Seno Gumira Ajidarma, panajournal.com
Dunia modern menghadirkan gejala yang berakibat fatal, yakni bahwa ilmu pengetahuan terbebani mitos bernama kebenaran. Disebutkan, misalnya oleh Pakde Foucault, bagaimana wacana-wacana ilmu pengetahuan melakukan produksi kebenaran yang kemudian berfungsi sebagai norma. Ilmu pengetahuan menentukan apa itu berat dan tinggi badan, tekanan darah, serta berapa pasangan seksual untuk kelompok usia dan jenis kelamin tertentu yang dianggap normal.
Subyektivikasi atawa penafsiran subyektif beroperasi melalui internalisasi norma-norma. Manusia modern melakukan modifikasi dalam usaha tanpa akhir untuk memperkirakan yang normal, dan dalam proses ini menjadi jenis-jenis subyek tertentu. Norma-norma menjauhkan obyektivikasi dengan mereduksi individualitas menjadi suatu ukuran umum. Manusia tersusutkan menjadi titik atau kurva.
Gejala ini terbentuk oleh hubungan antara kuasa dan pengetahuan terhadap ilmu-ilmu humaniora, tempat subyek didudukkan sebagai obyek kemungkinan pengetahuan. Meski latar kepercayaan, yang terbentuk secara sosial, tak terhindarkan dalam membentuk praktek ilmiah sampai tahap tertentu, dalam wilayah ilmu-ilmu humaniora pengaruhnya kuat dan berbahaya. Pemahaman tak terucapkan tentang gender, ras, dan kelas malah kurang berbahaya dibanding usaha menafsir perilaku Homo sapiens sebagai partikel sub-atomik, ketimbang sebagai manusia berjiwa.
Inilah peringatan agar tidak mengadopsi suatu latar kepercayaan secara terpisah, seperti berasumsi bahwa terdapat universalitas kemanusiaan, yakni adanya kebenaran soal manusia yang bisa dipercaya dalam kebudayaan mana pun pada zaman kapan pun. Ketika khalayak memastikan bahwa ada yang selalu benar bagi seluruh umat manusia, terciptalah norma yang berlawanan dengan perilaku manusia yang bisa diukur dan dipertimbangkan. Dengan memapankan suatu sudut pandang ilmiah atas seksualitas manusia dan memandangnya sebagai alamiah bin universal untuk beranak-pinak, misalnya, secara efektif terpinggirkanlah sejumlah besar perilaku seksual.
Keyakinan atas terdapatnya universalitas kemanusiaan membuat manusia percaya bahwa tubuh mematuhi hukum-hukum eksklusif fisiologis, sehingga terlepas dari pengaruh sejarah. Padahal-masih menurut Pakde Foucault-itu tidak betul. Tubuh manusia hanya eksis di dalam khalayak. Tubuh manusia, misalnya saja, dibentuk oleh norma-norma kesehatan, gender, dan keindahan. Tubuh secara konkret dibentuk oleh diet, olahraga, dan intervensi medis. Dengan kata lain, tubuh juga memiliki sejarahnya sendiri. Asal-usul tubuh adalah sejarah tubuh: secara tipikal mempertanyakan segenap penjelasan biologis murni dari suatu wilayah kompleks, seperti seksualitas, kegilaan, dan kriminalitas [Oksala, 2008 (2007): 52, 59].
Demikianlah universalitas kemanusiaan yang ditanamkan secara konstan tidak ditolak pada awalnya, tapi menjadi bulan-bulanan interogasi dengan pertanyaan radikal yang kritis ataupun historis. Namun, sebaliknya, mengingat hubungan-hubungan kuasa yang betapa pun telah membentuk suatu tipologi kelompok-kelompok sosial dengan kepentingan ideologisnya masing-masing, universalitas kemanusiaan yang sebagai logika tidak tahan uji itu terbukti tetap bertahan dengan tetap digunakannya tolok ukur ala kadarnya dalam usaha membangun wacana pengetahuan monolitik demi kesahihan hegemonik kelompok mana pun yang berjuang meraihnya.
Dengan begitu, baik kelompok dominan maupun kelompok-kelompok terbawahkan akan selalu mencari dan menjalankan suatu proyek yang memenuhi politik identitasnya. Apabila proyek identitas ini terasalkan dari ideologi yang bersesuaian dengan penanda-penanda universalitas kemanusiaan, maka bersamanya segala kelompok ini akan beroposisi, dalam suatu gradasi dari moderat sampai radikal, terhadap kelompok-kelompok terpinggirkan. Supaya identitasnya menjadi jelas, penanda-penanda yang ada dipertajam dengan mencari efek kontras dalam penghadapan kepada kelompok terpinggirkan, yang penanda-penanda dalam politik identitasnya tidak bersesuaian atau bahkan bertentangan dengan penanda-penanda universalitas kemanusiaan.
Namun, karena universalitas kemanusiaan sebenarnyalah tidak universal, segenap konflik sosial-politis dalam sejarah ataupun pada masa mendatang, yang bersumber dari masalah itu, adalah produk kedangkalan yang disebabkan oleh kurangnya pengetahuan. Ini membuat "kemenangan" kelompok-kelompok yang berjuang memunahkan penanda-penanda dalam politik identitas kelompok terpinggirkan, seperti kaum LGBT, menjadi kemenangan semu sahaja karena berangkat dan berpijak dari asumsi keliru. Kesemuanya itu jadi berganda karena politik identitas sendiri secara teoretis adalah pengingkaran terhadap fakta bahwa dalam situasi pasca-modern, identitas selalu sekaligus adalah kebergandaan identitas.
Berita terkait
Aturan dan Tata Tertib Peserta UTBK 2023, Tidak Boleh Telat Dilarang Pakai Kaos Oblong
10 Mei 2023
Terdapat beberapa aturan dan tata tertib bagi peserta UTBK 2023 sebelum mengikuti ujian. Apa saja yang perlu diperhatikan?
Baca SelengkapnyaKartu Identitas Anak untuk Si Kecil, Cek Manfaat dan Persyaratan
4 Januari 2022
Bukan hanya orang dewasa yang harus punya kartu identitas, si kecil juga sebaiknya dilengkapi Kartu Identitas Anak. Cek manfaat dan cara membuat.
Baca SelengkapnyaPuan Minta Integrasi NIK-NPWP Tetap Jamin Keamanan Data Pribadi
13 Oktober 2021
Ketua DPR berpendapat perlu teknologi pengamanan data berlapis untuk mengurangi risiko bobolnya data pribadi masyarakat melalui informasi pajak hanya menggunakan NIK.
Baca SelengkapnyaOJK Ingatkan Debt Collector Pakai Kartu Identitas dan Punya Sertifikat Profesi
30 Juli 2021
OJK meminta debitur agar memiliki itikad baik dalam menyelesaikan kewajiban dan menyampaikan kepada perusahaan pembiayaan jika ada kendala.
Baca SelengkapnyaSudahkah Memiliki Kartu Identitas Anak? Begini Cara Buatnya
24 Juli 2021
Kartu Identitas Anak (KIA) adalah bukti identitas anak yang berusia di bawah 17 tahun. Lalu, bagaimana cara membuat Kartu Identitas Anak?
Baca SelengkapnyaBisakah Ganti Foto KTP, Bagaimana Caranya?
23 Juni 2021
KTP telah berlaku seumur hidup, ada saja warga yang ingin memperbarui tampilan foto KTP miliknya. Bagaimana cara dan persyaratannya?
Baca SelengkapnyaBahaya Scammer di Balik Registrasi Swafoto dengan Kartu Identitas
3 September 2019
Jika Anda mengirim swafoto kepada para scammer, mereka akan dapat membuat akun atas nama Anda.
Baca SelengkapnyaPermintaan Kartu Identitas Anak Tinggi, Kota Bekasi Pinjam Blanko
13 Februari 2019
Kartu Identitas Anak belum menjadi syarat pokok untuk pendaftaran sekolah di Kota Bekasi tahun ini.
Baca SelengkapnyaBekasi Bikin Kartu Identitas Anak, Warga: Semakin Ribet
18 Desember 2018
Mulai tahun ajaran baru 2019 para calon siswa-siswi tingkat SD dan SMP wajib melampirkan Kartu Identitas Anak (KIA) sebagai syarat pendaftaran.
Baca SelengkapnyaKartu Identitas Mata-mata Milik Vladimir Putin Ditemukan
14 Desember 2018
Kartu identitas yang dikeluarkan tiga puluh tahun lalu oleh polisi rahasia Stasi Jerman Timur milik Vladimir Putin ditemukan di Jerman.
Baca Selengkapnya