TEMPO Interaktif, Jakarta -
MY NAME IS KHAN
Sutradara : Karan Johar
Skenario : Karan Johar dan Shibani Bathija
Pemain : Shah Rukh Khan dan Kajol Devgan
<p>“Nama saya Khan, dan saya bukan seorang teroris.”
<p>Kalimat sakti ini diucapkan Rizvan Khan (Shah Rukh Khan), seorang pria penderita Asperger dari India yang berkeliling Amerika Serikat, dari ujung gurun hingga mennyeberang banjir akibat bencana Katrina, hanya untuk menemui Presiden AS untuk menyatakan bahwa dia bukan seorang teroris.
<p>Film ini dimulai dengan gebrakan menarik. Ketegangan duna pasca 9/11. Sikap pemerintah dan masyarakat AS yang paranoia terhadap apapun dan siapapun yang nama dan wajahnya memberi indikasi yang mereka anggap sebagai teroris. Tetapi petualangan Khan mencari Sang Presiden mempunyai sejarah panjang.
<p>Kita dibawa jauh kembali ke masa kecil Khan di India yang dibesarkan ibunya seorang. Seorang penderita Asperger, yang cerdas tetapi tak bisa berkomunikasi dengan baik, Khan tentu saja mengalami banyak problem sosial di sekolah hingga ibunya harus memilih seorang tutor untuknya. Satu nasihat ibunya yang selalu diingatnya dengan takzim: “Dunia hanya terdiri dari orang baik dna orang jahat.” Ajaran ibunya ini memebri
implikasi di kemudian hari bagi Khan bahwa apapun agama atau ras seseorang, yang membedakannya adlaah apakah dia orang yang baik atau jahat.
bekerja sebagai seorang penjaja produk ksometika dan bertemu dengan si cantik Mandira (Kajol Devgan), seornag perempuan India Hindu yang sudah memiliki satu remaja putera, hasil perkawinan sebelumnya. Mereka menikah. Hidup bahagia. Hingga kemudian pecah tragedy 9/11. Mata memandang nama Khan. Anak Mandira, yang kini juga menjadi putera Khan habis dihajar anak-anak kurang ajar di sekolahnya.
<p>Film ini mempunyai ide bagus dan niat yang bagus. Sejak awal kita mengikuti Amerika dengan segala luka dan tingkahnya dari mata orang India (dan juga mata orang asing lainnya yang sudah pernah mencicipi arogansi mereka). Tetapi ini kisah seorang Khan yang berhati bersih, jujur, polos, naïf dan sangat rigid dengan waktu dan peraturan. Khan yang berhati putih itu kemudian dibumbui dnegan petualangannya nyangkut di kawasan Selatan yang dihajar Katrina. Bagian ini lantas membuat kita mulai lelah.Pertama, plot mulai melibatkan terlalu banyak klimaks seperti novel-novel
Inggris abad 19 yang doyan penderitaan yang ditimpakan pada protagonisnya. Belum lagi musiknya yang tak kunjung berhenti, terus menerus, bising, menggedor-gedor telinga.
<p>Emosi tercabik-cabik begitu kerap, hampir setiap 20 menit—film ini durasinya panjang banget. Musik juga begitu kerap. Penderitaan begitu sering. Tak bisa tidak, kita pasti jatuh cinta dan simpati pada sosok Khan, dan membenrci siapapun yang rasis dan dungu. Tetapi, perlukan plot ini berkembang tak tentu arah seperti sebuah novel Victoria setebal 500 halaman yang membuat kita lelah?
<p>Sutradara Karan Johan sudah benar dengan meletakkan problem ini ke peta perfilman dunia. Problem universal; pandangan dari mata Asia dan pemain komersil. Dia hanya tinggal menyunting durasi , musik dan beberapa subplot agar film ini menjadi lebih padat dan berisi.
<b>Leila S.Chudori </b>