Pemerintah perlu bertindak tegas, tapi tetap terukur, menghadapi situasi politik yang memanas. Kasus calon inkumben Gubernur DKI Jakarta, Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok, menerbitkan kecenderungan pengerahan massa buat menekan proses hukum. Cara ini amat berbahaya karena bisa meruntuhkan pilar negara demokrasi dan prinsip keberagaman.
Aksi massa 212merujuk pada tanggal aksi, 2 Desember lalusebetulnya sudah tak relevan lagi karena penegak hukum telah bekerja. Ahok, yang dituduh menistakan Al-Quran karena pernyataannya di Kepulauan Seribu, telah dijadikan tersangka. Kepolisian pun relatif cepat menangani kasus ini. Berkasnya bahkan telah dilimpahkan kejaksaan dan dinyatakan lengkap.
Sebagian pendemo masih mempersoalkan kenapa Ahok tidak ditahan. Masalahnya, sesuai dengan aturan hukum, memang tidak semua tersangka kasus pidana perlu ditahan. Syarat penahanan, seperti kekhawatiran tersangka kabur atau menghilangkan barang bukti, tidak terpenuhi dalam kasus Ahok. Bahkan, penetapan Ahok sebagai tersangka terkesan pula demi melayani tekanan yang luar biasa dari kalangan umat Islam.
Jika dibiarkan, pengaruh tekanan massa itu bisa membawa Indonesia menjadi negeri mobocracymeminjam istilah filsuf Aristoteles pada awal kelahiran demokrasi. Ia menunjuk keadaan ketika hukum ditentukan oleh kerumunan orang, satu kondisi buruk yang rentan anarkisme. Tidak seorang pun yang berpikiran sehat boleh membiarkan keadaan buruk seperti itu terjadi di negeri ini.
Situasi yang tidak sehat tersebut semakin terlihat dengan munculnya parade "Kita Indonesia", kemarin. Apa pun judul kegiatan aksi pada 4 Desember itu, susah untuk tidak mengaitkannya dengan aksi bela Islam dua hari sebelumnya, sebagai unjuk kekuatan tandingan. Seharusnya semua pihak berusaha menahan diri agar tidak memanaskan suasana.
Di tengah kekacauan itu diperlukan sikap pemerintah yang tegas serta mampu menjaga konstitusi dan supremasi hukum. Kepolisian sedikit-banyak telah menunjukkan hal itu dengan menjerat beberapa tokoh, seperti Ratna Sarumpaet, Sri Bintang Pamungkas, Rachmawati Soekarnoputri, dan Ahmad Dhani. Ada yang dituduh melakukan kegiatan makar. Ada pula yang dituding menyebarkan kebencian berkaitan dengan sentimen suku, agama, ras, dan antar-golongan.
Hanya, kepolisian harus tetap proporsional dalam menangani kasus itu. Polisi mesti membuktikan bahwa para tokoh tersebut melakukan tindak pidana seperti yang dituduhkan. Jangan sampai muncul kesan tindakan itu merupakan "pengimbang" dari proses hukum Ahok yang didorong oleh tekanan massa.
Tak mudah menegakkan supremasi hukum di negara yang berpenduduk majemuk seperti negara kita. Sentimen agama dan ras mudah sekali memicu aksi massa dan menyulitkan proses demokrasi serta penegakan hukum yang wajar. Itu sebabnya, pemerintah perlu lebih sigap mengantisipasinya agar negeri ini tidak benar-benar jatuh ke situasi mobocracy.