Pelaporan kasus dugaan penistaan agama yang dilakukan oleh Rizieq Shihab ke polisi memberi pelajaran berharga: jangan sekali-kali masuk ke wilayah agama orang lain. Menafsirkan kepercayaan pemeluk agama lain lewat kacamata iman sendiri-dan disampaikan di depan publik-bisa menyinggung umat tersebut.
Imam Besar Front Pembela Islam itu tak boleh memaksakan tafsirnya terhadap keyakinan umat Kristiani. Biarlah urusan iman menjadi urusan pemeluk masing-masing agama. Ucapan Rizieq, seperti yang terekam dalam video yang tersebar di dunia maya, bisa dianggap sebagai olok-olok dan menodai agama oleh penganut Kristen dan Katolik.
Walau begitu, polisi sebaiknya jangan memproses kasus yang dilaporkan Ketua Perhimpunan Mahasiswa Katolik Republik Indonesia (PMKRI) ini. Setiap laporan penodaan agama yang dilakukan oleh pemeluk suatu agama bisa memicu pengaduan baru oleh pemeluk agama yang dilaporkan. Masyarakat, apa pun keyakinannya, hendaknya menahan diri agar gesekan antarumat beragama tak semakin keras.
Komentar Rizieq adalah argumen teologis. Padahal kebenaran teologis hanya diyakini oleh penganut agama itu sendiri-benar menurut satu umat belum tentu benar menurut umat lain. Sulit membayangkan perdebatan hukum di pengadilan jika dilandaskan pada iman dan keyakinan masing-masing penganut agama.
Beda halnya jika Rizieq dalam pidatonya, misalnya, mengancam membunuh atau menyerang orang lain yang berbeda keyakinan. Polisi harus bergegas mengusutnya. Sebab, selain meresahkan, seruan tersebut bisa menggerakkan orang lain untuk melakukan kejahatan. Demokrasi menjamin kebebasan berpendapat, tapi bukan pendapat yang mengandung ujaran kebencian dan menganjurkan kekerasan.
Pasal penodaan agama seperti yang dituduhkan kepada Rizieq telah memakan banyak korban. Ini pasal karet yang biasa digunakan oleh kelompok mayoritas untuk menindas mereka yang berbeda pandangan dalam beragama. Contohnya kasus yang menimpa Tajul Muluk, pemimpin Syiah di Sampang, Madura, pada 2012. Tajul dihukum 4 tahun penjara lantaran dianggap menodai agama hanya karena dia menganut Syiah-aliran dalam Islam selain Sunni.
Karena diskriminatif dan kerap menjerat penganut agama minoritas, pasal tersebut semestinya dicabut. Sayangnya, Mahkamah Konstitusi telah menolak uji materi terhadap pasal-pasal penodaan agama, termasuk Pasal 156 huruf a KUHP yang ditudingkan PMKRI kepada Rizieq.
Gubernur DKI Jakarta (kini nonaktif) Basuki Tjahaja Purnama juga dilaporkan ke polisi dan kini diadili dengan tuduhan pasal ini pula. Padahal Basuki tak bermaksud mengolok-olok umat Islam saat berpidato di Kepulauan Seribu dengan menyitir Surat Al-Maidah ayat 51 pada September lalu. Basuki mungkin melanggar etika, tapi sebagaimana halnya Rizieq, dia tak pantas pula diadili. Pasal karet ini pantas dicabut, tapi menahan diri tidak merecoki iman yang berbeda juga penting. *