Putu Setia
@mpujayaprema
Konflik dua lembaga, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dan kepolisian, sudah sampai pada tingkat gaduh. Cuma, volume kegaduhan itu berbeda-beda diterima orang. Sebagian orang menganggap sudah di ambang batas dan dampaknya akan besar dalam pemberantasan korupsi. Tapi sebagian lain menyebut ini hanya sebuah dinamika sambil menyembunyikan gesekan penyebab gaduh dengan berlindung pada proses hukum. Bagi Presiden Bapak Jokowi (begitu sebutan resmi yang diedarkan Menteri Dalam Negeri), barangkali kegaduhan itu adalah musik pengantar tidur. Sampai sekarang tak ada tindakan apa pun dari presiden.
Pangkal kegaduhan ini terang-benderang, ibarat gagak terbang siang. Jokowi mengusulkan Komjen Budi Gunawan sebagai satu-satunya calon Kapolri. Ternyata beliau kemudian menjadi tersangka KPK namun lolos seleksi oleh DPR. Jokowi pun menunda pelantikannya. Mulailah gesekan KPK-Polri terjadi dan bla-bla-bla. Dendam, sebuah sifat khas yang dibawa manusia sejak lahir, bercampur baur dengan hukum yang bisa diseret ke sana-kemari. Kini sudah ke tingkat teror dan itu disampaikan terbuka oleh pimpinan KPK.
Siapa yang melakukan teror ke KPK? Kalau anak kecil ditanya, jawabnya jelas: "ya lawannya dong." Anak kecil belum tahu intrik, konspirasi, politik, dan seterusnya. Kalau ditanya Jokowi, jawabnya: tangkap. La, siapa yang ditangkap, tak jelas. Kalau polisi ditanya, belum ada laporan resmi soal teror itu. Yang menarik, kalau ditanya Menkopolhukam, jawabnya adalah: tak ada teror.
Presiden Bapak Jokowi masih bersilat lidah. Maklum, baru dinobatkan sebagai pendekar utama pencak silat oleh Prabowo. Sebelum berangkat ke luar negeri untuk tugas mulia, antara lain menyaksikan kerja sama bisnis mobil Proton, Jokowi berjanji akan menuntaskan kasus Budi Gunawan pada "pekan depan". Lalu Syafii Maarif membocorkan isi telepon Jokowi yang menyebutkan tidak akan melantik Budi Gunawan sebagai Kapolri. "Pekan depan" itu sudah berlalu kemarin, tetapi Jokowi memberi sinyal bahwa keputusan yang akan diambilnya tergantung keputusan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, apakah mengabulkan atau menolak praperadilan Budi Gunawan. Logika normal, kalau praperadilan itu dikabulkan, Budi Gunawan akan dilantik. Jika begitu, apakah telepon-teleponan Jokowi dan Buya Maarif benar ada atau main-main saja? Ini pasti bikin gaduh lagi.
Seperti mendung yang tak selalu membawa hujan, kegaduhan tak selalu membawa petaka. Bagi orang bijak, kegaduhan bisa mendatangkan perbaikan. Misalnya, inilah saatnya memperbaiki KPK dengan memberikan mandat lebih besar untuk tugas memberantas korupsi. Kepercayaan orang kepada polisi dan jaksa untuk memberantas korupsi belum pulih, karenanya bebaskan kedua lembaga hukum itu dari tugas memberantas korupsi. Urusan korupsi full di tangan KPK. Dengan begitu, kalau ada polisi yang punya rekening gendut, tak usah ditangani polisi-pasti ada apa-apa dan bisa selesai tanpa masalah.
Dengan KPK yang memonopoli pemberantasan korupsi mengharuskan pimpinan KPK terdiri atas orang-orang yang hanya fokus memburu koruptor. Bukan memburu gaji tinggi, apalagi memburu jabatan sampingan, misalnya, berniat menjadi wakil presiden. Mereka harus sudah selesai "memburu duit" dan selesai "memburu jabatan". Targetnya hanya membuat negeri ini tidak hancur oleh korupsi. Jadi, usianya tak boleh muda, harus orang tua yang tak lagi punya pamrih dan ambisi jabatan. Kalau meminjam istilah lembaga agama, mereka itu adalah "pendeta yang paham hukum". Apa ada orang seperti itu? Mari kita cari.