Tertangkapnya hakim Mahkamah Konstitusi (MK), Patrialis Akbar, semakin membuktikan bahwa lembaga ini tidak hanya memerlukan perubahan dan seleksi ketat dalam menjaring hakim konstitusi, tapi juga butuh badan yang mengawasinya. Tanpa hal itu, Mahkamah akan mengalami kehancuran karena berisi hakim-hakim bermental bobrok semacam Patrialis.
Penangkapan Patrialis merupakan kasus kedua memalukan yang dialami lembaga "penjaga konstitusi" ini. Sebelumnya, Akil Mochtar juga tertangkap tangan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) karena menerima suap sebagai imbalan memenangkan sejumlah sengketa pemilihan kepala daerah. Atas tindakannya, bekas Ketua MK berlatar belakang Partai Golkar itu divonis pengadilan dengan hukuman seumur hidup-hukuman terberat yang pernah dijatuhkan kepada terdakwa kasus rasuah.
Patrialis diduga "memperdagangkan" putusan Mahkamah dalam perkara uji materi Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2014 tentang Peternakan dan Kesehatan Hewan. Pengusaha impor sapi Australia, Basuki Hariman, yang juga ditangkap KPK, diduga menyuap Patrialis sebesar US$ 20 ribu dan Sin$ 200 ribu lewat Kamaludin. Basuki menyuap agar Mahkamah membela kepentingannya, menghapus aturan yang memberi peluang impor sapi India.
Patrialis boleh membela diri tak ada bukti uang suap di tangannya. Tapi fakta bahwa ia mengirim draf hasil putusan perkara kepada Basuki jelas berhubungan dengan uang suap yang sudah atau akan diterimanya. Pengiriman putusan yang belum dibacakan itu merupakan pelanggaran berat. Putusan hakim bersifat rahasia dan tak boleh diketahui siapa pun sampai dibacakan di sidang terbuka.
Kasus Patrialis dan Akil membuktikan perlunya segera dilakukan pengubahan tata cara sekaligus seleksi ketat untuk menjaring hakim konstitusi, apalagi yang berlatar belakang politik. Pasal 15 UU Mahkamah Konstitusi mensyaratkan bahwa seorang hakim konstitusi harus memiliki integritas, tidak tercela, dan bersifat negarawan. Tapi syarat itu tidak dilengkapi dengan proses seleksinya. Walhasil, semua diserahkan kepada tiga lembaga, yakni DPR, Mahkamah Agung, dan presiden. Mereka masing-masing mengirim tiga hakim konstitusi.
Penunjukan Patrialis sebagai hakim konstitusi oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono sejak awal sudah ditolak sejumlah LSM yang bergabung dalam Koalisi Masyarakat Sipil Selamatkan MK. Jejak Patrialis, yang sebelumnya menjabat Menteri Hukum dan HAM, memang buruk. Ia memberikan remisi kepada sejumlah terpidana korupsi.
Agar kredibilitas Mahkamah yang sudah hancur sejak kasus Akil tegak kembali, para hakim konstitusi yang tersisa sebaiknya mengundurkan diri. Selanjutnya, DPR dan pemerintah memilih kembali hakim konstitusi dengan ketat dan transparan. Selain itu, UU Mahkamah Konstitusi dan Komisi Yudisial perlu diamendemen agar keduanya menegaskan bahwa Komisi Yudisial berhak mengawasi para hakim konstitusi-wewenang yang pernah dimiliki Komisi Yudisial tapi dilenyapkan oleh hakim MK itu.