Putu Setia
Sudah tak sabar ingin mengikuti konvensi calon presiden yang digelar Partai Demokrat. Panitia konvensi orang-orang yang dikenal jujur dan integritasnya tinggi. Rekam jejaknya bagus, meski sekarang hal itu tak bisa jadi jaminan. Contohnya Rudi Rubiandini, Kepala SKK Migas, kurang apa lagi baiknya. Doktor lulusan Jerman, dosen teladan di kampus bergengsi, ternyata tertangkap tangan juga menerima suap. Sepertinya kita harus selalu bersiap-siap untuk terkejut.
Masalahnya, apa saya bisa mengikuti konvensi? Secara nyata pasti tidak, karena saya masih waras dan suka becermin mematut-matut diri. Namun, secara maya, kenapa tidak? Saya ahli berandai-andai. Dengan berandai menjadi tokoh yang setara Mahmud Md., Gita Wirjawan, Irman Gusman, Dahlan Iskan, Sri Mulyani, Anies Baswedan, dan seterusnya--tokoh-tokoh nonpartai--saya siap ikut konvensi.
Soal pertama yang harus saya selesaikan adalah apakah saya melamar atau menunggu undangan. Jika melamar, artinya saya memang ngebet betul. Orang mungkin menyebut saya sombong. Kalau sedikit menahan diri--dan menjaga harga diri--baiknya menunggu undangan. Masalahnya, apakah undangan itu, jika saya terima, otomatis nama saya masuk dalam barisan konvensi? Atau undangan yang dimaksudkan komite adalah "undangan untuk mendaftar". Artinya, saya tetap memperlihatkan nafsu yang menggebu.
Soal kedua, andaikan saya mendapat ranking pertama--istilahnya pemenang konvensi--apakah secara otomatis saya menjadi calon tunggal presiden dari Demokrat? Menjadi kader partai, saya siap. Bahkan ingin menjadi Ketua Umum Demokrat, setidaknya Ketua Harian, agar sepenuh jiwa raga saya tumpahkan untuk memenangkan pemilu presiden. Sudah ada pengalaman di masa lalu, capres yang bukan ketua umum partai kalah karena ketua umum partai tak mendukung sepenuh jiwa raga. Apalagi, Demokrat punya aturan, urusan capres wewenang majelis tinggi. Memangnya majelis itu legowo kalau saya--orang luar--yang menang?
Soal ketiga ada ganjalan kecil. Masih jadi wacana saat ini syarat pengajuan capres dari partai politik adalah jika partai meraih kursi minimal 20 persen. Memangnya Demokrat bisa meraih kursi sebesar itu pada saat elektabilitasnya terjun bebas begini? Jangan-jangan, setelah saya menang konvensi sementara perolehan kursi Demokrat kecil, saya ditawar-tawarkan ke partai lain. Kalau partai lain itu suaranya lebih besar, saya bisa terlempar menjadi calon wapres. Ini mimpi buruk, konvensi yang saya ikuti untuk capres, bukan cawapres.
Soal ketiga itu saya anggap ganjalan kecil. Jika saya pemenang konvensi dan resmi menjadi orang Demokrat, saya akan mengajukan gugatan ke Mahkamah Konstitusi tentang syarat pengajuan capres yang bertentangan dengan konstitusi. Pasal 6A ayat 2 UUD 1945 menyebutkan, "Pasangan calon presiden dan wakil presiden diusulkan oleh partai politik atau gabungan partai politik peserta pemilihan umum sebelum pelaksanaan pemilihan umum."
Tak ada disebut-sebut partai itu harus memiliki kursi sekian persen. Yang perlu dibuatkan undang-undang hanya syarat-syarat untuk menjadi presiden dan wakil presiden (pasal 6 ayat 2), seperti pendidikan, kesehatan, dan seterusnya. Bukan syarat untuk mengusulkan.
Saya yakin MK mengabulkan gugatan saya kalau hakim konstitusi itu bisa berbahasa Indonesia dengan baik dan benar. Hanya jika langkah itu cocok dengan keinginan Komite Konvensi, saya baru ikut konvensi. Buat apa ikut kalau nama saya hanya untuk mendongkrak elektabilitas Demokrat yang kini terpuruk--meski ikutnya hanya dalam pengandaian.