TEMPO.CO, Jakarta-
SHAME
Sutradara: Steve McQueen
Skenario : Steve McQueen dan Abi Morgan
Pemain : Michael Fassbender, Carey Mulligan, Nicole Beharie, James Badge, Hannah Ware
Produksi : See-Saw Films production untuk Film4 untuk U.K. Film Council.
Kisah tentang abang-adik yang sama-sama memiliki problem patologis. Tak banyak dialog, film ini banyak bernarasi dengan suasana dan gambar.
***
Di New York yang konon tak pernah tidur itu, Brendan Sullivan (Michael Fassbender) hidup dalam diam. Tubuh yang tegap dan wajah tampan itu dibalut erat oleh jaket dan syal tebal seolah ingin menutupi candu seks yang menguasai dirinya. Di antara kesibukannya bekerja di Manhattan, Brendan mengisi detik-detik kehidupannya dengan bersanggama dengan siapa saja, di mana saja, kapan saja; menyaksikan video porno di komputer milik pribadi maupun kantor untuk kemudian melanjutkannya dengan masturbasi atau bersanggama lagi hingga pagi hari. Dengan wajah tampan dan senyumnya itu, Brendan dengan mudah bisa mengajak perempuan di atas metro atau di bar untuk bersenggama tanpa harus mengacak-acak emosi. Brendan menyembunyikan kecanduannya dengan rapi dan rapat karena hidupnya yang sama sekali tak tergantung pada siapapun. Dia tak pernah membiarkan dirinya menyukai perempuan manapun, apalagi sampai jatuh hati hingga Brendan menjadi lelaki paling sendiri di dunia.
Segalanya berubah ketika mendadak saja adiknya, Sissy Sullivan (Carey Mulligan) muncul di apartemennya dan merengek agar dia boleh numpang di sana sampai bisa berdiri sendiri. Perlahan kita mempelajari, Sissy yang jauh lebih hangat daripada abangnya itu, juga memiliki sejarah kelam hingga lengannya penuh dengan sayatan bekas silet. Malam itu, Brendan bersama bosnya, .Dave (James Badge Dale), lelaki yang sudah berkeluarga yang kepingin banget mencicipi perempuan lain di luar isterinya, pergi ke klub tempat Sissy bernyanyi. Lagu New York, New York yang dinyanyikan tempo lambat dan menusuk hati itu bergaung selama kamera terus menerus berhadapan menyorot pori-pori wajah Sissy dan sekaligus menelan jiwanya yang terpuruk. Sang Abang yang selama ini berhati keras dan ogah-ogahan menerima kehadiran adiknya, akhirnya runtuh juga. Tanpa kata, tanpa adegan kilas balik, tanpa penjelasan yang nyinyir, sutradara McQueen berbicara melalui nyanyian Sissy: bahwa abang-adik itu mempunyai masa lalu yang pahit. “Kita bukan orang-orang yang buruk. Kita hanya datang dari lingkungan yang buruk,” kata Sissy melalui telpon kepada sang Abangnya untuk memberikan kode bahwa Sissy sedang di tubir lubang depresi.
Film kedua sutradara Inggris Steve McQueen setelah Hunger ini adalah sebuah kisah tentang masa lalu yang hitam—entah apa, dan tak penting betul untuk dijelas-jelaskan—yang membentuk kedua abang adik itu. Keduanya mencoba mengatasi dengan caranya sendiri-sendiri, mesk nampaknya mereka gagal menghadapinya. Brendan terus menerus mengikuti nafsu candunya dan upayanya untuk mencoba berhubungan intim dengan Marianne (Nicole Beharie) toh gagal. Kedatangan Sissy adalah sebuah guncangan dalam rutinitas Brendan. Sang adiklah yang kemudian memaksa Brendan untuk menyadari tingkah lakunya yang sudah sedemikian patologis; sebaliknya Brendapun menjadi pengingat bagi Sissy agar jangan selalu saja mengemis-ngemis kepada lelaki mana saja yang baru ditidurinya. Perlahan-lahan, sutradara McQueen memperlihatkan luka di sekujur tubuh dan jiwa Brendan dan Sissy, tanpa dialog tanpa penjelasan, melainkan melalui rekaman suasana New York yang muram.
Sesungguhnya Shame adalah film tentang jiwa dengan luka yang menganga, yang apa boleh buat menampilkan begitu banyak adegan seks yang sungguh tak nyaman. Ketidaknyamanan itu bukan karena Fassbender dan pasangannya selalu saja tampil bugil tanpa sehelai benangpun,melainkan karena seksualitas dalam film ini memperlihatkan sebuah rasa sakit yang berkepanjangan dan bukan erotika. Sutradara McQueen tak pernah memperlihatkan seks sebagai kenikmatan atas persatuan cinta dua orang—karena Brandon tak pernah mampu mencapai perasaan itu—melainkan seks sebagai pemenuhan keinginan Brendan setiap menit dalam hidupnya. Seks sebagai bagian dari candu. Sesungguhnya, bagi Brendan, seks adalah kematian , karena dia tak bisa lagi hidup seperti manusia biasa.
Leila S.Chudori