Pegida

Penulis

Senin, 9 Februari 2015 00:00 WIB

Di udara dingin mengaum sejarah
Sitor Situmorang (1923-2014)

Di udara dingin malam itu yang mengaum di alun-alun tua Kota Frankfurt tak hanya satu sejarah. Dua, tiga, mungkin lebih.

Sekitar 17 ribu orang berdesakan di Rmerberg, di tengah kompleks seluas 10 ribu meter persegi itu. Sambil melindungi diri dari gerimis dalam suhu 2 derajat, mereka hadir untuk menyatakan bahwa mereka, orang Jerman, penghuni Frankfurt, menentang Pegida, gerakan anti-Islam yang malam itu juga berencana menghimpun 500 pendukungnya di bagian lain kota.

Pidato pun disuarakan, disambut tepuk tangan, terdengar lagu dan musik, dan saya lihat seorang anak memegang poster: Gehrt Islam zu Deutschland? Bagian dari Jermankah Islam? Di bawah pertanyaan itu tertulis jawabannya dengan huruf besar berwarna merah: Ja.

Malam itu, kata "Ja" itu terasa menyentak. Kini ia jadi sebuah antithesis. Pegida, singkatan dari Patriotische Europer Gegen die Islamisierung des Abendlandes ("Patriot Eropa Melawan Islamisasi Dunia Barat"), yang bermula di Dresden Oktober 2014, telah membangkitkan para penentangnya. Mereka datang dengan gelombang yang lebih besar, ketika melihat dukungan makin meluas buat para "patriot" yang ingin menjaga Eropa dari "Islamisasi" itu.

Pegida memang punya daya tarik. Gerakan politik yang berhasil selalu dimulai dengan mengisi lubang yang timbul karena ada yang direnggutkan dari impian orang banyak. Penganut Pegida berangkat dengan semboyan "Menentang fanatisme agama bersama-sama tanpa kekerasan". Atau: "Menentang perang agama di tanah Jerman".

Advertising
Advertising

Artinya Pegida punya daya tarik karena fanatisme serta kekerasan mengerikan yang ditunjukkan sebagian orang Islamdan daya tarik itu universal.

Tapi yang "universal" tak bisa bertahan bersama paranoia. Paranoia bisa bersenyawa cepat dengan kebencian, dan kebencian bisa kuat karena keyakinan. Tapi di ujung semua itu, yang "universal" ambruk. Sejarah kemudian akan mencatat dua peristiwa murung: kerusakan dan/atau kekalahan.

Malam dingin Januari 2015 itu, orang Frankfurt berhimpun di Rmerberg, di sekitar "Pancuran Keadilan", karena cemas tentang apa yang akan terjadi dengan kebencian. Gerechtigkeitsbrunnen, nama Jerman untuk fonten yang dihiasi patung dewi itu, didirikan 600 tahun yang lalu di sana. Dulu, ketika seorang kaisar dinobatkan, dari fonten itu akan mengucur anggur. Orang berpesta. Tapi tak selamanya hanya cerita sukacita. Perang Agama pada abad ke-17, ketika selama 30 tahun orang Katolik dan Protestan saling bunuh, menyebar kematian dan kehancuran juga di Frankfurt. Patung di atas Gerechtigkeitsbrunnen itu salah satu saksinya. Pada 1863, penyair lokal Friedrich Stoltze melukiskannya dengan cemooh yang pahit: "Ini dia Dewi Keadilan! Ia tampak mengerikan; timbangan di tangannya musnah direnggutkan setan, ia kehilangan separuh tangannya."

Kalaupun 17 ribu orang Frankfurt tak semuanya ingat Perang Agama 30 Tahun, mereka pasti ingat Perang Dunia II: hampir semua bangunan di sekitar alun-alun itu luluh-lantak dihantam bom Inggris dan Amerika. Kehancuran dimulai ketika Hitler ingin memperkuat Jerman dengan pekik keadilan tapi timbangan keadilan di tangannya musnah karena Jermannya adalah negeri dengan kebencian.

Jika sebagian besar orang Jerman kini menolakdengan rasa cemasarus pasang Pegida, tentu karena mereka selalu ingat kebencian itu, tentang Auschwitz dan kamp-kamp konsentrasi lain tempat orang Yahudi dan yang "kurang-Jerman" dihabisi. Dan tak mudah mereka melupakan Dresden dan Berlin yang hancur berkeping-keping bersama jatuhnya Hitler dan Partai Nazi.

Tapi ingatan selalu disertai lupa, dan kebencian bisa kambuh lagi di celah-celahnya.

Bukan karena dalam sejarah melekat kebencian yang kekal. Apa yang tampak berulang sesungguhnya bukan repetisi, melainkan kelahiran baru yang berbeda dengan yang sebelumnya. Pada suatu masa di abad ke-17 Leibniz, filosof yang merasa harus membela agama Protestan, memandang Islam sebagai "wabah", la peste de mahometisme. Ia hidup ketika militer Turki ke Eropa sangat dirasakan. Kini fobia terhadap Islam berkecamuk karena kekejaman teror IS, keganasan Boko Haram, fanatisme Taliban dan para pendukungnya.

Maka bersama kebencian yang berbeda, persekutuan kebencian juga bisa berubah. Kaum pendukung Pegida kini bersekutu dengan sebagian kaum Zionis yang menganggap teror adalah bagian Islam yang hakiki. Dulu, juga kini, sebagian orang Islam membenarkan Nazi karena memandang orang Yahudi secara esensial harus dibenci.

Di udara dingin, di udara tak dingin, sejarah memang tak pernah mengaum sendirian.

Goenawan Mohamad

Berita terkait

Coach Justin: Sepak Bola Indonesia Berkembang Sangat Pesat

4 menit lalu

Coach Justin: Sepak Bola Indonesia Berkembang Sangat Pesat

Justinus Lhaksana alias Coach Justin mengatakan sepak bola Indonesia berkembang sangat pesat.

Baca Selengkapnya

Pertamina Indonesian GM Tournament 2024: Pecatur Aditya Bagus Arfan dan Novendra Priasmoro Juara

6 menit lalu

Pertamina Indonesian GM Tournament 2024: Pecatur Aditya Bagus Arfan dan Novendra Priasmoro Juara

IM Aditya Bagus Arfan dan GM Novendra Priasmoro juara di pertandingan catur Pertamina Indonesian GM Tournament 2024.

Baca Selengkapnya

Apa Itu Kewarganegaraan Ganda bagi Diaspora Indonesia yang Ditawarkan Luhut?

8 menit lalu

Apa Itu Kewarganegaraan Ganda bagi Diaspora Indonesia yang Ditawarkan Luhut?

Luhut menawarkan kewarganegaraan ganda bagi diaspora Indonesia. Apa maksudnya?

Baca Selengkapnya

Profil Hendry Lie, Bos Sriwijaya Air yang Ditetapkan Tersangka Kasus Timah

10 menit lalu

Profil Hendry Lie, Bos Sriwijaya Air yang Ditetapkan Tersangka Kasus Timah

PT Sriwijaya Air didirikan oleh Chandra Lie, Hendry Lie, Johannes Bunjamin, dan Andy Halim pada 28 April 2003.

Baca Selengkapnya

Dapat Ancaman atau Teror? Ini yang Harus Dilakukan dan Sanksi Hukum Bagi Pelakunya

11 menit lalu

Dapat Ancaman atau Teror? Ini yang Harus Dilakukan dan Sanksi Hukum Bagi Pelakunya

Pernah terima ancaman atau teror? Tindakan ini yang harus dilakukan. Ketahui sanksi hukum bagi pelaku ancaman tersebut.

Baca Selengkapnya

Hari Ini Harga Emas Antam Melonjak jadi Rp 1.327.000 per Gram

12 menit lalu

Hari Ini Harga Emas Antam Melonjak jadi Rp 1.327.000 per Gram

Harga emas Antam hari ini naik Rp 17.000 menjadi Rp 1.327.000 per gram.

Baca Selengkapnya

Ketergantungan Impor 99 Persen, Peneliti BRIN Riset Jamur Penghasil Enzim

13 menit lalu

Ketergantungan Impor 99 Persen, Peneliti BRIN Riset Jamur Penghasil Enzim

Di Indonesia diperkirakan terdapat 200 ribu spesies jamur, yang di antaranya mampu memproduksi enzim.

Baca Selengkapnya

Pentingnya Pendekatan Kreatif, Berpikir Kritis dan Kolaborasi pada Pendidikan Anak Usia Dini

15 menit lalu

Pentingnya Pendekatan Kreatif, Berpikir Kritis dan Kolaborasi pada Pendidikan Anak Usia Dini

Pentingnya pendidikan anak usia dini terletak pada pengaruhnya yang signikan terhadap pengembangan keterampilan STEAM.

Baca Selengkapnya

Polisi Ungkap Motif Pembunuhan Perempuan dalam Koper: Diambil Uangnya karena Mau Menikah

17 menit lalu

Polisi Ungkap Motif Pembunuhan Perempuan dalam Koper: Diambil Uangnya karena Mau Menikah

Dari hasil pemeriksaan tersangka, diketahui motif pembunuhan adalah uang.

Baca Selengkapnya

PDIP Berharap Putusan PTUN Jadi Pertimbangan MPR Tak Lantik Prabowo-Gibran

17 menit lalu

PDIP Berharap Putusan PTUN Jadi Pertimbangan MPR Tak Lantik Prabowo-Gibran

Kata PDIP soal upaya gugatan di PTUN.

Baca Selengkapnya