TEMPO.CO, Jakarta-
Sekali lagi, Salman Aristo menyajikan omnibus kota yang dicintainya, Jakarta. Ada yang lemah, tetapi ada yang sangat kuat yang layak dikembangkan menjadi film panjang
JAKARTA HATI
Sutradara dan skenario: Salman Aristo
Pemain: Surya Saputra, Asmirandah, Slamet Rahardjo, Andhika Pratama, Roy Marten, Dwi Sasono, Agni Pratistha, Dion Wiyoko, Shahnaz Haque, Framly Nainggolan, Surya Saputra, Asmirandah
Produser: Lavesh M Samtani,
Di bawah langit Jakarta, ada enam buah cerita. Ketika malam turun, seorang lelaki muda menggedor dirinya dengan alkohol. Seorang perempuan muda menyaksikan itu hanya dari beberapa meter dari tempat sang lelaki menumpahkan nasibnya.
“Isterimu berselingkuh dengan kekasih saya.”
Itulah pembukaan dialog film omnibus Jakarta Hati; film kedua sutradara Salman Aristo, setelah sebelumnya dia memunggahkan film dengan tema sama berjudul Jakarta Magrib (2009). Jika omnibus sebelumnya Salman memusatkan kisah pada apa yang terjadi pada magrib di Jakarta, kini keenam kisah diikat oleh tema hati, emosi, cinta pada sesama dan pada kota Jakarta.
Agak sulit membayangkan cinta pada kota yang selalu macet, dengan langit yang mencurahkan sinar matahari yang ganas dan gerah serta trotoar yang buruk dan bau pesing. Karena itu, sangat sulit juga membayangkan pasangan yang dilanda kemarahan itu, sang perempuan (Asmirandah) dan sang lelaki (Surya Saputra) saling curhat tentang tidak setianya pasangan masing-masing sembari menyusuri Jakarta yang trotoarnya sangat tidak bersahabat dengan pejalan kaki itu. Tetapi tak mengapa. Kita coba fokuskan pada premis segmen Orang Lain ini. Mereka sama-sama dikhianati oleh pasangan masing-masing; mereka saling menceritakan kebiasaan kecil pasangan (“small things matter,” sang lelaki menirukan isterinya yang obsesif menjahitkan kancing yang begitu berkuasa mengunci sebuah kemeja). Segmen ini sebetulnya menarik. Surya Saputra menampilkan seni peran yang meyakinkan dan atmosfer dibangun dengan baik. Ada beberapa kepahitan dalam dialog yang sebetulnya bisa digali, ketika sang suami mengatakan bahwa kondom yang dibelinya tak pernah digunakan selama empat bulan. “Kemana gerangan larinya hasrat dia?” dia bertanya dan kemudian menyadari pastilah isterinya lari ke pelukan lelaki lain itu.
Catatan segmen ini, di luar persoalan “Jakarta bukan tempat yang asyik untuk pejalan kaki” adalah, sang penulis skenario sebaiknya mencari penerjemahan ungkapan yang lebih tepat. Keduanya kemudian mempertanyakan “kita jadi orang lain” –karena mereka menangkap ‘getaran’ yang terjadi, menjadi ungkapan aneh karena itu terjemahan harafiah dari “we became the others”. Lebih tepat jika dikatakan, “kita menjadi orang ketiga.” Orang ketiga dari perkawinan/hubungan mereka yang resmi. Kalimat “kita di tempat yang bukan kita sama sekali,” juga sama sekali tidak mengandung makna yang pas, karena itu terjemahan harafiah dari “we are in the place that is not for us.” Lebih cocok jika kalimat itu dirombak menjadi “ini bukan tempat bagi kita.”
Cerita-cerita berikutnya Masih Ada, Kabar Baik, Hadiah, Dalam Gelap, Fatimah adalah berbagai kisah yang terjadi di Jakarta masa kini. Masih Ada mengisahkan anggota dewan, Marzuki (Slamet Rahardjo) yang berurusan dengan korupsi; Hadiah adalah cerita seorang penulis skenario film (Dwi Sasono) yang tengah bergulat antara idealisme (ingin menulis cerita bagus) tapi tak laku atau bikin skenario film komedi seks tapi bisa memenuhi kebutuhan puteranya.
Dalam Gelap sebetulnya mempunyai premis yang bagus. Sepasang suami isteri (Dion Wiyoko dan Agni Pratistha) terjebak dalam situasi pemadaman listrik. Sudah lama hidup mereka begitu kering, sehingga biasanya saat mereka berdua, mereka sibuk sendiri-sendiri. Kini dengan pemadaman lampu, keduanya merasa asing dan mengisi kegelapan dengan pertengkaran dan saling tuduh soal perselingkuhan masing-masing. Si suami berselingkuh dengan gadis yang jauh lebih muda, sementara sang isteri berselingkuh dengan lelaki gayek. Pembicaraan pahit dan perih. Sayang sekali, meski memang dimaksudkan pembicaraan dalam gelap, tak berarti penonton tak boleh melihat wajah kedua pemain. Yang kita lihat adalah layar yang nyaris hitam dan suara pasangan tersebut. Padahal segmen ini adalah salah satu segmen terbaik dari seluruh film.
Kabar Baik adalah sebuah segmen tentang polisi (Andhika Pratama) yang bertemu dengan ayahnya sendiri sebagai tersangka penipuan (Roy Marten); sebuah plot yang juga kita temui dalam film omnibus Dilema (anak dimainkan Ariyo Bayu dan Ayah oleh Slamet Rahardjo). Mungkin sedang trend mempertemukan anak yang menjadi polisi berayahkan bajingan. Tak apa soal kemiripan plot. Yang penting penggarapannya: sejauh apa kita bisa percaya seorang polisi muda idealis yang tetap ngotot memproses Ayahnya sebagai tersangka. Roy Marten, seperti halnya para pemain senior umumnya, tentu saja melibas akting Andhika Pratama yang parasnya memaksa diri untuk serius dan tegang. Roy adalah ikan yang langsung bersatu dengan elemen air. Roy seperti tak sedang berada di hadapan kamera. Dan itulah seni peran: meyakinkan penonton bahwa dia bukan tengah berperan. Mudah-mudahan ilmunya bisa ditransfer kepada lawan mainnya.
Segmen terakhir Darling Fatimah adalah bagian terbaik dari film ini. Fatimah (diperankan dengan baik oleh Shahnaz Haque) seorang janda keturunan Pakistan bermulut celometan berjualan kue basah tradisional di pasar. Seorang lelaki keturunan Tionghoa (Framly Nainggolan) datang, dan untuk sesaat kita bertanya-tanya bagaimanakah hubungan mereka sesungguhnya. Saling mengejek, saling bertukar kalimat dan panggilan kasar, namun mata mereka menunjukkan cinta dan gelora. Ini segmen terbaik bukan hanya karena mengambil kisah yang unik –percintaan antar sepasang kasih beda agama , beda etnik dan beda usia yang cukup jauh—tetapi juga karena karakter keduanyapun sangat hidup. Segmen ini bahkan bisa dikembangkan menjadi sebuah film cerita sendiri. Bayangkan reaksi kedua keluarga dengan perbedaan yang begitu banyak antara sejoli ini.
Salman Aristo cenderung memperlihatkan sinarnya ketika menggarap kisah-kisah hubungan dua orang (kekasih atau pasangan yang menikah). Dia bisa menunjukkan kepahitan, kepedihan sekaligus hal-hal kecil yang manis yang menimbulkan rindu. Pada Jakarta Magrib, segmen yang terbaikpun jatuh pada kisah tentang sepasang kekasih (Adinia Wirasti dan Reza Rahadian) yang bertengkar di dalam mobil. Mungkin sudah saatnya pada karya berikutnya Salman menyajikan sebuah film cerita panjang dengan menampilkan kekuatannya: drama percintaan yang tidak biasa. Yang unik dan menggelegak seperti halnya Darling Fatimah.
Leila S.Chudori