Muselmann dalam bahasa Jerman berarti "muslim". Tak selamanya disebut dengan citra yang baik. Di masa lalu di Jerman ada sebuah nyanyian untuk anak-anak:
K-a-f-f-e-e
K-a-f-f-e-e,
trink nicht so viel kaffee!
Nicht fr Kinder ist der trkentrank
schwcht die Nerven, macht dich bla lassen und krank.
Sei doch kein Muselmann,
der ihn nicht lassen kann!
Kopi
Kopi
Jangan minum banyak kopi!
Bukan untuk anak-anak, ini minuman Turki
bikin saraf lemah, bikin sakit dan pucat pasi.
Jangan jadi muslim,
kamu nanti tak sanggup apa-apa!)
Nyanyian dari tahun 1930-an ini saya dapat dari wawancara Gil Anidjar, penulis The Jew, the Arab: A History of the Enemy, dengan Nermeen Shaikh.
Anidjar menyebutnya sebagai contoh bagaimana orang Eropa memandang Islam. Sebagaimana Yudaisme, ia diposisikan sebagai "musuh". Ketika itu Eropa sedang merumuskan dirinya sendiri, dan "musuh" diperlukan untuk mempersatukan.
Persepsi yang tak ramah itu tak terbatas pada lagu anak-anak. Kita menemukannya dalam pandangan Hegel. Pemikir Jerman yang berpengaruh itu menyebut Islam sebagai Religion der Erhabenheit, agama yang menganggap sesembahannya demikian sublim dan agung hingga para pemeluk harus patuh semata-mata kepada hukum yang tegar. Mereka memandang diri sendiri sebagai hamba, bukan subyek yang berdaya. Mereka hidup dalam alienasi.
Setelah Hegel, sikap terhadap Islam sebagai agama yang membuat orang "tak sanggup apa-apa" itu berlanjut sampai tahun 1940-an. Hitler berkuasa dan ia kirim ribuan orang ke kamp pembantaian; sebagian besar Yahudi. Tak ada orang Islam yang terdaftar di tempat-tempat itu, tapi di Auschwitz, kata "muslim" ternyata disebut.
Yang merekamnya adalah Primo Levi, sastrawan Italia keturunan Yahudi yang pada umur 25 tahun dikirim ke kamp konsentrasi Auschwitz. Levi tak lama disekap, sejak 1943 sampai dengan 1945, tahun kejatuhan Hitler. Tapi catatannya tentang kehidupan di neraka itu membekas dalam kenangan orang.
Se questo e un uomo terbit pada 1958 (versi Inggrisnya: If this is a man). Di dalamnya kita diperkenalkan kepada satu kategori tahanan: orang-orang yang remuk. Merekalah Muselmanner: "Orang-orang yang tenggelam massa yang tanpa nama makhluk-bukan-manusia yang berjalan dan bekerja dalam bisu." Orang ragu untuk menyebut mereka hidup, juga ragu untuk menyebut kematian mereka "kematian". Mereka terlalu lelah untuk mengerti apa arti mati.
Bahwa di kamp tahanan itu orang-orang Yahudi yang sudah remuk disebut "Muselmann" menunjukkan citra macam apa yang ada di Jerman tentang umat Islam waktu itu: manusia yang tak berguna lagi, mirip sampahorang-orang yang dikungkung dan dikekang hukum agama, orang-orang yang sebenarnya terasing dari hidup yang bergerak dan berubah terus.
Kita ingat Marx menyebut agama sebagai "candu": sesuatu yang bisa menghibur namun membuat manusia tersandar seperti lumpuh. Agaknya pengaruh Hegel membekas di sana: agama itu memperbudak. Marx pun menyerukan pembebasan, dan seluruh pemikir modern Eropa menggerakkan sekularisasi: tinggalkan titah Tuhan dan sambut kemampuan manusia; singkirkan agama dari kehidupan.
Di sini saya ingin kembali ke Anidjar. Yang menarik dari pendapatnya ialah bahwa sekularisasi justru bermula ketika agama hendak mengukuhkan kekuasaannya: di Spanyol dan Portugal, di abad ke-15.
Waktu itu kekuasaan Katolik sedang mengkonsolidasikan kemenangannya setelah kerajaan Islam terakhir jatuh. Gereja, dengan lembaga Inkuisisinya, menetapkan aturan limpieza de sangre: orang-orang yang baru menjadi Kristen harus ber-"darah-murni"; ia bukan keturunan Yahudi atau Arab.
Tapi dengan demikian ketentuan agama yang lama ditinggalkan. Sakramen tak lagi berfungsi, karena sia-sia menandai pertobatan ataupun konversi. Kekuasaan sang Inkuisitorsang pengusut yang menghakimi iman seseoranglebih efektif ketimbang ketentuan Tuhan. Tokoh Inkuisitor Agung dalam cerita Dostoyevsky yang termasyhur bahkan lebih berkuasa ketimbang Yesus.
Dan itulah awal sekularisasi.
Tapi itu berarti bahwa tak ada retakan yang dalam antara yang religius dan yang sekuler. Lambang-lambang agama tak ditinggalkan; bedanya: Tuhan telah digantikan petinggi gereja, ayatullah, majelis ulama, kementerian agama. Yang sekuler dan yang religius disatukan dalam kekuasaan duniawi.
Tapi itu bukan berarti pembebasan. Bahkan dengan kekuasaan yang dibayang-bayangi aura Tuhan, siapa saja yang di tampuk pimpinan akan gampang tergoda untuk menuntut agar selamanya ia dipatuhi dalam taklid yang sempurna. Ada Tuhan baru; ada hamba-hamba baru. Ada penindasandan dalam bentuknya yang ekstrem, di ujungnya ada Muselmann. Di sini Muselmann bukan lagi "muslim", dengan citra yang kelam. "Muslim" jadi sesuatu yang universal: siapa saja, di mana saja, kapan saja, yang tertindas.
Maka pembebasan bukan datang serta-merta karena sekularisasi. Pembebasan hanya bisa diraih melalui perlawanan terhadap represi. Dan agar tak ada kekuasaan yang akan mengulangi penindasan, perlawanan itu harus berartidan itu hanya mungkin bila pada mulanya adalah kesaksian. Bukan kesaksian orang yang hanya melihat, melainkan kesaksian orang yang menanggungkan. Para korban.
Tapi tak sembarang korban.
Dalam Quel che resta di Auschwitz (versi Inggrisnya: Remnants of Auschwitz), Giorgio Agamben mengutip Primo Levi tentang "saksi yang sejati". Saksi ini bukan orang seperti dirinya, yang keluar dari neraka. Saksi yang "lengkap" yang harus diutamakan adalah mereka yang tak bisa keluar, tenggelam, tak lagi bisa bicara: para Muselmann.
Goenawan Mohamad