Surabaya

Penulis

Senin, 12 November 2012 00:00 WIB

Pada suatu hari, beberapa puluh tahun yang lalu, ketika saya masih di sekolah dasar, kepala sekolah kami yang baru memperingati hari 10 November dengan kekhidmatan istimewa. Pak Sumadi berdiri di atas sebuah bangku. Para guru dan murid berkeliling mendengarkannya di halaman belakang gedung yang dulu gudang seorang saudagar Tionghoa.

Di panggung itu ia tak berpetuah tentang patriotisme dan heroisme; ia hanya bercerita tentang pengalamannya sendiri di Surabaya di hari pertempuran besar itu. Suaranya tak keras, tapi memukau.

Ia bercerita tentang rasa cemas yang dirasakannya dan dirasakan para pemuda segenerasinya, bahwa Republik yang belum lagi berumur empat bulan itu akan dijajah kembali. Ia bercerita tentang keputusannya meninggalkan orang tuanya di Semarang dan berangkat ke Surabaya tanpa ada harapan pulang. Ia bergabung dengan ribuan pemuda yang datang dari pelbagai pelosok Republik, bersiap di sudut-sudut kampung Surabaya. Ia bercerita tentang pertempuran yang tak seimbang, tapi dijalani dengan setengah nekat. Ia gambarkan ketakutannya menjelang tembakan pertama dan apa yang kemudian terjadi setelah ketakutan itu raib oleh api pertempuran. Dua temannya tewas setelah merobohkan tiga tentara Gurkha; seorang lagi menabrakkan diri dengan granat ke sebuah tank Inggris.

Ceritanya tanpa kesimpulan. Upacara itu diakhiri dengan paduan suara 20 murid yang membawakan beberapa lagu; salah satunya menyeru ke tanah air yang dipertahankan di Surabaya itu: "bumimu suci, angkasa kudus"negeri yang membuat kami, pemuda, "dahaga" akan bakti.

Saya lihat Pak Sumadi menghapus air matanya.

Advertising
Advertising

Lalu upacara bubar dan kami kembali ke kelas. Seperti biasa. Tapi mungkin pelan-pelan yang kami dengar hari itu menyadarkan kami akan arti Indonesia yang merdeka. Dinding kelas kami yang dari kayu kasar itu dihiasi gambar yang dikirim Kementerian Pendidikan tentang tanah air yang sedang dibangun: bandar yang sibuk, stasiun kereta api yang besar, murid-murid sekolah yang rapi dan bergembira.

Dengan cara itu kami diperkenalkan kepada kematian dan kelahiran kembali, pengorbanan dan harapan. Kami tak disiapkan untuk menghadapi sinisme.

Mungkin itu sebabnya perut saya terasa agak terpilin ketika pertama kali membaca Surabaya, satu dasawarsa setelah cetakan pertamanya di tahun 1947. Karya Idroes ini sebuah mozaik kesan dan kesimpulan sang penulis tentang hari-hari gegap-gempita di sekitar 10 November 1945.

Selintas, Surabaya merekam keadaan itu: suasana yang tak menentu, tegang, dan ganas. Keberanian dan cinta tanah air menggila. Keyakinan lama roboh. Paragraf awal prosa 64 halaman ini mengejutkan karena sarkasmenya menusuk, dengan kiasan yang segar meski tak selalu tepat, tentang situasi kejiwaan saat itu:

Keberanian timbulnya sekonyong-konyong seperti ular dari belukar. Kepercayaan kepada diri sendiri dan cinta tanah air meluap seperti ruap bir. Pemakaian pikiran menjadi berkurang, orang-orang bertindak seperti binatang dan hasilnya memuaskan. Orang tidak banyak percaya lagi kepada Tuhan. Tuhan baru datang dan namanya macam-macam: bom, mitralyur, mortir.

Setelah itu, cerita pertempuran Surabaya yang mati-matian itu ditampilkan Idroes sebagai film kelas B, antara "cowboy" dan "bandit". Pasukan Gurkha Inggris yang "hitam-hitam seperti kepala kereta api" mendarat di Surabaya. Segera mereka menghadapi para "cowboy"pemuda Indonesia yang bersenjata. Bagi "cowboy", tentara Gurkha itu "bandit-bandit yang dibiarkan lepas dan berkuasa".

Di tengah jalan cowboy-cowboy ditahan oleh bandit-bandit d an diharuskan menyerahkan senjatanya. Bandit-bandit berteriak, sambil mengacungkan bayonetnya: "Jiwamu atau senjatamu!"

Cowboy-cowboy tidak mengangkat tangannya dan tidak pula mau memberikan senjatanya. Mereka berteriak: ambillah jiwa kami!dan pada waktu berteriak itu mereka mulai menembak. Bandit-bandit pun menembak dan pertempuran seru terjadi.

Dengan setengah melucu, bagian cerita ini sebenarnya masih menyiratkan bagaimana para pemuda Indonesia dengan berani mempertahankan harga diri mereka. Tapi Idroes tak banyak mengisahkan harga diri dan "pertempuran seru". Perang hanya ditampilkannya dalam garis besar. Detail lebih tampak ketika ia menggambarkan tempat perempuan-perempuan mengungsi.

Mungkin karena ia hanya tahu sedikit. Waktu itu, dalam usia 24, ia tak turut di garis depan; ia jadi wartawan surat kabar Berdjoeang di Malang. Dan sebagai wartawan, ia mengambil jarak: ia tak memihak.

Tapi sebenarnya prosanya memihak: memilih sikap yang tak percaya ada pahlawan di hari itu. Catatannya adalah bersit sinisme yang menertawai manusia sebagai makhluk yang berpose. Humornya muram. Surabaya seakan-akan gema dari kalimat terkenal dalam Galileo karya Brecht: "Tak berbahagia negeri yang memerlukan pahlawan."

Tapi saya ingat Pak Sumadi. Mungkin "pahlawan" hanya konstruksi politik di negeri yang ingin menghalalkan sebuah sejarah. Pada akhirnya ia memang tokoh "kekal" yang dipoles. Tapi tindakan Pak Sumadi dan teman-temannya tak bisa hanya dilihat sebagai pose. Laku mereka menunjukkan, tindakan yang heroik bisa terjadi: kerelaan jadi tumbal buat orang banyak.

Beda antara hero dan laku heroik itu yang tak tampak oleh Idroes. Mungkin ia tak pernah mengalaminya. Yang ia lihat sosok-sosok borjuis kecil yang repot dengan keselamatan dan milik. Tilikannya pun terbiasa dengan manusia yang tak luar biasa dan agak menjengkelkan. Hegel akan menganggapnya tatapan "kacung psikologis", psychologischen Kammerdiener: orang yang tak kenal kepahlawanan karena ia memang hanya kacung.

Goenawan Mohamad

Berita terkait

Satu Hari Bersama Joko Pinurbo di Seminari Mertoyudan

2 menit lalu

Satu Hari Bersama Joko Pinurbo di Seminari Mertoyudan

Berikut perjalanan Tempo dengan penyair Joko Pinurbo di Seminari Mertoyudan, sebelas tahun lalu.

Baca Selengkapnya

Bandara Internasional Dipangkas, INACA: Semua Bandara Dapat Hidup, Terjadi Pemerataan Pembangunan

9 menit lalu

Bandara Internasional Dipangkas, INACA: Semua Bandara Dapat Hidup, Terjadi Pemerataan Pembangunan

Ketua Umum INACA Denon Prawiraatmadja angkat bicara soal pengurangan jumlah bandara internasional di Indonesia.

Baca Selengkapnya

MK Gelar Sidang Perdana Sengketa Pileg Hari Ini

11 menit lalu

MK Gelar Sidang Perdana Sengketa Pileg Hari Ini

MK menggelar sidang perdana sengketa pileg DPR RI, DPRD provinsi, DPRD kabupaten atau kota, dan DPD RI hari ini.

Baca Selengkapnya

Tanah Bergerak Lalu Diguncang Gempa, Garut Tetapkan Tanggap Darurat

12 menit lalu

Tanah Bergerak Lalu Diguncang Gempa, Garut Tetapkan Tanggap Darurat

Dampak gempa M6,2 di Garut tersebar di 24 kecamatan. Kerugian lebih dari Rp 2 miliar.

Baca Selengkapnya

5 Fakta Manuver Partai Politik Pasca Putusan MK: Dukung Pemerintahan Prabowo hingga Masih Mengambang

15 menit lalu

5 Fakta Manuver Partai Politik Pasca Putusan MK: Dukung Pemerintahan Prabowo hingga Masih Mengambang

Pasca Putusan MK, Sekjen PKS menyebut, PKS ingin berbuat sesuatu bagi bangsa Indonesia setelah dua periode atau 10 tahun berada di luar pemerintahan.

Baca Selengkapnya

Jokowi Percaya Bahlil Pimpin Satgas Gula dan Bioetanol, Ini 7 Tugas Pokoknya

18 menit lalu

Jokowi Percaya Bahlil Pimpin Satgas Gula dan Bioetanol, Ini 7 Tugas Pokoknya

Presiden Jokowi tunjuk Menteri Investasi Bahlil Lahadalia sebagai Ketua Satgas Gula dan bioetanol. Apa saja tugas-tugasnya?

Baca Selengkapnya

Timnas U-23 Indonesia vs Uzbekistan di Semifinal Piala Asia U-23 2024, Witan Sulaeman: Kami Akan Berjuang Lebih Keras

19 menit lalu

Timnas U-23 Indonesia vs Uzbekistan di Semifinal Piala Asia U-23 2024, Witan Sulaeman: Kami Akan Berjuang Lebih Keras

Timnas U-23 Indonesia, Witan Sulaeman, merasa percaya diri untuk menghadapi Uzbekistan U-23 pada semifinal Piala Asia U-23 2024.

Baca Selengkapnya

Kapolri Diminta Usut Kematian Brigadir RA, Teman Merasa Ada yang Janggal, Teringat Kasus Ferdy Sambo

37 menit lalu

Kapolri Diminta Usut Kematian Brigadir RA, Teman Merasa Ada yang Janggal, Teringat Kasus Ferdy Sambo

Kematian Brigadir Ridhal Ali Tomi atau Brigadir RA menjadi perhatian. Sahabatnya teringat kasus kematian Brigadir J yang dibunuh Ferdy Sambo

Baca Selengkapnya

Kemenag Luncurkan Gerakan Senam Haji Jaga Ketahanan Fisik Jemaah

39 menit lalu

Kemenag Luncurkan Gerakan Senam Haji Jaga Ketahanan Fisik Jemaah

Gerakan Senam Haji dikemas untuk menjaga kebugaran dan ketahanan fisik jemaah.

Baca Selengkapnya

Sekolah di Bangladesh Dibuka Kembali Walau Gelombang Panas

40 menit lalu

Sekolah di Bangladesh Dibuka Kembali Walau Gelombang Panas

Perubahan iklim telah berkontribusi pada gelombang panas yang semakin sering, semakin buruk dan semakin panjang selama musim panas di Bangladesh.

Baca Selengkapnya