Kepolisian tak boleh serampangan menindaklanjuti pelaporan dugaan pidana penistaan agama yang dialamatkan kepada Basuki Tjahaja Purnama. Penegakan hukum yang sesuai dengan prosedur dan pembuktian harus ditempatkan jauh di atas tekanan sekelompok masyarakat.
Hari ini ribuan orang dari sejumlah daerah akan memenuhi kawasan Monumen Nasional, Jakarta Pusat, untuk berunjuk rasa menuntut agar Ahok dipenjarakan. Massa yang tergabung dalam demo bertajuk "Aksi Bela Islam II" ini menolak permohonan maaf Ahok atas pernyataannya tentang Surat Al-Maidah ayat 51, akhir September lalu, yang dianggap menghina umat Islam.
Sebetulnya, tuduhan penghinaan itu telah dilaporkan ke Kepolisian, awal bulan lalu. Markas Besar Kepolisian RI pada Rabu lalu juga memastikan telah menuruti tuntutan agar proses hukum dijalankan. Kepala Kepolisian RI Jenderal Tito Karnavian menyatakan penyelidik Badan Reserse Kriminal akan mulai meminta keterangan Ahok dan sejumlah saksi pada Senin pekan depan.
Cuma, beragam spekulasi kadung bergulir mengiringi rencana unjuk rasa hari ini. Rumor adanya skenario ricuh membuat Ibu Kota mencekam. Kabar demonstrasi akan disusupi aksi dari kelompok radikal meningkatkan ancaman. Celakanya, drama yang dilakoni para elite politik dalam menyikapi berbagai kekhawatiran itu justru memanaskan suasana. Itu sebabnya, sulit untuk tidak juga khawatir bahwa proses hukum terhadap Ahok di Kepolisian hanya untuk meredam tekanan demonstran. Penyelidik memang punya amunisi: Pasal 156-a Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP). Pasal itu memberikan ancaman pidana paling lama 5 tahun penjara kepada setiap orang yang sengaja mengeluarkan perasaan bersifat permusuhan, penyalahgunaan, atau penodaan terhadap agama.
Tapi, perlu diingat, pasal tersebut tercantum dalam KUHP lewat Penetapan Presiden Nomor 1 Tahun 1965 tentang Pencegahan Penyalahgunaan dan Penodaan Agama. Undang-undang yang diteken Presiden Sukarno ini mengamanatkan pidana penghinaan agama bisa dikenakan jika pelaku mengulang perbuatannya dan melanggar peringatan pemerintah yang dituangkan lebih dulu dalam bentuk surat keputusan bersama Menteri Agama, Jaksa Agung, dan Menteri Dalam Negeri.
Belum lagi urusan pembuktian. Pasal penodaan agama telah lama dicap sebagai pasal karet. Alih-alih menjaga kerukunan hidup beragama, pasal ini rentan dimanfaatkan untuk menekan kelompok minoritas karena sifatnya yang berpotensi multitafsir. Tentu saja penegak hukum tak dapat mengabaikan adanya laporan dari masyarakat yang menuding Ahok telah menistakan agama. Tapi Kepolisian juga harus memastikan seluruh proses hukum terhadap Gubernur DKI Jakarta nonaktif yang sedang berkampanye itu sesuai dengan koridor.
Sebaliknya, para demonstran juga harus sadar, mereka telah menggunakan hak menyampaikan pendapat. Kini giliran mereka berkewajiban menghormati hukum dan menghentikan anjuran kebencian.