Toriq Hadad
@thhadad
SAYA percaya banyak doa akan terkabul di bulan puasa ini. Termasuk doa saya: semoga kita puasa dan Lebaran bersama.
Ternyata benar. Doa saya terkabul, walau hanya separuh. Muhammadiyah mulai puasa Selasa, NU hari Rabu. Pemerintah juga Rabu. Tapi, kalau tak berubah, Lebaran tahun ini akan jatuh pada hari yang sama, karena Muhammadiyah berpuasa 30 hari dan NU 29 hari.
Membayangkan Lebaran pada hari yang sama Agustus mendatang itu saja sudah membuat saya gembira. Hilang sudah rasa iri pada umat Islam di Arab Saudi, Malaysia, dan banyak negara Semenanjung Arab serta Eropa, yang kompak mengawali puasa pada hari yang sama.
Rasa girang itu meredakan kegalauan saya membaca SMS seorang kawan. "Muhammadiyah puasa Selasa, NU hari Rabu, pemerintah juga ikut Rabu, lalu kita ikut Islam yang mana?" Saya jawab: perbedaan itu rahmat. Pilih sesuai pengetahuan, keyakinan, dan hati nurani.
Saya pikir itu jawaban tuntas. Ternyata teman ini mengirim SMS lanjutan. "Lalu malam Lailatul Qadar ditentukan berdasarkan hitungan siapa?" Ini persoalan pelik. Soalnya, Islam percaya beribadah pada satu malam yang lebih baik daripada seribu bulan itu jatuh pada malam-malam ganjil sepuluh hari terakhir puasa. Berbeda awal puasa artinya berlainan pula hitungan hari ganjil atau genap. Meskipun rada bingung, saya jawab juga. "Jangan pilih-pilih malam, terus saja beribadah, jangan cuma sepuluh hari terakhir."
Setiap tahun para cerdik pandai di negeri ini berkutat pada metode penetapan awal puasa, namun belum ketemu juga solusi permanen. Memang perlu usaha keras dan niat ikhlas untuk sepakat, mengingat metode penetapan yang berbeda. Muhammadiyah memakai hitungan kalender. NU memakai metode hilal atawa anak bulan. Pemerintah Indonesia, juga kesepakatan menteri agama se-Asia Tenggara, memakai metode yang sama dengan NU dengan sedikit varian antarnegara.
Tapi adakah usaha untuk mencapai kesepakatan soal awal puasa? Setiap tahun pemerintah menyatakan akan terus mendorong dialog tentang penetapan awal puasa, tapi hampir setiap tahun pula dimulainya puasa berbeda-beda. Benar orang bilang bahwa berbeda itu rahmat, tapi kebersamaan itu indah dan bukan barang haram.
Puasa memang persoalan privat, antara manusia dan Tuhannya. Saya setuju dengan Ketua Umum Muhammadiyah Din Syamsuddin, yang meminta pemerintah membebaskan organisasi Islam menetapkan sendiri awal puasanya. Tapi mesti ada usaha serius dari kalangan ormas Islam untuk saling berdialog dan berijtihad mencari persamaan, demi kebersamaan umat.
Perbedaan awal puasa dan Lebaran di negeri berpenduduk 250 juta jiwa dengan mayoritas pemeluk Islam ini bukan lagi masalah sepele. Ini bukan lagi urusan jadwal silaturahmi Lebaran saja. Ini juga bukan sekadar masalah beda waktu memasak opor ayam, ketupat, atau sayur lodeh belaka. Awal puasa dan Lebaran, bagi saya, merupakan indikator persatuan umat. Jika untuk dua hal itu tak bisa dicapai sepakat, artinya perlu disadari bahwa umat belum siap bersatu untuk soal-soal lain yang lebih pelik.
Jika umat Islam bersatu menetapkan awal puasa dan Lebaran, saya kira pemerintah akan mengikuti saja. Tapi bayangkan jika sekarang pemerintah tak ikut campur soal jadwal ini. Siapa yang menetapkan hari libur Idul Fitri di kalender? Lalu bagaimana libur kantor pemerintah, swasta, dan sekolah diatur? Tentu tak mungkin libur instansi dan dinas diatur mengikuti pilihan ormas Islam pimpinannya.
Tahun ini Insya Allah kita akan bersama-sama berlebaran, walau awal puasa berbeda. Tak perlu galau. Kita toh masih punya persamaan besar: bersama-sama puasa sejak terbit fajar sampai terbenam matahari.