Wajar bila pemerintah memburu pajak para artis yang memiliki banyak pengikut di media sosial. Mereka seharusnya membayar pajak jika memperoleh penghasilan dari pemasang iklan atau sponsor. Tapi pemerintah tetap perlu memperbaiki perangkat hukum untuk memburu pajak pemain kakap di Internet.
Undang-Undang Ketentuan Umum Perpajakan maupun Undang-Undang Pajak Penghasilan tidak membedakan subyek dan asal penghasilan. Jangan heran jika wajib pajak penghasilan (PPh 21) amat luas, dari pegawai negeri hingga penjual jasa bebas, seperti penyanyi dan pelawak. Intinya, seseorang yang mendapatkan penghasilan dari kegiatan apa pun diwajibkan membayar pajak.
Artis yang mempunyai banyak pengikut di media sosial serta pengunggah video yang laris di YouTube mendapat penghasilan yang berlimpah. Sebagai subyek pajak, mereka tinggal melaporkan penghasilan itu, lalu membayarnya. Soalnya, prinsip pembayaran pajak di negara kita menganut self-assessment. Jadi amat bergantung pada kejujuran si wajib pajak.
Kini, tugas pemerintah, terutama Direktorat Jenderal Pajak, adalah mendapatkan data yang akurat tentang penghasilan selebritas di dunia maya. Tanpa data pembanding, sulit bagi pemerintah untuk mengejar pajak mereka atau bertindak jika ada wajib pajak yang nakal.
Pemerintah juga perlu berupaya keras mengejar pajak pemain besar di dunia Internet, seperti Google, Facebook, dan perusahaan penyedia layanan aplikasi atau konten melalui Internet. Mereka jelas menikmati miliaran dolar Amerika dari pendapatan iklan. Tapi pemerintah belum bisa memaksa mereka untuk membayar pajak. Pelaku bisnis lain di Internet, seperti biro iklan dan toko online, sejauh ini juga belum terjamah oleh petugas pajak.
Harus diakui, mengejar pajak dari aktivitas ekonomi di dunia maya bukanlah hal yang mudah. Undang-Undang Perpajakan maupun Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik belum mengatur secara tegas mengenai hal itu. Semestinya diatur, misalnya, setiap pelaku usaha di dunia maya wajib memenuhi undang-undang yang berlaku di Indonesia sesuai dengan jenis usaha. Juga, perlu ditegaskan bahwa setiap orang atau perusahaan yang mendapat penghasilan dari aktivitas online harus memiliki nomor pokok wajib pajak.
Kementerian Keuangan serta Kementerian Komunikasi dan Informatika harus kompak. Keinginan Direktorat Jenderal Pajak mengejar pajak transaksi online tidak akan bisa optimal tanpa dukungan Kementerian Komunikasi. Hanya Menteri Komunikasi dan Informatika yang bisa membuat pungutan pajak di Internet efektif.
Menteri Komunikasi bisa memblokir situs-situs porno karena memuat konten yang dilarang undang-undang. Jika aturan mengenai perpajakan di dunia maya dipertegas, seharusnya langkah serupa bisa dikenakan terhadap pelaku Internet yang tak mau membayar pajak.