Ancaman Kedaulatan Rakyat untuk Berekspresi

Penulis

Rabu, 9 November 2016 00:31 WIB

Sabam Leo Batubara
Mantan Wakil Ketua Dewan Pers

Saya tertarik membandingkan perkembangan kedaulatan rakyat Indonesia untuk mengeluarkan pikiran secara lisan dan tulisan dengan rakyat Belanda, negeri bekas penjajah Indonesia. Pada era penjajahan Belanda, penguasa memperlakukan penghuni bumi Nusantara sebagai rakyat terjajah dan kumpulan penjahat potensial. Penjajah memberlakukan peraturan bahwa barang siapa menyuarakan pendapat atau kritik yang dinilai mencemarkan nama baik aparat, pelakunya akan dianggap sebagai penjahat. Berdasarkan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP)—waktu itu disebut Wetboek Van Strafrecht voor Nederlandsch-Indie—sang pelaku terancam pidana 1 tahun 4 bulan penjara atau denda maksimal Rp 4.500. Dengan satu KUHP itu, Belanda mampu mengendalikan Indonesia selama 350 tahun.

Di negerinya, pemerintah Belanda memperlakukan rakyatnya sebagai warga negara merdeka, berdaulat, dan bermartabat. Ekspresi dan pendapat rakyat yang dinilai mencemarkan nama baik tidak dianggap sebagai kejahatan. Pelakunya hanya dapat diproses dalam perkara perdata dengan denda proporsional.

Setelah Indonesia merdeka, ketika Presiden Sukarno dan Presiden Soeharto berkuasa, kedaulatan berada di tangan penguasa rezim, meski UUD 1945 menyatakan kedaulatan berada di tangan rakyat. Rakyat diposisikan sebagai burung beo. Setelah rakyat mendelegasikan kedaulatannya kepada MPR, selanjutnya MPR menggadaikan kedaulatan itu kepada penguasa. Kemudian penguasa menjadi pemegang kedaulatan tertinggi. Demi memenuhi kehendaknya, Sukarno diangkat oleh MPR menjadi presiden seumur hidup. Soeharto tidak mau menjadi presiden seumur hidup. Ia hanya mau dipilih oleh MPR sebanyak tujuh kali. Dan, dalam pemilihan, calon presiden yang harus dipilih hanya boleh satu, yakni Soeharto sendiri.

Pers yang berani memberitakan ekspresi ketidakpuasan dan kritik rakyat bukan hanya dicabut izin penerbitannya, wartawannya pun terancam dikriminalkan.

Bagaimana kedaulatan berekspresi rakyat pada era reformasi ini? Fakta-fakta menunjukkan pola pikir penyelenggara negara terkesan cenderung paradoksal. Pertama, penegak hukum, yakni kepolisian, kejaksaan, dan Mahkamah Agung, menunjukkan kebijakan melindungi kebebasan pers berdasarkan Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers. Adapun DPR dan pemerintah, dalam kewenangannya membuat undang-undang, justru semakin mengancam kebebasan pers. Hasil survei Indeks Kebebasan Pers Indonesia 2015 oleh Dewan Pers menunjukkan, meski secara umum kebebasan pers pada 2015 dikategorikan masih "agak bebas", paling tidak penegak hukum dinilai tidak lagi gemar mengkriminalkan pers.

Paradoksnya, kecenderungan DPR dan pemerintah untuk mengkriminalkan kedaulatan berekspresi rakyat semakin lebih represif ketimbang kecenderungan penjajah Belanda. Saat ini, revisi Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE), revisi KUHP, serta revisi Undang-Undang Penyiaran sedang diagendakan dan dibahas di DPR. Rancangan revisi UU ITE dan rancangan revisi KUHP masih menilai pencemaran nama baik sebagai tindak kejahatan.

Salah satu pasal rancangan UU Penyiaran mendesain agar siaran wajib disensor oleh lembaga sensor sebelum disiarkan. Tidakkah draf ketentuan itu bermakna bahwa DPR dan pemerintah sama sekali tidak mempercayai kedaulatan rakyatnya yang bergiat di bidang pers penyiaran? Padahal penjajah Belanda saja masih menaruh kepercayaan kepada rakyat Indonesia, sehingga media pers tidak perlu disensor terlebih dulu. Semua rancangan tersebut bertujuan mengebiri hak-hak dasar rakyat.

DPR dan pemerintah hasil Pemilihan Umum 1997, yang tidak demokratis, pada akhir masa baktinya menerbitkan UU Pers. Selain diberi fungsi untuk mengekspresikan kontrol rakyat, Pers diberi peran untuk mengawasi, mengkritik, dan mengoreksi hal-hal yang berkaitan dengan kepentingan umum.

Amendemen konstitusi semakin melindungi fungsi dan peran pers tersebut. Pasal 28F UUD 1945 menyatakan, "Setiap orang berhak mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah, dan menyampaikan informasi dengan menggunakan segala jenis saluran yang tersedia."

Namun DPR dan pemerintah, yang dipilih langsung oleh rakyat dalam pemilihan umum yang demokratis, masih menghasilkan revisi UU ITE yang isinya tidak mengubah ancaman sanksi pidana bagi pelaku pencemaran nama baik menjadi perkara perdata dengan sanksi proporsional, seperti yang lazim diberlakukan di negara-negara demokratis. Hasil revisi UU ITE itu ternyata masih mengkriminalkan rakyat pelaku pencemaran nama baik dengan ancaman pidana sampai 4 tahun penjara dan/atau denda maksimal Rp 750 juta.

Persoalannya, mengapa UU ITE masih mengancam rakyat dengan hukuman yang jauh lebih berat dibanding ancaman hukum kolonial? Apakah karena DPR dan pemerintah masih menilai rakyat cenderung sebagai penjahat potensial yang dapat mengancam kedaulatan DPR dan pemerintah? Poin dari tulisan ini, DPR dan pemerintah terkesan masih berpola pikir bahwa kedaulatan rakyat negeri ini harus di bawah kendali DPR dan pemerintah.

Berita terkait

UU Desa yang Baru, Apa Saja Poin-Poin Isinya?

3 hari lalu

UU Desa yang Baru, Apa Saja Poin-Poin Isinya?

Presiden Jokowi telah mengesahkan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2024 tentang Desa atau UU Desa

Baca Selengkapnya

Kementerian Dalam Negeri Rusia Izinkan Foto di Pasport Pakai Jilbab

6 hari lalu

Kementerian Dalam Negeri Rusia Izinkan Foto di Pasport Pakai Jilbab

Rusia melonggarkan aturan permohonan WNA menjadi warga Rusia dengan membolehkan pemohon perempuan menggunakan jilbab atau kerudung di foto paspor

Baca Selengkapnya

Wacana Iuran Pariwisata di Tiket Pesawat Berpotensi Langgar UU Penerbangan

11 hari lalu

Wacana Iuran Pariwisata di Tiket Pesawat Berpotensi Langgar UU Penerbangan

Penarikan iuran yang akan dimasukkan dalam komponen perhitungan harga tiket pesawat itu dinilainya berpotensi melanggar Undang-Undang (UU).

Baca Selengkapnya

DPR Arizona Loloskan Pencabutan Undang-undang Larangan Aborsi

11 hari lalu

DPR Arizona Loloskan Pencabutan Undang-undang Larangan Aborsi

DPR Arizona lewat pemungutan suara memutuskan mencabut undang-undang larangan aborsi 1864, yang dianggap benar-benar total melarang aborsi.

Baca Selengkapnya

Pelaksanaan Undang-Undang Pelarangan Madrasah di Uttar Pradesh India Ditunda

30 hari lalu

Pelaksanaan Undang-Undang Pelarangan Madrasah di Uttar Pradesh India Ditunda

Mahkamah Agung India menunda perintah pengadilan tinggi yang akan melarang berdirinya madrasah di Uttar Pradesh.

Baca Selengkapnya

Mahkamah Konstitusi Uganda Pertahankan Undang-Undang Anti-LGBTQ

32 hari lalu

Mahkamah Konstitusi Uganda Pertahankan Undang-Undang Anti-LGBTQ

Mahkamah Konstitusi Uganda hanya merubah beberapa bagian dalam undang-undang anti-LGBTQ.

Baca Selengkapnya

Apa Alasan PKS Menolak Pengesahan RUU DKJ Jadi UU?

38 hari lalu

Apa Alasan PKS Menolak Pengesahan RUU DKJ Jadi UU?

PKS menganggap penyusunan dan pembahasan RUU DKJ tergesa-gesa dan belum melibatkan partisipasi masyarakat secara bermakna.

Baca Selengkapnya

India Siap Berlakukan Undang-undang Kontroversi soal Kewarganegaraan

55 hari lalu

India Siap Berlakukan Undang-undang Kontroversi soal Kewarganegaraan

Pemerintahan Narendra Modi akan menerapkan undang-undang kewarganegaraan kontroversial yang mengecualikan umat muslim.

Baca Selengkapnya

Pangkat Jenderal Kehormatan untuk Prabowo Subianto Langgar Undang-undang

1 Maret 2024

Pangkat Jenderal Kehormatan untuk Prabowo Subianto Langgar Undang-undang

Pemberian pangkat Jenderal Kehormatan kepada Prabowo Subianto dinilai melanggar undang-undang..

Baca Selengkapnya

Jerman Legalkan Ganja

24 Februari 2024

Jerman Legalkan Ganja

Lewat undang-undang yang baru, warga Jerman boleh memiliki sampai 25 gram ganja yang bukan untuk tujuan komersial

Baca Selengkapnya