Menunggu Presiden Berantas Amplop Wartawan

Penulis

Selasa, 9 Februari 2016 01:26 WIB

Sabam Leo Batubara, Mantan Wakil Ketua Dewan Pers

Presiden Joko Widodo memastikan akan menghadiri acara puncak Hari Pers Nasional 2016 di Mataram, Nusa Tenggara Barat, 9 Februari 2016. Dalam acara itu, Jokowi akan diberi panggung untuk berinteraksi dengan kurang-lebih 600 wartawan nasional, petinggi negara, dan tokoh masyarakat. Supaya pertemuan itu bermakna, bantuan atau kebijakan strategis apa yang bisa Presiden keluarkan agar kehidupan pers Indonesia semakin sehat?

Jawabannya ada di buku Kepemimpinan Pro Rakyat yang diterbitkan Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) persis menjelang Jokowi dilantik menjadi Presiden. Buku itu memuat tulisan 39 tokoh pers berisi masukan dan harapan masyarakat media terhadap Jokowi. Salah satunya adalah "Berantas Budaya Amplop" karya Pemimpin Redaksi Merdeka.com, Didik Supriyanto. Jika harapan pada tulisan itu dipenuhi oleh Presiden, hal itu akan berdampak positif bagi upaya menyehatkan pers.

Dalam tulisan itu, Didik mengharapkan, "Pemerintahan Jokowi dan seluruh jajarannya harus memulai tradisi tidak menggunakan uang negara untuk menyogok wartawan melalui kerja-kerja kehumasan yang selama ini berlangsung. Pemerintahan baru Jokowi-Jusuf Kalla harus mampu menyadarkan jajarannya, dari kementerian, instansi, hingga gubernur dan kepala daerah, bahwa kultur yang menyuburkan budaya penyuapan dan pemerasan tidak akan menghasilkan apa-apa. Bagi wartawan, lahan subur yang bertabur uang justru berujung pada pemerasan dan penipuan. Jika tidak ada pembinaan dari pemerintahan yang baru, lingkaran setan penipuan dan pemerasan tidak akan pernah bisa diputus."

Mengapa Presiden harus turun tangan memberantas budaya amplop dengan, misalnya, menerbitkan kebijakan melarang kementerian, kepala daerah, dan unit kerja di bawah pemerintahannya mengalokasikan dana untuk "mengamplopi" pers?

Budaya amplop jelas merugikan negara dan pers paling tidak dalam empat hal. Pertama, mengamplopi wartawan berarti menyia-nyiakan anggaran negara. Pada pertengahan tahun lalu, beberapa media online Jakarta terlibat sengketa pers dengan 37 media lokal di Blitar, Jawa Timur. Tempo.co, misalnya, meminta pembatalan rencana Pemerintah Kabupaten Blitar agar 220 kepala desa mengalokasikan sekitar 5 persen, yakni Rp 3,5 miliar, dana desa untuk pers lokal. Dalam upaya menyelesaikan perkara itu di Surabaya, Agustus tahun lalu, Dewan Pers menegaskan bahwa pengalokasian dana desa untuk pers adalah tindakan mubazir. Membiarkan program seperti itu berarti berpotensi menyia-nyiakan anggaran negara sekitar Rp 1,2 triliun per tahun, yakni 5 persen dari Rp 350 juta kali 74.053 desa.

Gambaran perkembangan media nasional tecermin dari informasi yang disampaikan DPRD Kota Padang ketika berkunjung ke Dewan Pers Jakarta pada awal Desember lalu. Salah satu anggota Dewan melaporkan 65 persen anggaran sejumlah media Kota Padang berasal dari APBD. Tanpa anggaran itu, media tidak mampu eksis.

Apa sikap Dewan Pers atas kenyataan banyak media bergantung pada "belas kasihan" pemerintah? Pertama, hanya instansi yang bersih yang berani meniadakan amplop untuk pers. Kedua, pengadaan dana publikasi itu bertujuan sekadar untuk mendukung perselingkuhan pemerintah dan pers. Ketiga, penggunaan dana itu tidak terbukti telah mendorong penyehatan pers secara kualitas dan kuantitas.

Dana publikasi triliunan rupiah tersebut semestinya segera dihentikan dan dialihkan ke program pemberdayaan pers sehat. Selama 70 tahun ini, untuk menghasilkan hakim, jaksa, camat, intel, perwira militer, dan polisi yang profesional, negara mendirikan sekolah tinggi untuk mereka. Mereka pada gilirannya dilatih di Sekolah Staf dan Pimpinan Administrasi (Sespa), Sekolah Staf dan Komandan (Sesko), serta Lembaga Ketahanan Nasional, yang semuanya dibiayai negara.

Semestinya, untuk tersedianya wartawan bersertifikat kompeten, negara juga harus adil dengan mendirikan dan mendanai sekolah tinggi jurnalistik di setiap provinsi dan menyediakan semacam "Sespa" untuk wartawan. Sekarang ini kira-kira terdapat 100 ribu wartawan di Indonesia, tapi hanya beberapa ribu orang yang berkualifikasi profesional dan mampu membuat medianya sehat isi dan sehat bisnis.

Kedua, mengamplopi wartawan berarti melemahkan fungsi kontrol sosialnya. Ketiga, wartawan amplop mencederai kemerdekaan pers. Dewan Pers berpendapat wartawan amplop adalah penumpang gelap kemerdekaan pers dan mencederai profesi wartawan profesional.

Keempat, membunuh entrepreneurship pers. Pasal 3 Undang-Undang Pers menyebutkan pers nasional dapat berfungsi sebagai lembaga ekonomi. Pasal ini bermakna media profesional hanya bisa sehat bisnis jika prinsip-prinsip keekonomian pers dijalankan.

Membiarkan wartawan berkarya dengan menguber amplop, bukan hanya mematikan semangat menumbuhkembangkan pers sesuai dengan prinsip-prinsip keekonomian pers, tapi justru mengundang lebih banyak preman dan pengangguran untuk meramaikan pers abal-abal.

Berita terkait

Tulisan Soal Makar, Fadli Zon Akan Laporkan Allan Nairn ke Polisi

25 April 2017

Tulisan Soal Makar, Fadli Zon Akan Laporkan Allan Nairn ke Polisi

Dalam tulisan Allan Nairn, Fadli Zon disebut terlibat dalam upaya makar untuk menggulingkan Presiden Joko Widodo.

Baca Selengkapnya

Disebut dalam Laporan Allan Nairn, Hary Tanoe Lapor ke Polisi  

25 April 2017

Disebut dalam Laporan Allan Nairn, Hary Tanoe Lapor ke Polisi  

Pelaporan Hari Tanoe bermula dari tulisan Ahok Hanyalah Dalih untuk Makar yang ditulis oleh jurnalis asal Amerika Serikat, Allan Nairn.

Baca Selengkapnya

Diadukan Mabes TNI ke Dewan Pers, Tirto.id: Kami Kooperatif  

24 April 2017

Diadukan Mabes TNI ke Dewan Pers, Tirto.id: Kami Kooperatif  

Sapto berujar, pihaknya akan menunggu mekanisme yang diterapkan Dewan Pers saat menerima pengaduan.

Baca Selengkapnya

Jokowi Jarang Dikritik, SBY: Pers Tak Seganas Dulu  

11 Juni 2016

Jokowi Jarang Dikritik, SBY: Pers Tak Seganas Dulu  

Ketua Umum Partai Demokrat Susilo Bambang Yudhoyono merasa tercengang melihat perubahan pers saat ini.

Baca Selengkapnya

Begini Modus Wartawan Abal-abal Memeras

14 April 2016

Begini Modus Wartawan Abal-abal Memeras

"Yang paling banyak muncul adalah di daerah yang tingkat korupsinya tinggi. Fenomena media abal-abal ini tidak kami temukan di Malaysia atau Singapura."

Baca Selengkapnya

Dulu Pemerintah Tekan Pers, Jokowi: Sekarang Sebaliknya  

9 Februari 2016

Dulu Pemerintah Tekan Pers, Jokowi: Sekarang Sebaliknya  

Presiden Joko Widodo meminta pers patuh terhadap kode etik jurnalistik, terutama media online.

Baca Selengkapnya

Pers di Indonesia Dinilai Kena Sindroma Berlusconian  

21 Januari 2016

Pers di Indonesia Dinilai Kena Sindroma Berlusconian  

Kepentingan pemilik media di industri pers dinilai mempengaruhi pemberitaan, mirip seperti Berlusconi di Italia.

Baca Selengkapnya

Dewan Pers: Banyak Media Massa Terkontaminasi Politik

20 Januari 2016

Dewan Pers: Banyak Media Massa Terkontaminasi Politik

Ada fenomena sejumlah pemilik media membentuk partai politik.

Baca Selengkapnya

Giliran Rizal Ramli 'Kepret' Pers: Banyak yang Sibuk Bisnis Pencitraan  

2 November 2015

Giliran Rizal Ramli 'Kepret' Pers: Banyak yang Sibuk Bisnis Pencitraan  

Menurut Rizal Ramli, sudah waktunya pers menjadi bagian dari transformasi bangsa, jangan sibuk dengan bisnis pencitraan.

Baca Selengkapnya

Ahok: Pemberitaan yang Rasis Akan Saya Lawan Sampai Mati

28 Agustus 2015

Ahok: Pemberitaan yang Rasis Akan Saya Lawan Sampai Mati

Era pers yang bebas dan merdeka tidak sepatutnya dicemari kebencian berdasarkan SARA.

Baca Selengkapnya