Korupsi dan Macetnya Reformasi Birokrasi  

Penulis

Selasa, 31 Januari 2017 02:03 WIB

Vishnu Juwono
Dosen Administrasi Publik Fakultas Ilmu Administrasi UI


Sepak terjang Komisi Pemberantasan Korupsi dalam setahun terakhir, yang melakukan operasi tangkap tangan terhadap lebih dari 10 kepala daerah, mengingatkan kembali akan masalah yang dihadapi aparatur sipil negara (ASN) kita. Setelah turunnya Soeharto dari kursi kepresidenan pada 1998, ada kemajuan dalam reformasi sistem politik dan kebebasan masyarakat sipil di Indonesia. Sayangnya, hal itu tidak diimbangi dengan perkembangan reformasi birokrasi yang progresif.


Beberapa survei indikator global menunjukkan bahwa birokrasi masih menjadi salah satu sumber inefisiensi dan penghambat usaha di Indonesia. Dalam laporan Global Competitiveness Index 2016-2017 oleh World Economic Forum, inefisiensi birokrasi menempati urutan kedua (9,3 persen)-di bawah korupsi (11,6 persen)-sebagai faktor penghambat bisnis di negeri ini.


Jika kita kembali lagi melihat kasus-kasus korupsi yang ditangani KPK, misalnya proyek sosialisasi Asian Games 2018 dan tertangkap tangannya kepala sub-direktorat pajak oleh KPK saat menerima suap sekitar Rp 1,9 miliar, tampak bahwa aparat sipil masih rentan melakukan korupsi. Bahkan data 2017 dari Indonesia Corruption Watch memperlihatkan aparat sipil menduduki urutan teratas sebagai pelaku korupsi, diikuti DPRD, dan kepala daerah.


Selain rentan terhadap korupsi, aparat sipil menghadapi masalah tingkat kompetensi. Badan Kepegawaian Negara melalui tes kompetensi mengidentifikasi 40 persen dari 1.000 pejabat eselon III tidak memiliki kompetensi yang memadai (Maret 2016). Kombinasi antara kurangnya kompetensi dan lingkungan yang rawan korupsi menyebabkan kinerja birokrasi Indonesia tidak kompetitif. Namun kesalahan soal kinerja yang tak optimal tersebut tidak dapat sepenuhnya ditimpakan kepada mereka.


Advertising
Advertising

Sistem politik yang lebih demokratis pasca-era Soeharto ternyata juga membawa implikasi negatif bagi birokrasi. Studi yang dilakukan akademikus dan politikus mengenai partai politik dalam sistem pemilihan umum langsung anggota DPR dan kepala daerah di era demokrasi mengidentifikasi tingginya biaya politik (Mietzner, 2013; Anung 2013).


Akibatnya, politikus yang berpeluang besar terpilih di DPR atau menjadi kepala daerah (bupati, wali kota, atau gubernur) adalah yang memiliki modal kapital sendiri, tokoh populer yang didukung pemodal, atau bagian dari dinasti politik yang sangat berkuasa di daerah setempat. Bila terpilih, ketiga jenis politikus ini akan mempunyai motivasi yang sama: mengembalikan modal politik.


Dalam konteks kepala daerah, mereka akan memanfaatkan posisi untuk mengumpulkan dana sebesar-besarnya lewat jual-beli jabatan dengan birokrat yang bersedia membayar dengan harga tinggi. Kemudian, kepala daerah bekerja sama dengan birokrat tersebut untuk mengeksploitasi anggaran pendapatan dan belanja daerah, yang biasanya memberikan fasilitas proyek kepada pemodal untuk mengembalikan utang modalnya. Inilah yang dinamakan sebagai politisasi birokrasi (Dwiyanto, 2015).


Keberadaan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara sebenarnya ditujukan untuk mengatasi masalah politisasi birokrasi tersebut. Masalah kurangnya kompetensi aparat sipil itu dicoba diatasi lewat skema pegawai pemerintah dengan perjanjian kerja (PPPK) untuk memperoleh aparat sipil berkeahlian khusus, seperti yang dilakukan Menteri Kelautan dan Perikanan Susi Pudjiastuti dalam perekrutan eksekutif senior Pertamina sebagai pejabat eselon I.


Selain itu, proses seleksi pejabat tinggi aparat sipil dibuat lebih terbuka dan akuntabel dengan mewajibkan adanya tiga kandidat untuk satu posisi. Kemudian, Komisi Aparatur Sipil Negara (KASN) dibentuk untuk meminimalkan politisasi birokrasi dengan kewenangan mengawasi, dan bahkan bisa membatalkan proses rekrutmen serta seleksi pejabat yang terindikasi korupsi, kolusi, dan nepotisme.


Namun situasi politik saat ini tidak kondusif bagi reformasi birokrasi. Pelaksanaan Undang-Undang ASN terbentur tertundanya penyelesaian berbagai peraturan pemerintah pendukung serta rencana partai penyokong pemerintah mengangkat pegawai honorer menjadi aparat sipil tanpa seleksi kompetensi (Prasojo, 2016). Belum lagi ada rencana revisi undang-undang tersebut oleh DPR dengan tujuan membubarkan KASN. Jika hal ini terus berlangsung, tentunya agenda reformasi birokrasi akan mengalami kemunduran.


Pelaksanaan Undang-Undang ASN adalah faktor penting peletak dasar penerapan e-government di Indonesia. Survei e-government dan e-participation dari PBB pada 2016 masih menempatkan Indonesia di posisi rendah, yakni ke-116 dan ke-114 dari 193 negara. Memasuki 2017, pemerintah sebaiknya memanfaatkan momentum tahun baru ini untuk mengembalikan prioritas mendorong reformasi birokrasi, sesuai dengan visi-misi Nawacita Presiden Jokowi.

Berita terkait

Kejati Tetapkan Tersangka Baru Korupsi Dana Sekretariat DPRD Papua Barat

23 Agustus 2023

Kejati Tetapkan Tersangka Baru Korupsi Dana Sekretariat DPRD Papua Barat

Kejati Papua Barat sebelumnya telah menahan FKM mantan Sekretaris DPR pada Kamis malam, 27 Juli 2023.

Baca Selengkapnya

Respons Kemendagri soal Usulan Kenaikan Gaji Kepala Daerah

7 Desember 2018

Respons Kemendagri soal Usulan Kenaikan Gaji Kepala Daerah

Ketua KPK Agus Rahardjo sebelumnya mengusulkan agar pemerintah mengkaji remunerasi bagi kepala daerah.

Baca Selengkapnya

Kasus Nur Mahmudi Ismail, Mantan Sekda Depok Hari Ini Diperiksa

12 September 2018

Kasus Nur Mahmudi Ismail, Mantan Sekda Depok Hari Ini Diperiksa

Dua mantan pejabat Kota Depok, Nur Mahmudi Ismail dan Harry Prihanto, dituduh merugikan negara Rp 10,7 miliar dalam korupsi proyek Jalan Nangka.

Baca Selengkapnya

Kejari Yogya SP3 Kasus Dana Purna Tugas 13 Mantan Anggota DPRD

3 November 2017

Kejari Yogya SP3 Kasus Dana Purna Tugas 13 Mantan Anggota DPRD

Dalam kasus dana purna tugas ini sebanyak 17 anggota DPRD Kota Yogyakarta periode 1999-2004 lainnya sudah menjalani hukuman.

Baca Selengkapnya

Kepala Dinas Lingkungan Hidup Nganjuk Diciduk KPK

25 Oktober 2017

Kepala Dinas Lingkungan Hidup Nganjuk Diciduk KPK

Kepala Dinas Lingkungan Hidup Nganjuk Harianto diperiksa penyidik KPK di Polres Nganjuk.

Baca Selengkapnya

Cegah Korupsi di DKI Jakarta, Ini Cara Kerja Dua Tim Khusus KPK

4 Oktober 2017

Cegah Korupsi di DKI Jakarta, Ini Cara Kerja Dua Tim Khusus KPK

Tim koordinasi supervisi bekerja sama dengan perangkat daerah untuk mencegah korupsi di DKI Jakarta.

Baca Selengkapnya

OTT di Batubara, Ada Indikasi Terkait Fee Proyek

14 September 2017

OTT di Batubara, Ada Indikasi Terkait Fee Proyek

Bupati Batubara OK Arya Zulkarnaen terjaring dalam OTT KPK. Ia diduga menerima fee proyek.

Baca Selengkapnya

Korupsi Alkes, Bekas Anak Buah Nazaruddin Divonis 3 Tahun Penjara  

13 September 2017

Korupsi Alkes, Bekas Anak Buah Nazaruddin Divonis 3 Tahun Penjara  

Mantan anak buah Nazaruddin, Marisi Matondang, divonis tiga tahun penjara.

Baca Selengkapnya

Korupsi Buku, Eks Kepala Dinas Pendidikan Jabar Divonis 3 Tahun  

6 September 2017

Korupsi Buku, Eks Kepala Dinas Pendidikan Jabar Divonis 3 Tahun  

Terdakwa pelaku korupsi buku pingsan setelah hakim menjatuhkan vonis hukuman penjara 3 tahun.

Baca Selengkapnya

Dahlan Iskan Bebas, Kejaksaan Tinggi Jawa Timur Ajukan Kasasi  

6 September 2017

Dahlan Iskan Bebas, Kejaksaan Tinggi Jawa Timur Ajukan Kasasi  

Kejaksaan Tinggi Jawa Timur akan mengajukan kasasi ke Mahkamah Agung terkait dengan putusan Pengadilan Tinggi Surabaya yang membebaskan Dahlan Iskan.

Baca Selengkapnya