LEONARD SIMANJUNTAK
Kepala Greenpeace Indonesia
Di Indonesia, transparansi masih menjadi barang langka. Baru saja Komisi Informasi Pusat (KIP) memberikan angin segar bagi masyarakat Indonesia. Pada akhir Oktober lalu, KIP memutuskan data peta tutupan lahan hutan dan peta perizinan konsesi kelapa sawit, hak pengusahaan hutan, hutan tanaman industri, serta pinjam-pakai kawasan hutan untuk pertambangan dalam format shapefile terbuka untuk publik. Sebagai tergugat, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) wajib memberikan data tersebut.
Namun KLHK me-ngatakan pemerintah tidak menerima keputusan KIP karena Undang-Undang Informasi Geospasial mengharuskan informasi geospasial disahkan sebelum diumumkan dan shapefile tidak memiliki cara untuk memuat digital signature. Kementerian berencana mengajukan banding, meski majelis KIP sudah menolak dalil ini karena informasi tersebut sudah disahkan saat diumumkan dalam format lain. Permohonan banding KLHK ini bertolak belakang dengan komitmen Presiden Joko Widodo. Nawa Cita, yang dibacakan saat pelantikan Jokowi sebagai Presiden, menegaskan bahwa pemerintahannya berniat membangun tata kelola pemerintahan yang bersih, demokratis, dan dapat dipercaya.
Apalagi, Indonesia merupakan satu dari delapan negara pendiri The Open Government Partnership pada 2011, bahkan sempat memimpin gerakan ini pada 2013. Fondasi peme-rintahan terbuka juga sudah dijabarkan dalam Undang-Undang Nomor 14 tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik.
Transparansi dan keterbukaan informasi publik sangat penting untuk menjaga lingkungan dan hutan Indonesia agar bisa bebas dari perusakan alam dan pembalakan hutan. Dengan terbukanya informasi tentang pengelolaan hutan dan sumber daya alam lainnya, masyarakat bisa turut berpartisipasi menjaga hutan dan mewujudkan pemba-ngunan yang berkelanjutan. Keterbukaan informasi bahkan bisa menjadi salah satu solusi bagi kebakaran hutan.
Sejumlah media menyebut kebakaran hutan tahun lalu sebagai bencana iklim terparah abad ini, yang mencakup enam negara di kawasan Asia Tenggara. Ledakan emisi gas rumah kaca saat itu melebihi pelepasan emisi harian di Amerika Serikat. Nilai total kerugian ekonomi yang ada lebih besar daripada yang ditimbulkan bencana tsunami Aceh pada 2004. Berdasarkan penelitian Harvard University, bencana dengan paparan asap beracun selama berbulan-bulan mengakibatkan lebih dari 100 ribu kematian dini di Asia Tenggara.
Parahnya, kebakaran hutan dan lahan gambut tahun lalu akhirnya mendorong Presiden mengeluarkan kebijakan moratorium izin baru kelapa sawit serta pertambangan. Sayangnya, komitmen moratorium sukar diterapkan karena tidak adanya transparansi peta. Selama izin konsesi, area hutan yang dilindungi dan wilayah kelola masyarakat masih dirahasiakan dan tumpang-tindih. Walhasil, akan sulit bagi pemerintah untuk menerapkan komitmen ini, juga komitmen Kebijakan Satu Peta.
Tidak dibukanya akses peta untuk publik akan melemahkan janji Presiden Joko Widodo bahwa Indonesia berpartisipasi dalam upaya global menanggulangi perubahan iklim. Tahun lalu, dalam acara COP21 di Paris, Presiden menyampaikan komitmennya di hadapan para pemimpin dunia untuk menerapkan Kebijakan Satu Peta sebagai upaya Indonesia menurunkan emisi gas rumah kaca (GRK) sebesar 29 persen pada 2030. Penerapan Kebijakan Satu Peta ini perlu disertai dengan transparansi peta. Awal November lalu, Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Siti Nurbaya telah mengula-ngi janji ini dalam COP22, yang berlangsung di Marrakesh, Maroko. Dunia internasional akan melihat bagaimana pemerintah Indonesia menindaklanjuti janjinya: menurunkan emisi karbon dan membenahi pengelolaan hutan.
Tidak transparannya peta juga akan menimbulkan kebingungan bagi masyarakat adat dan lokal yang tempat tinggal dan wilayah penghidupannya kerap terancam akibat operasi perusahaan besar. Pada Juli 2015, KLHK telah berjanji menyerahkan 12,7 juta hektare hutan sosial untuk dikelola masyarakat di sekitar kawasan hutan. Ini tentunya tidak bisa diimplementasikan dengan baik jika peta untuk menentukan wilayah tersebut tidak dibuka bagi masyarakat.
Disediakannya peta untuk publik akan memperkuat peran masyarakat adat dan lokal serta seluruh lapisan masyarakat untuk berpartisipasi dalam upaya penyelamatan hutan dan wilayah kelolanya sekaligus memonitor hot spot dan mencegah kebakaran hutan. Karena itu, mari kita dorong pemerintah merealisasi keputusan KIP agar mulai transparan dan membuka akses informasi demi kepentingan publik.
Berita terkait
Aliansi Kecam Kehadiran Industri Plastik dan Kimia dalam Delegasi Indonesia untuk Negosiasi Perjanjian Plastik
11 hari lalu
Kehadiran itu membahayakan tujuan perjanjian, yaitu mengatur keseluruhan daur hidup plastik untuk melindungi kesehatan manusia dan lingkungan.
Baca SelengkapnyaBRIN Kembangkan Metode Daur Ulang Baterai Litium Ramah Lingkungan
32 hari lalu
Peneliti BRIN tengah mengembangkan metode baru daur ulang baterai litium. Diharapkan bisa mengurangi limbah baterai.
Baca SelengkapnyaMengenal Antropomorfisme, Sifat Manusia yang Memberikan Empati ke Sekitarnya
48 hari lalu
Antropomorfisme memiliki arti pengenalan ciri-ciri manusia hingga empati kepada binatang, tumbuh-tumbuhan, atau benda mati.
Baca SelengkapnyaAlasan Masyarakat Adat Suku Awyu Mengajukan Kasasi ke Mahkamah Agung
52 hari lalu
Masyarakat adat suku Awyu mengajukan kasasi ke Mahkamah Agung dalam sengketa izin lingkungan perusahaan sawit PT ASL di Boven Digoel, Papua Selatan.
Baca Selengkapnya4 Bulan DPO, Mantan Pejabat Pemkab Bangka Tersangka Kasus Perambahan Hutan Ditangkap KLHK
4 Maret 2024
Tersangka Barlian merupakan aktor intelektual kasus perusakan dan perambahan hutan di kawasan hutan produksi Sungai Sembulan Bangka.
Baca SelengkapnyaMenteri Lingkungan Hidup Bertemu Dubes Norwegia Bahas Capaian Pengurangan Emisi
13 Februari 2024
Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Siti Nurbaya bertemu Duta Besar Norwegia Rut Kruger Giverin membahas capaian emisi.
Baca SelengkapnyaPertemuan Anies Baswedan - Emil Salim, Mengenang Saat SMA Wawancara Menteri Lingkungan Hidup Itu
31 Januari 2024
Saat SMA, Anies Baswedan mewawancarai Emil Salim. Kini, mereka bertemu kembali untuk berdiskusi. Sehari sebelumnya, Ganjar bertemu Emil pula.
Baca SelengkapnyaAnies dan Ganjar Kompak Temui Emil Salim, Ada Apa?
29 Januari 2024
Capres Anies dan Capres Ganjar menemui mantan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Emil Salim jelang pencoblosan Pilpres. Ada apa?
Baca SelengkapnyaTemui Emil Salim, Ganjar Diskusi soal Lingkungan Hidup dan Perubahan Iklim
28 Januari 2024
Selain persoalan lingkungan, Ganjar mengatakan dirinya juga membahas pemerataan dan peningkatan kualitas pendidikan
Baca SelengkapnyaTim Kampanye Anies Baswedan Serukan Revisi UU Cipta Kerja
25 Januari 2024
Tim kampanye tiga pasangan capres-cawapres bicara tentang perlindungan lingkungan hidup. Timnas Anies Baswedan menilai UU Cipta Kerja harus direvisi.
Baca Selengkapnya