Ketika Subsidi Listrik Dicabut

Penulis

Kamis, 1 Desember 2016 00:16 WIB

Tulus Abadi
Ketua Pengurus Harian YLKI

Dalam dunia transportasi yang berbasis aplikasi, ada istilah "tarif petir". Biasanya, tarif petir dikenakan pada jam tertentu karena macet atau hujan, sehingga nilainya amat mahal dibanding biasanya. Model tarif petir tampaknya akan segera menimpa konsumen/pelanggan listrik PT PLN, khususnya untuk golongan 900 volt ampere (VA). Sebab, per 1 Januari 2017, pemerintah, atas persetujuan DPR, akan mencabut subsidi konsumen listrik 900 VA tersebut.

Memang, pencabutan subsidi ini tidak menimpa semua konsumen. Tapi, dari 22 juta konsumen 900 VA, tinggal 4 jutaan yang masih menerima subsidi. Artinya, 18 juta konsumen 900 VA akan dicabut subsidinya. Itu artinya tagihan konsumen listrik mereka akan melambung sangat tinggi.

Padahal, selama ini, lebih dari 75 persen tarif listrik 900 VA disubsidi negara. Dari harga dasar Rp 1.460 per kWh, hanya Rp 575 yang dibayar konsumen dan Rp 875 dibayar negara via subsidi. Jika subsidinya dicabut, bisa dipastikan tagihan listrik konsumen akan membengkak minimal 75-80 persen dari tagihan sebelumnya.

Ada beberapa pertanyaan kritis terkait dengan hal ini. Misalnya, sudah tepatkah pencabutan subsidi untuk golongan 900 VA? Bagaimana mekanisme pencabutannya dan bagaimana pula penanganan pengaduannya jika ternyata keliru?

Dari sisi politis, tampaknya konsumen golongan 450 dan 900 VA adalah golongan yang "sakral" untuk disentuh. Sejak 2003, golongan ini belum pernah mengalami penyesuaian/kenaikan tarif. Maka, dari sisi momentum, setelah 16 tahun mengendap, ada benarnya jika subsidi pada 900 VA dicabut/dikurangi. Apalagi lebih dari 15 persen dari total populasi penduduk Indonesia belum mendapat aliran energi listrik. Kurang adil jika di satu sisi ada kelompok masyarakat/konsumen berlimpah subsidi, tapi sekelompok masyarakat lainnya boro-boro memperoleh subsidi, mendapatkan listrik saja belum.

Namun, ini yang paling krusial, cara pencabutan subsidinya itu yang berpotensi menimbulkan masalah (besar). Pencabutan subsidi dengan klaim "tepat sasaran" ini berpotensi tidak tepat sasaran jika pendataannya salah atau tidak akurat. Sangat besar potensinya sebagian masyarakat yang berkategori tidak mampu justru dicabut subsidinya dan atau sebaliknya. Ketidakakuratan pendataan menjadi pemicu utama. Padahal, pendataan merupakan masalah serius di negeri ini.

Memang, tampak kasatmata bahwa model pendataan kali ini lebih baik karena telah melalui bermacam "verifikasi" dari berbagai sumber, seperti Kementerian Sosial, BPS, Kementerian ESDM, PT PLN, dan bahkan Tim Nasional Percepatan Penanggulangan Kemiskinan. Kendati demikian, potensi salah sasaran dalam pencabutan subsidi listrik masih terbuka lebar.

Potensi ini bisa diatasi dengan mekanisme pengaduan yang lebih parsitipatif, aksesibilitas tinggi dan "ramah" terhadap masyarakat konsumen listrik, dan tidak sebaliknya. Mekanisme penanganan pengaduan inilah yang belum terlalu ramah dengan hak-hak warga.

Karena itu, pencabutan subsidi listrik harus paralel dengan beberapa hal berikut ini. Pertama, pemerintah harus meninjau pelanggan listrik dari golongan 1.300 VA. Ingat, pada masa lalu masyarakat dipaksa berlangganan 1.300 VA karena akses 450-900 VA ditutup demi penghematan subsidi. Akibatnya, banyak strata sosial masyarakat yang sejatinya tak mampu, tapi terpaksa berlangganan1.300 VA karena tidak ada pilihan. Sekarang, agar berimbang, pelanggan 1.300 VA dari golongan tidak mampu tersebut mesti diberikan pilihan untuk turun kelas menjadi 450/900 VA atau tetap konsisten dengan 1.300 VA.

Kedua, harus ada jaminan dari sisi pelayanan bahwa, pasca-pencabutan subsidi listrik, PT PLN akan makin membaik dan tidak ada lagi pasokan listrik yang endut-endutan. Tidak adil jika tarifnya sudah sesuai dengan biaya pokok, termasuk nilai keekonomiannya, tapi pelayanannya masih di bawah standar. Persentase kompensasi terhadap ketidakmampuan PT PLN dalam menjaga tingkat mutu pelayanan pun harus ditingkatkan. Contohlah di Australia, jika listrik padam setengah hari berturut-turut, konsumen dibebaskan tagihan satu bulan.

Ketiga, realokasi pencabutan subsidi listrik harus digunakan untuk mempercepat akses sambung baru listrik dan percepatan rasio elektrifikasi. Saat ini tidak kurang dari 15 persen penduduk Indonesia belum mendapatkan akses energi listrik.

Keempat, agar lebih adil dan tepat sasaran, pemberian subsidi listrik ke depan harus flat. Contohlah pemerintah Afrika Selatan yang memberikan subsidi listrik pada rumah tangga miskin 100 kWh per bulan. Jika melebihi 100 kWh akan dikenai tarif progresif. Dengan model ini, ada upaya menghemat oleh konsumen. Sangat sulit mewujudkan perilaku hemat listrik tanpa tekanan dari sisi harga.

Kelima, janganlah ada kedok bahwa pencabutan subsidi listrik hanya strategi untuk menerapkan tarif listrik yang pro-pasar ("neolib"), yang hanya berbasis kurs rupiah terhadap dolar, inflasi dan harga minyak mentah dunia; sebagai basis penentuan harga. Bagaimanapun listrik merupakan infrastruktur yang harus disediakan dan dikuasai oleh negara, dan bukan pasar. Itulah mandat putusan Mahkamah Konstitusi saat membatalkan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2002 tentang Ketenagalistrikan.

Berita terkait

Apa yang Dimaksud Subsidi? Ketahui Jenis serta Dampaknya

12 Oktober 2023

Apa yang Dimaksud Subsidi? Ketahui Jenis serta Dampaknya

Apa yang dimaksud subsidi? Istilah subsidi merujuk pada bantuan yang diberikan kepada masyarakat dari pihak pemerintahan. Berikut penjelasannya.

Baca Selengkapnya

Laba Bersih PLN Naik 199 Persen Jadi Rp 16,04 Triliun di Kuartal I 2023

22 Mei 2023

Laba Bersih PLN Naik 199 Persen Jadi Rp 16,04 Triliun di Kuartal I 2023

PLN membukukan laba bersih yang meroket 199,33 persen year on year (yoy) menjadi senilai Rp 16,04 triliun pada kuartal I 2023.

Baca Selengkapnya

Subsidi Energi 2023 Rp 209,9 T, ESDM: Rp 139,4 T untuk BBM dan LPG, Rp 70,5 untuk Listrik

30 Januari 2023

Subsidi Energi 2023 Rp 209,9 T, ESDM: Rp 139,4 T untuk BBM dan LPG, Rp 70,5 untuk Listrik

Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) memastikan tetap menggelontorkan subsidi energi untuk tahun 2023.

Baca Selengkapnya

IRESS Tolak Rancangan Undang-Undang EBT karena Rugikan Konsumen

29 Oktober 2022

IRESS Tolak Rancangan Undang-Undang EBT karena Rugikan Konsumen

Marwan Batubara, menyoroti Rancangan Undang-Undang Energi Baru Terbarukan (RUU EBT) yang membolehkan Perusahaan swasta menjual listrik langsung kepada konsumen.

Baca Selengkapnya

Belum Berencana Alihkan Pelanggan Listrik 450 VA ke 900 VA, Ini Penjelasan Menteri ESDM

16 September 2022

Belum Berencana Alihkan Pelanggan Listrik 450 VA ke 900 VA, Ini Penjelasan Menteri ESDM

Menteri ESDM Arifin Tasrif menyebutkan pemerintah belum memiliki rencana mengalihkan pelanggan listrik berdaya 450 VA ke 900 VA.

Baca Selengkapnya

Komentar Dirut PLN Soal Rencana Listrik 450 VA Dihapus

14 September 2022

Komentar Dirut PLN Soal Rencana Listrik 450 VA Dihapus

Bos PLN menegaskan tidak ada rencana spesifik untuk menghapus golongan subsidi listrik pelanggan 450 volt ampere (VA).

Baca Selengkapnya

Listrik 450 VA Mau Dihapus, Benarkah Masyarakat Diuntungkan?

14 September 2022

Listrik 450 VA Mau Dihapus, Benarkah Masyarakat Diuntungkan?

Mamit Setiawan menganggap positif kesepakatan Badan Anggaran atau Banggar DPR dengan pemerintah yang akan menghapus daya listrik 450 volt ampere (VA) untuk rumah tangga.

Baca Selengkapnya

Daya Listrik 450 VA Dihapus, Akankah Subsidi Tepat Sasaran?

14 September 2022

Daya Listrik 450 VA Dihapus, Akankah Subsidi Tepat Sasaran?

Sejumlah ekonom menanggapi usulan penghapusan daya listrik 450 VA dan dialihkan ke 900 VA untuk mengatasi kelebihan pasokan atau oversupply listrik.

Baca Selengkapnya

Ramai Soal Listrik 450 VA Dihapus, PLN Jelaskan Soal Subsidi Tepat Sasaran

13 September 2022

Ramai Soal Listrik 450 VA Dihapus, PLN Jelaskan Soal Subsidi Tepat Sasaran

PLN menanggapi kesepakatan soal kebijakan listrik 450 VA dihapus yang sebelumnya disampaikan oleh Ketua Badan Anggaran DPR Said Abdullah.

Baca Selengkapnya

PLN Terima Kompensasi Listrik Rp 24,6 Triliun dari Pemerintah

1 Juli 2022

PLN Terima Kompensasi Listrik Rp 24,6 Triliun dari Pemerintah

Direktur Utama PLN Darmawan Prasodjo mengatakan pemerintah telah membayar utang kompensasi listrik pada PLN sebesar Rp 24,6 triliun.

Baca Selengkapnya