Politisasi Aparatur Sipil Negara

Penulis

Senin, 23 Januari 2017 00:20 WIB

Reza Syawawi
Peneliti Hukum dan Kebijakan Transparency International Indonesia

Jual-beli jabatan di lingkungan birokrasi pemerintahan daerah adalah bagian dari dampak politisasi birokrasi oleh kepala daerah. Hal ini sebetulnya sudah menjadi isu lama yang kemudian muncul lagi ke permukaan, setidaknya setelah penangkapan Bupati Klaten Sri Hartini oleh Komisi Pemberantasan Korupsi. Sri diduga menerima suap terkait dengan pemberian tertentu yang berhubungan dengan mutasi dan promosi jabatan di lingkungan Pemerintah Kabupaten Klaten.

Dalam konteks berbeda, mutasi dan promosi sebetulnya tidak hanya dipengaruhi karena "kewajiban" menyiapkan sejumlah uang. Birokrasi kadang bisa menjadi "korban" politik dari pergantian kepala daerah. Jajaran birokrasi yang "dicap" sebagai kelompok pendukung kepala daerah lama akan "dipersulit", entah untuk menduduki jabatan tertentu, kena-ikan pangkat, atau sekadar dimutasi.

Perputaran uang dari praktek jual-beli jabatan akan sangat sulit dikalkulasi karena sumbernya tidak hanya uang suap, tapi juga bagaimana dampaknya terhadap kinerja birokrasi. Korupsi dalam jual-beli jabatan ini setidaknya bisa diindikasikan dalam tiga kemungkinan bentuk tindak pidana: penyuapan, pemerasan, dan nepotisme.

Penyuapan dimaknai sebagai pemberian dengan saling pengertian antara pemberi dan penerima suap, tanpa paksaan dari salah satu pihak. Pemerasan mungkin bisa juga terjadi jika ada ancaman dan tekanan dari satu pihak. Terakhir, nuansa nepotisme, atau bisa disebut sebagai dinasti, yang dibangun di dalam birokrasi.

Politisasi jabatan publik ini tentu perlu diatasi agar birokrasi yang dihasilkan tidak justru berdampak buruk terhadap kepentingan publik. Salah satu inisiatif yang muncul kemudian adalah rekrutmen terbuka jabatan melalui lelang jabatan.

Dalam prakteknya, lelang jabatan sebetulnya hanya menambah satu prosedur baru dengan melibatkan pihak eksternal dalam melakukan rekrutmen. Tapi pada akhirnya keputusan tetap berada di bawah kendali kepala daerah.

Praktek semacam ini tentu saja akan sulit memutus rantai politisasi jabatan yang terjadi di birokrasi, karena kepala daerah adalah sumber utama terjadinya praktek tersebut. Lelang jabatan sepertinya memang tidak ditujukan untuk menuntaskan politisasi birokrasi yang marak dan jamak terjadi. Penting untuk meninjau ulang mekanisme lelang jabatan agar kualitas birokrasi menjadi indikator utama ketimbang mengikuti "selera" kepala daerah.

Praktek jual-beli jabatan tidak bisa dilepaskan dari kepentingan politik kepala daerah terhadap birokrasi. Sebaliknya, birokrat membutuhkan legitimasi politik agar dipilih dan ditempatkan pada posisi dan jabatan tertentu. Keterkaitan antara keduanya ini telah dibangun sejak prosesi pemilihan kepala daerah.

Di sinilah pentingnya regulasi pemilihan umum kepala daerah yang melarang calon kepala daerah melibatkan aparatur sipil negara dalam kampanye untuk mempengaruhi pilihan politik para birokrat. Jika terjadi pelanggaran, akan ada ancaman sanksi pidana bagi calon kepala daerah.

Sebaliknya, pejabat aparatur sipil negara dilarang untuk membuat keputusan/tindakan yang menguntungkan/merugikan salah satu calon kepala daerah. Jika terbukti melanggar, aparatur sipil negara dapat dikenakan pidana sesuai dengan peraturan perundang-undangan terkait dengan pemilihan kepala daerah maupun regulasi yang mengatur tentang aparatur sipil negara.

Ketentuan ini tentu saja ditujukan agar relasi birokrasi dengan calon kepala daerah tertentu tidak menghasilkan kesepakatan di kemudian hari. Biasanya hal ini selalu terkait dengan penempatan pada jabatan atau posisi tertentu di dalam birokrasi.

Dalam kasus tertentu, relasi koruptif semacam ini bisa menghadirkan pihak lain (pebisnis) yang memiliki kepentingan terhadap birokrasi maupun kepala daerah. Pebisnis akan menjadi penyedia uang suap untuk menempatkan birokrat di jabatan tertentu. Pada akhirnya, relasi ini akan berpotensi merugikan kepentingan publik, khususnya yang terkait dengan penguasaan sumber daya publik (anggaran, sumber daya alam, dan seterusnya).

Momentum pemilihan kepala daerah sebetulnya bisa menjadi pijakan awal untuk menutup celah politisasi aparatur sipil negara di kemudian hari. Hal ini bisa dimulai dari penegakan hukum yang terkait dengan larangan bagi birokrat untuk ikut serta aktif dalam proses kampanye (politik praktis).

Pilihan penegakan hukum ini tentu akan sangat bergantung pada pengawasan yang mumpuni, baik dari segi administratif maupun yang telah memenuhi unsur dugaan tindak pidana. Pengawasan ini ditujukan baik terhadap hal-hal yang dilakukan oleh penyelenggara pemilihan umum, pengawas internal/eksternal birokrasi, maupun oleh penegak hukum. Semua upaya ini tentu ditujukan agar kepala daerah yang terpilih juga akan menjalankan pemerintahan tanpa harus tersandera dengan "kepentingan" birokrasi dan pebisnis.

Berita terkait

Di Acara Milenial dan Gen Z, Anies Jawab Soal Tuduhan Politik Identitas Saat Pilkada DKI 2017

27 November 2023

Di Acara Milenial dan Gen Z, Anies Jawab Soal Tuduhan Politik Identitas Saat Pilkada DKI 2017

Anies Baswedan menjawab tuduhan soal penggunaan politik identitas saat Pilkada DKi 2017 pada acara Indonesia Milleninial and Gen-Z Summit 2023.

Baca Selengkapnya

Anies Ungkit Momen Berutang di Pilkada DKI, Singgung Biaya Politik Mahal

30 September 2023

Anies Ungkit Momen Berutang di Pilkada DKI, Singgung Biaya Politik Mahal

Anies menuturkan mahalnya biaya kampanye bukan berarti ketika menjadi pejabat harus balik modal

Baca Selengkapnya

Di Acara Partai Ummat, Anies Baswedan Cerita Diberi Label saat Pilkada DKI 2017

14 Februari 2023

Di Acara Partai Ummat, Anies Baswedan Cerita Diberi Label saat Pilkada DKI 2017

Anies Baswedan menyebut ada dua pendekatan untuk menciptakan persepsi ini.

Baca Selengkapnya

Anies Baswedan Buka Suara soal Utang Rp 50 Miliar ke Sandiaga: Sudah Selesai Dulu

11 Februari 2023

Anies Baswedan Buka Suara soal Utang Rp 50 Miliar ke Sandiaga: Sudah Selesai Dulu

Anies Baswedan menegaskan tidak ada utang yang hari ini harus dilunasi.

Baca Selengkapnya

Politikus NasDem Minta Sandiaga Klarifikasi Surat Utang Anies Baswedan

11 Februari 2023

Politikus NasDem Minta Sandiaga Klarifikasi Surat Utang Anies Baswedan

Ada juga poin yang menyatakan jika Anies-Sandi menang, maka Anies Baswedan bebas dari utang tersebut.

Baca Selengkapnya

Soal Perjanjian Utang dengan Anies Baswedan, Sandiaga: Saya Baca Dulu

6 Februari 2023

Soal Perjanjian Utang dengan Anies Baswedan, Sandiaga: Saya Baca Dulu

Sandiaga belum mau menanggapi soal utang Anies Baswedan ke dirinya saat Pilkada DKI 2017.

Baca Selengkapnya

Fadli Zon Buka Suara Soal Perjanjian Anies Baswedan - Sandiaga Uno di Pilkada DKI

6 Februari 2023

Fadli Zon Buka Suara Soal Perjanjian Anies Baswedan - Sandiaga Uno di Pilkada DKI

Fadli Zon mengakui membikin draft perjanjian antara Anies Baswedan dan Sandiaga Uno saat Pilkada DKI 2017. Soal utang, Fadli tak mau bicara.

Baca Selengkapnya

Pesan Anies Baswedan untuk Kedua Putra Haji Lulung

31 Januari 2022

Pesan Anies Baswedan untuk Kedua Putra Haji Lulung

Anies Baswedan bercerita tentang dukungan yang diberikan Haji Lulung kepadanya dalam Pilkada DKI 2017.

Baca Selengkapnya

MUI DKI Bikin Cyber Army, Taufik Gerindra: Buzzer Terus Serang Anies Baswedan

20 November 2021

MUI DKI Bikin Cyber Army, Taufik Gerindra: Buzzer Terus Serang Anies Baswedan

Taufik menyampaikan penyerang ini selalu mengatakan bahwa Anies Baswedan memenangkan Pilkada, karena politik identitas.

Baca Selengkapnya

Baca Pleidoi Rizieq Shihab Singgung Aksi 212, Ahok, dan Pilkada DKI

20 Mei 2021

Baca Pleidoi Rizieq Shihab Singgung Aksi 212, Ahok, dan Pilkada DKI

Rizieq Shihab mengklaim perkara yang menjeratnya bukanlah kasus hukum melainkan politik. Ia kemudian berkisah tentang Pilkada DKI.

Baca Selengkapnya