Pemerintah semestinya meneruskan program kantong plastik berbayar. Penggunaan bahan tak ramah lingkungan itu terbukti menurun drastis sejak uji coba kebijakan ini dijalankan pada Februari lalu.
Sayangnya, program tersebut terancam gagal. Asosiasi Pengusaha Ritel Indonesia (Aprindo) tak lagi bersedia memungut tarif untuk setiap tas kresek yang dipakai konsumen. Mereka mempertanyakan keseriusan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan.
Kementerian memulai uji coba program kantong plastik berbayar di 22 kota. Konsumen di pasar modern harus membayar Rp 200 untuk setiap kantong plastik. Target program ini adalah mengurangi sampah plastik. Sampah plastik merupakan salah satu masalah lingkungan terbesar karena tidak mudah terurai. Jika dibuang ke laut, sampah plastik bisa membunuh ikan di dalamnya dan merusak karang.
Data tim peneliti dari University of Georgia pimpinan Jenna Jambeck, yang dirilis pada tahun lalu, memperlihatkan bahwa Indonesia merupakan negara penyumbang sampah plastik nomor dua terbesar di dunia setelah Cina. Pada 2010, misalnya, Indonesia menghasilkan 3,2 juta metrik ton sampah plastik dari sekitar 275 juta ton sampah plastik dunia.
Patut disesalkan kalau program bagus ini berhenti hanya sampai tahap uji coba. Apalagi uji coba ini ternyata berhasil baik. Selama enam bulan masa uji coba, menurut catatan Kementerian, penggunaan kantong plastik di pasar modern turun 25-30 persen.
Selama ini program dijalankan dengan dasar Surat Edaran Direktur Jenderal Pengelolaan Sampah, Limbah, dan Bahan Beracun Berbahaya Kementerian Lingkungan Hidup. Masalahnya, pengaturan program lewat surat edaran selevel pejabat eselon I ini kurang kuat. Di Palembang, misalnya, pada September lalu delapan perusahaan retail sempat diperiksa polisi lantaran dituding melakukan pungutan liar. Hal itulah yang menggelisahkan Aprindo.
Aturannya pun ternyata tidak seragam. Tarif Rp 200 itu merupakan angka minimum, dan setiap kepala daerah dipersilakan menentukannya sendiri. Akibatnya, ada daerah mengenakan tarif hingga Rp 1.500. Ada juga daerah yang bahkan tidak mengizinkan sama sekali penggunaan tas plastik.
Kekacauan macam ini tidak akan terjadi kalau pemerintah segera membuat aturan yang lebih kuat. Peraturan Menteri Lingkungan Hidup, misalnya, akan lebih mengikat daripada sekadar surat edaran dirjen yang lingkupnya terbatas.
Agar efek program ini lebih luas, pemerintah perlu mempertimbangkan aturan plastik berbayar ke tempat belanja lain, tidak hanya pasar modern. Kalau perlu, kemasan sekali pakai lainnya, seperti botol minuman dan wadah makanan, dikenai beban yang sama.
Program plastik berbayar merupakan kesempatan bagus bagi masyarakat untuk lebih ramah lingkungan. Jangan sampai program ini gagal di tengah jalan hanya karena aturan yang lemah.