Hutomo Bayu Listyaghi, Diplomat Kementerian Luar Negeri RI
Konstitusi bangsa Indonesia mengamanatkan agar segala bentuk penjajahan di atas dunia harus dihapuskan karena tidak sesuai dengan perikemanusiaan dan perikeadilan. Jika melihat yang terjadi di Palestina saat ini, sudah sepatutnya Indonesia menjadi garda terdepan dalam perjuangan masyarakat internasional agar bangsa Palestina meraih kedaulatan penuh untuk merdeka.
Salah satu seruan Presiden Joko Widodo di depan negara-negara anggota Organisasi Konferensi Islam (OKI) pada KTT Luar Biasa OKI di Jakarta, 7 Maret lalu, adalah memboikot produk-produk Israel yang diproduksi di dalam wilayah pendudukan. Seruan ini layak mendapat apresiasi sebagai ekspresi keseriusan Indonesia untuk mengakhiri pendudukan Israel di Palestina.
Boikot, sebagai salah satu bentuk sanksi ekonomi, adalah sebuah instrumen yang umum digunakan secara internasional, walaupun dampaknya terhadap kebijakan negara target masih diperdebatkan.
Hal-hal yang perlu mendapat pertimbangan lebih lanjut jika kebijakan boikot ini akan dituangkan dalam bentuk law, regulation and administrative determination, adalah komitmen bangsa Indonesia dalam World Trade Organization. Penulis berpendapat, dalam skenario penyelesaian sengketa, akan sulit bagi Indonesia untuk mempertahankan kebijakan ini. Selain menghadapi kesulitan dalam memperoleh escape clause (klausul untuk menghindar) yang relevan, boikot adalah sebuah bentuk pembatasan kuantitatif yang jelas bertentangan dengan Pasal XI General Agreement on Tariffs and Trade (GATT) 1994.
Karena posisinya yang sulit untuk dipertahankan inilah, beberapa negara kemudian mengadopsi kebijakan lain yang memiliki efek kurang-lebih sama dengan boikot. Contohnya, kebijakan pelabelan (labelling) oleh Uni Eropa (UE) terhadap produk-produk yang dihasilkan di dalam wilayah jajahan Israel di Palestina (illegal settlement). Pelabelan ini dimaksudkan agar masyarakat Eropa berpikir dua kali sebelum membeli produk-produk dari atas tanah yang terjajah.
Kebijakan tersebut dapat dijadikan patokan oleh Indonesia, tapi dengan pertimbangan sebagai berikut. Pertama, sesuai dengan Pasal I GATT 1994 tentang prinsip Most Favored Nation dan Non-Discriminatory Measure (bahwa negara anggota GATT tidak boleh memberikan keistimewaan yang menguntungkan hanya kepada satu atau sekelompok negara tertentu), jika kebijakan Country of Origin Labelling (COOL) hanya diimplementasikan dalam konteks produk-produk yang dihasilkan di atas wilayah jajahan. Hal ini secara politik akan sangat berisiko bagi Indonesia. Apakah Indonesia juga akan melabeli produk-produk yang diproduksi di Tibet, Taiwan, dan negara-negara relevan lainnya? Dengan isu Papua akhir-akhir ini yang terus mengemuka, jangan sampai kita mengambil kebijakan yang akan menjadi bumerang.
Kedua, bagaimana cara menguji bahwa produk-produk Israel yang beredar di Indonesia adalah benar bukan diproduksi di atas tanah Palestina? Bagaimana kalau pabrik berada di wilayah Palestina dan perusahaan induk berada di wilayah “legal” Israel, maka akan sulit untuk mengklasifikasikan produk dimaksud.
Negara sebisa mungkin menjadi pihak yang netral. Tapi Indonesia memiliki organisasi keagamaan, seperti Nahdlatul Ulama (NU) dan Muhammadiyah, dengan jumlah pengikut yang signifikan dan bukan merupakan subyek dari hukum di dalam WTO. NU dan Muhammadiyah bisa mempublikasikan kepada masyarakat mengenai produk-produk apa saja yang diproduksi di Israel dan beredar luas di sini.
Organisasi-organisasi ini bahkan bisa menerbitkan pelabelan mereka sendiri. Sebaiknya label tidak diberikan kepada produk, melainkan kepada pasar swalayan dan warung-warung yang tidak menjual produk-produk Israel, seperti stiker “Bebas Produk Israel”. Selain lebih praktis, hal ini akan menciptakan peluang bisnis baru.
Sebagai tambahan, penulis memandang tidak perlu dibedakan antara produk yang diproduksi di wilayah “legal” Israel dan produk yang diproduksi di wilayah pendudukan di Palestina. Dengan membedakan produk-produk itu, secara tidak langsung kita seperti tidak berkeberatan atas agresi militer Israel pada 1967 di Palestina.
Apakah aktivis kebebasan itu pernah berteriak “Boikot produk dari Bantustan” untuk mengakhiri apartheid di Afrika Selatan? Apakah ada aktivis kebebasan berteriak “Cukup boikot produk Cina yang diproduksi di Tibet saja”?
Berita terkait
TNI-Polri Evakuasi Jenazah Warga Sipil yang Dibunuh TPNPB-OPM di Kampung Pogapa
3 menit lalu
Aleksander Parapak tewas ditembak kelompok bersenjata TPNPB-OPM saat penyerangan Polsek Homeyo, Intan Jaya, Papua
Baca Selengkapnya33 Desa di Wajo Sulawesi Selatan Terendam Banjir, Listrik Padam di Tengah Evakuasi
11 menit lalu
Banjir merendam 33 desa di Kabupaten Wajo, Sulawesi Selatan pada Jumat, 3 Mei 2024, pukul 03.03 WITA.
Baca SelengkapnyaLPEM UI: Proyeksi Ekonomi RI Tumbuh 5,15 Persen di Kuartal I 2024
20 menit lalu
Perayaan bulan suci Ramadan dan hari raya Idul Fitri juga dapat memacu pertumbuhan ekonomi domestik lebih lanjut.
Baca SelengkapnyaMenlu India Tak Terima Komentar Joe Biden tentang Xenofobia
27 menit lalu
Menteri Luar Negeri India menolak komentar Presiden AS Joe Biden bahwa xenofobia menjadi faktor yang menghambat pertumbuhan ekonomi negaranya.
Baca SelengkapnyaNasDem dan PKB Dukung Prabowo, Zulhas: Biasa Saja, Masyarakat Jangan Baper
27 menit lalu
Zulhas menganggap dukungan dari NasDem dan PKB ke Prabowo sebagai sesuatu yang biasa saja. Ia mengimbau masyarakat tak baper.
Baca SelengkapnyaSuhu Panas di Thailand, Petani Pakai Boneka Doraemon untuk Berdoa agar Turun Hujan
31 menit lalu
Sejumlah negara Asia Tenggara, termasuk Thailand, mengalami panas ekstrem beberapa pekan ini. Suhu 40 derajat Celcius terasa 52 derajat Celcius.
Baca SelengkapnyaBima NTB Diguncang Gempa Magnitudo 4,9, Dampak Pergerakan Lempeng Indo-Australia
33 menit lalu
Gempa M4,9 di area Bima, NTB, dipicu aktivitas lempeng Indo-Australia. Tidak ada gempa susulan dan tidak berpotensi tsunami.
Baca SelengkapnyaBandara di Jepang Ini Tak Pernah Kehilangan Bagasi Penumpang, Apa Rahasianya?
41 menit lalu
Bandara Internasional Kansai Jepang pertama kali dibuka pada 1994, dan diperkirakan melayani 28 juta penumpang per tahun.
Baca SelengkapnyaMengenal Ali Jasim Pemain Timnas Irak U-23 yang Berharap Indonesia Lolos ke Olimpiade
43 menit lalu
Setelah timnas Indonesia U-23 dikalahkan Irak saat perebutan peringkat ketika Piala Asia U-23 2024, Ali Jasim mengungkapkan harapannya
Baca SelengkapnyaPedagang Siomay Curi 675 Celana Dalam Wanita Demi Kepuasan Seksual
57 menit lalu
Polisi menangkap seorang pemuda berinisial J, 31 tahun, karena diduga mencuri ratusan celana dalam wanita dari berbagai indekos
Baca Selengkapnya