Sulardi
Dekan Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah Malang
Menjelang pemilihan kepala daerah (pilkada) serentak 2017, suasana perpolitikan di Jakarta sudah memanas. Banyak isu dan rumor dipublikasikan, terutama soal jalur yang dipilih calon inkumben Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok dalam pemilihan Gubernur DKI Jakarta mendatang. Yang tak kalah seru adalah mengenai siapa sesungguhnya penantang Ahok.
Sejak memasuki era reformasi dan pasca-perubahan UUD 1945, regulasi tentang pilkada merupakan salah satu peraturan yang paling sering diubah. Dinamika regulasinya pada awalnya digulirkan untuk penguatan demokratisasi dan desentralisasi. Berawal dari Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1974 tentang Pokok-pokok Pemerintahan di Daerah yang sangat sentralistik sampai Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2014 tentang Pemerintah Daerah yang fenomenal karena baru berusia dua tahun telah mengalami perubahan dua kali, melalui Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2015 dan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2016. Ini membuktikan betapa krusialnya pemilihan kepala daerah.
Berdasarkan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1974, proses pemilihan wali kota, bupati, dan gubernur dilakukan oleh DPRD, tapi penentu utama siapa yang bakal menjadi kepala daerah pada waktu itu adalah menteri dalam negeri, Golkar, TNI, dan tentu saja atas restu presiden. Nuansa sentralisme sangat terasa pada waktu itu.
Demokratisasi menunjukkan sedikit perbaikan setelah, dalam Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah, DPRD memiliki peran utama dalam menentukan siapa yang menjadi kepala daerah. Tapi kasus di berbagai daerah menghadirkan distorsi antara keinginan elite politik dan anggota DPRD di satu pihak yang berhadapan dengan masyarakat bawah mengenai calon kepala daerah. Bahkan, isu adanya politik uang mewarnai pelaksanaan pilkada oleh DPRD ini. Asumsi dan temuan terkait dengan hal tersebutlah yang kemudian mendorong terjadinya perubahan metode dalam pemilihan kepala daerah. Yang semula dipilih oleh DPRD diubah menjadi dipilih oleh rakyat.
Pergumulan pemikiran untuk mencari solusi atas keruwetan tata cara pilkada yang terdikotomi antara dipilih oleh DPRD dan rakyat itu diselingi perdebatan yang sesungguhnya tidak penting. Perdebatan tersebut, antara lain, adalah apakah pilkada itu rezim pemerintah daerah ataukah rezim pemilu? Bagaimana dengan calon independen? Bagaimana hubungan antara kepala daerah dan wakil kepala daerah? Apa kedudukan inkumben dalam pilkada serta perlu izin atau cutikah jika inkumben mencalonkan diri lagi?
Perdebatan itu sungguh tak ada pengaruhnya terhadap hasil pemilihan kepala daerah. Sebab, ada satu hal yang dilupakan, yakni masih kuatnya cengkeraman partai politik terhadap kader-kader partai di daerah. Sentralisme dalam diri partai politik itu dapat dilihat pada persyaratan pendaftaran pasangan calon bupati dan pasangan calon wali kota yang dilengkapi dengan surat keputusan pengurus partai politik tingkat pusat tentang persetujuan atas calon yang diusulkan oleh pengurus partai di provinsi.
Demikian halnya untuk pasangan calon gubernur dan wakil gubernur, harus ada surat keputusan tentang persetujuan dari partai politik pusat atas calon yang diusulkan oleh pengurus tingkat provinsi. Artinya, persetujuan, yang dalam bahasa politiknya menjadi rekomendasi ketua partai, merupakan syarat mutlak untuk dapat mendaftarkan diri sebagai calon gubernur, bupati, ataupun wali kota. (Lihat Pasal 42 ayat 5 dan 6 Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016)
Pilihan sistem pemerintah daerah adalah desentralisasi, yang berfokus pada penyerahan kekuasaan dari pemerintah pusat kepada daerah. Jika pemerintah pusat sudah menyerahkan urusan-urusannya kepada daerah, seolah-olah masalah desentralisasi telah selesai. Padahal, dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah itu semestinya masyarakat daerah mendapatkan porsi yang memadai untuk berkontribusi atas keberhasilan penyelenggaraan pemerintah daerahnya.
Namun dengan sentralisasi sistem pencalonan kepala daerah dalam tubuh partai politik ini sesungguhnya sistem pemerintahan desentralisasi belum ada. Sebab, pemimpin partai politik di tingkat pusat masih sangat menentukan siapa yang bisa menjadi calon-calon kepala daerah. Hal itu yang lepas dari perhatian kita semua. Sentralisasi dikritik, tapi tetap diabadikan untuk menentukan siapa yang akan menjadi kepala daerah.
Sudah saatnya desentralisasi dilakukan sepenuhnya. Oleh sebab itu, perlu penguatan kepada partai politik di daerah agar mempunyai kekuatan untuk menentukan siapa yang pantas memimpin daerahnya. Ini bisa diselenggarakan lewat konvensi di daerah atau pimpinan partai politik di daerah bermusyawarah untuk menentukan siapa kader partainya yang akan dijagokan dalam pilkada. Hal itu perlu agar desentralisasi berjalan seiring dengan kekuasaan partai politik yang diserahkan juga kepada pemimpin di daerah.
Berita terkait
Di Acara Milenial dan Gen Z, Anies Jawab Soal Tuduhan Politik Identitas Saat Pilkada DKI 2017
27 November 2023
Anies Baswedan menjawab tuduhan soal penggunaan politik identitas saat Pilkada DKi 2017 pada acara Indonesia Milleninial and Gen-Z Summit 2023.
Baca SelengkapnyaAnies Ungkit Momen Berutang di Pilkada DKI, Singgung Biaya Politik Mahal
30 September 2023
Anies menuturkan mahalnya biaya kampanye bukan berarti ketika menjadi pejabat harus balik modal
Baca SelengkapnyaDi Acara Partai Ummat, Anies Baswedan Cerita Diberi Label saat Pilkada DKI 2017
14 Februari 2023
Anies Baswedan menyebut ada dua pendekatan untuk menciptakan persepsi ini.
Baca SelengkapnyaAnies Baswedan Buka Suara soal Utang Rp 50 Miliar ke Sandiaga: Sudah Selesai Dulu
11 Februari 2023
Anies Baswedan menegaskan tidak ada utang yang hari ini harus dilunasi.
Baca SelengkapnyaPolitikus NasDem Minta Sandiaga Klarifikasi Surat Utang Anies Baswedan
11 Februari 2023
Ada juga poin yang menyatakan jika Anies-Sandi menang, maka Anies Baswedan bebas dari utang tersebut.
Baca SelengkapnyaSoal Perjanjian Utang dengan Anies Baswedan, Sandiaga: Saya Baca Dulu
6 Februari 2023
Sandiaga belum mau menanggapi soal utang Anies Baswedan ke dirinya saat Pilkada DKI 2017.
Baca SelengkapnyaFadli Zon Buka Suara Soal Perjanjian Anies Baswedan - Sandiaga Uno di Pilkada DKI
6 Februari 2023
Fadli Zon mengakui membikin draft perjanjian antara Anies Baswedan dan Sandiaga Uno saat Pilkada DKI 2017. Soal utang, Fadli tak mau bicara.
Baca SelengkapnyaPesan Anies Baswedan untuk Kedua Putra Haji Lulung
31 Januari 2022
Anies Baswedan bercerita tentang dukungan yang diberikan Haji Lulung kepadanya dalam Pilkada DKI 2017.
Baca SelengkapnyaMUI DKI Bikin Cyber Army, Taufik Gerindra: Buzzer Terus Serang Anies Baswedan
20 November 2021
Taufik menyampaikan penyerang ini selalu mengatakan bahwa Anies Baswedan memenangkan Pilkada, karena politik identitas.
Baca SelengkapnyaBaca Pleidoi Rizieq Shihab Singgung Aksi 212, Ahok, dan Pilkada DKI
20 Mei 2021
Rizieq Shihab mengklaim perkara yang menjeratnya bukanlah kasus hukum melainkan politik. Ia kemudian berkisah tentang Pilkada DKI.
Baca Selengkapnya