pemilihan kepala daerah ditengarai terjadi politisasi pencairan dana desa, terutama oleh inkumben (Koran Tempo, 28 September 2015). Bahkan, pemerintah kabupaten juga cenderung menakuti-nakuti desa dengan segala "glorifikasi" risiko hukum. Fenomena ini sebenarnya sudah diprediksi sejak awal, tapi tidak diantisipasi secara cepat dan tepat.

Situasi ini sempat direspons oleh pemerintah. Muncullah surat keputusan bersama (SKB) tiga kementerian yang menaungi penyelenggaraan dana desa. Tujuannya adalah agar pemerintah kabupaten tidak mempersulit pencairan dana, dari kemudahan persyaratan sampai pemotongan mekanisme agar lebih sederhana, termasuk pemberian sanksi.

Tapi, apakah sudah berjalan lancar? Ternyata belum. Kegalauan ini terutama dialami oleh kepala desa dan perangkatnya. Di satu sisi, banyak informasi dana desa telah cair, sehingga masyarakat terus bertanya kepada pemerintah desa agar dana itu segera dibelanjakan sesuai dengan peruntukannya. Namun, pemerintah desa, yang telah mendapatkan dana, ragu menggunakannya, karena belum ada kejelasan payung hukum dari kabupaten. Sebut saja soal peraturan bupati mengenai kewenangan desa sebagai dasar pembelanjaannya. Apalagi bagi desa yang belum mendapatkan transfer dana, tentu lebih bingung lagi.

Sejak awal, rancang bangun dana desa ini memang membutuhkan pendampingan. Masa transisi penataan keuangan desa jelas memerlukan tahap penyesuaian agar arah, tata kelola, dan mekanisme pelaporan penggunaan dana dapat akuntabel. Para pendamping itulah yang untuk sementara menemani desa, membantu menyiapkan penyusunan perencanaan dan penganggaran, serta mengawal implementasi dan pelaporannya. Minimal, ada tertib administrasi dan tidak ada korupsi.

Sayangnya, program pendampingan ini tidak sesuai dengan skenario. Jebakan sengkarut pendampingan sebagai konsekuensi "ketegangan lama antarkementerian" serta konflik kepentingan di dalamnya berisiko agenda pendampingan tidak cepat berproses sampai ke desa. Sampai pertengahan November 2015, baru sebagian kecil desa yang ditemani pendamping. Itu pun belum didalami apakah kapasitas dan kualitas pendampingan sesuai dengan skemanya.

UU Desa ini dirancang bukan untuk mempersulit desa. Jika pada kenyataannya penyalurannya tersendat dan kedodoran, kita harus segera menempuh langkah radikal. Pemerintah harus bergerak lebih cepat dan intensif, terutama memfungsikan pemerintah provinsi untuk segera mengecek kemandekan itu. Jika kabupaten secara sengaja mempersulit atau mendistorsinya, harus diberi sanksi sesuai dengan peraturan.

Di sisi lain, perlu pula asosiasi kepala desa atau perangkat desa untuk proaktif menanyakan dan mengawal proses ini di tingkat kabupaten. Perguruan tinggi dan lembaga swadaya masyarakat juga perlu membantu mereka untuk menekan risiko agar pada masa- masa transisi ini mereka dapat memecahkan masalahnya.

Berita terkait

Dugaan Korupsi APBDes di Tiga Desa di Tulungagung, Kejaksaan: Ada Kejutan Setelah Idul Fitri

28 hari lalu

Dugaan Korupsi APBDes di Tiga Desa di Tulungagung, Kejaksaan: Ada Kejutan Setelah Idul Fitri

Kejaksaan Negeri Kabupaten Tulungagung sedang menyelidiki kasus dugaan korupsi anggaran desa (APBDes) di sejumlah desa

Baca Selengkapnya

Kades di NTT Diduga Korupsi Dana Desa Selama Tiga Tahun, Kini Ditahan Jaksa

28 Februari 2024

Kades di NTT Diduga Korupsi Dana Desa Selama Tiga Tahun, Kini Ditahan Jaksa

Kejaksaan Negeri Lembata, NTT, menahan Kepala Desa Tanjung Batu, inisial NN, atas dugaan korupsi pengelolaan dana desa.

Baca Selengkapnya

Jalan Panjang UU Desa, Berikut Poin-poin Penting yang Diubah

8 Februari 2024

Jalan Panjang UU Desa, Berikut Poin-poin Penting yang Diubah

Setelah berbagai tuntutan dari para kepala desa, DPR akhirnya mengadakan pembahasan mengenai perubahan kedua UU Desa setelah Pemilu 2024.

Baca Selengkapnya

Timnas AMIN Ingatkan Kades Tidak Salahgunakan Dana Desa untuk Pemilu: Tak Jaminan Capres yang Didukung Menang

30 Januari 2024

Timnas AMIN Ingatkan Kades Tidak Salahgunakan Dana Desa untuk Pemilu: Tak Jaminan Capres yang Didukung Menang

Timnas AMIN mengingatkan kepala desa tidak menyalahgunakan dana desa untuk pemenangan pemilu.

Baca Selengkapnya

Anies-Muhaimin Ingin Tambah Dana Desa Menjadi Rp 5 Miliar, Walhi: Hati-hati Dikorupsi

23 Januari 2024

Anies-Muhaimin Ingin Tambah Dana Desa Menjadi Rp 5 Miliar, Walhi: Hati-hati Dikorupsi

Wahana Lingkungan Hidup Indonesia atau Walhi kritik janji kampanye Anies-Muhaimin yang akan tambah dana desa menjadi Rp 5 miliar. Rentan dikorupsi.

Baca Selengkapnya

Peneliti Indef Kritik Janji Cak Imin Beri Dana Desa Rp 5 Miliar: Persoalan Desa Tidak Sekedar Uang

23 Januari 2024

Peneliti Indef Kritik Janji Cak Imin Beri Dana Desa Rp 5 Miliar: Persoalan Desa Tidak Sekedar Uang

Peneliti Indef mengkritik rencana Cak Imin memberikan dana desa Rp 5 miliar. Sebab persoalan di desa bukan sekedar dana.

Baca Selengkapnya

Rencana Cak Imin Tekan Urbanisasi dengan Dana Desa Dinilai Kurang Tepat

23 Januari 2024

Rencana Cak Imin Tekan Urbanisasi dengan Dana Desa Dinilai Kurang Tepat

Rencana Cak Imin menambah dana desa untuk menekan urbanisasi dianggap kurang tepat dan memboroskan duit negara.

Baca Selengkapnya

Cak Imin Janjikan Dana Desa Rp 5 M, Bagaimana Skemanya?

22 Januari 2024

Cak Imin Janjikan Dana Desa Rp 5 M, Bagaimana Skemanya?

Sekretaris Dewan Pakar AMIN Wijayanto Samirin memaparkan perihal peningkatan dana desa yang dijanjikan Cawapres 01 Muhaimin Iskandar alias Cak Imin. Dana desa akan disalurkan berdasarkan skala prioritas.

Baca Selengkapnya

Muhaimin Janji Beri Rp5 Miliar untuk Majukan Desa

22 Januari 2024

Muhaimin Janji Beri Rp5 Miliar untuk Majukan Desa

"Menghormati masyarakat adat bukan memakai pakaian adat setahun sekali pas 17 Agustus, bukan!" ujar MUhaimin.

Baca Selengkapnya

Janji Cak Imin Kucurkan Dana Desa Rp 5 M untuk Tekan Laju Urbanisasi

21 Januari 2024

Janji Cak Imin Kucurkan Dana Desa Rp 5 M untuk Tekan Laju Urbanisasi

Jika terpilih, Cawapres nomor urut 1 Muhaimin Iskandar alias Cak Imin berjanji akan menaikkan dana desa untuk menekan laju urbanisasi.

Baca Selengkapnya