Yustinus Prastowo
Direktur Eksekutif Center for Indonesia Taxation Analysis
Belum lama ini, pemerintah melempar wacana tentang ekonomi berkeadilan, suatu upaya pemerataan sumber daya, termasuk kepemilikan lahan. Hal ini patut diapresiasi sebagai kebijakan yang progresif, tapi kegagalan mengartikulasikan gagasan secara jernih di ruang publik membuat wacana tersebut terlalu cepat menuai kontroversi ketimbang wacana yang produktif.
Kita masih berada di antara dua bayang-bayang ideologi ekonomi raksasa: kapitalisme dan sosialisme. Kapitalisme menekankan pada penguasaan individu atas alat produksi dan penumpukan laba sebagai motif bisnis yang utama. Sebaliknya, sosialisme mendasarkan prinsipnya pada penguasaan kolektif atas alat produksi dan menekankan redistribusi yang merata.
Indonesia memilih sebuah jalan tengah dengan tetap menghormati hak milik pribadi, tapi memberikan hak kepada negara untuk menguasai alat produksi vital yang menguasai hajat hidup orang banyak untuk digunakan bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Menyerahkan redistribusi yang adil pada mekanisme pasar adalah utopia karena bertentangan dengan motif ekonomi individual. Dan, ide redistribusi lahan, baik melalui pembatasan penguasaan maupun disinsentif kepengusahaan, secara sui generis merupakan mandat konstitusi.
Dalam prakteknya, corak kebijakan ekonomi Indonesia terlalu mengabdi pada mekanisme pasar dan kurang menghadirkan negara sebagai regulator dan akselerator. Dalam konteks kapitalisme, negara memang hadir hanya jika ada ekses yang tak dapat diselesaikan oleh pasar. Kini, kita semakin paham bahwa pandangan itu lebih bersifat ideologis daripada sebagai fakta empiris. Maka, kehadiran negara dengan ide ekonomi berkeadilan yang porosnya redistribusi lahan menemukan kemendesakannya.
Sebagaimana umumnya rancangan kebijakan publik di Indonesia, masalah praktisnya adalah adanya kesenjangan antara tataran normatif dan praktis. Banyak sekali ide bagus tapi tidak implementatif lantaran beberapa kendala teknis-administratif, seperti format otonomi daerah, asimetri kewenangan kelembagaan, dan arsitektur fiskal.
Ini jelas tampak ketika ide ekonomi berkeadilan melalui rencana "pajak tanah" diumumkan. Pemerintah sibuk meredam kontroversi dan kebingungan yang timbul, alih-alih menjelaskan konsep dasar, visi, dan rencana aksi yang artikulatif dan jelas. Sudah diduga, di tengah bombardir gugatan publik yang mengarah pada "in-stabilitas pasar" dan potensi kegaduhan, ide bagus ini lalu tenggelam.
Pemerintah sebaiknya tidak menunda, melainkan menyusun peta jalan yang komprehensif dan layak diterapkan. Ide mengoptimalkan instrumen fiskal berupa "pajak tanah" layak didukung dengan basis penguasaan dan pengusahaan. Penguasaan lahan berlebih, selain tidak sesuai dengan visi reforma agraria dan undang-undang bidang pertanahan, juga merupakan sumber ketimpangan karena sentralisasi alat produksi pada segelintir orang dan kelompok. Pengusahaan juga menjadi basis pengenaan karena lahan tidak produktif bertentangan dengan fungsi tanah sebagai hak milik maupun alat produksi.
Pemilihan jenis pajak dan dasar pengenaan pajak juga perlu dipertimbangkan dengan saksama, terutama aspek kesederhanaan administrasi dan keadilan. Saat ini setidaknya kita memiliki beberapa jenis pajak atas tanah, baik yang dikelola pusat maupun daerah. Ada pajak penghasilan (PPh) atas pengalihan hak atas tanah/bangunan (PPh Final) yang dipungut pusat, bea perolehan hak atas tanah dan/atau bangunan (BPHTB) yang dipungut daerah, pajak bumi dan bangunan (PBB) sektor P3 (perhutanan, perkebunan, dan pertambangan) yang dikelola pusat, dan PBB sektor P2 (pedesaan dan perkotaan) yang dikelola daerah.
Meskipun cukup ideal, pajak atas keuntungan modal sulit diterapkan karena membutuhkan basis data yang akurat dan integrasi administrasi pertanahan yang baik. Dalam jangka menengah, pemerintah sebaiknya memaksimalkan peran jenis pajak yang ada supaya kebijakan ini segera dapat diimplementasikan dan berdampak positif.
Masalah asimetri kewenangan perlu segera diurai. Untuk mengatasi aksi spekulasi, PPh final dan BPHTB dapat dioptimalkan dengan skema tarif final progresif: semakin tinggi untuk yang menjual tanah di bawah waktu tertentu. Selanjutnya, untuk lahan tak produktif, pemerintah dapat menggunakan PBB tarif progresif agar ada disinsentif tiap tahun bagi lahan menganggur. Maka, undang-undang mengenai PBB, pajak daerah, dan retribusi daerah perlu diubah. Peraturan pemerintah untuk mengkoordinasikan semuanya juga perlu segera dibuat.
Meski solusi ini membutuhkan perubahan aturan dan koordinasi yang baik, secara teknis paling mungkin diterapkan dalam jangka menengah dan dapat menjadi solusi bagi masalah ketimpangan. Pemerintah sebaiknya teguh dengan gagasannya dan berani melawan arus penolakan para tuan tanah dan mafia pemburu rente agar bumi, air, udara, dan kekayaan yang terkandung di dalamnya sungguh-sungguh digunakan bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.
Berita terkait
PBB: Bantuan ke Gaza Tak Boleh Jadi Alasan Israel Serang Rafah
1 hari lalu
Serangan darat Israel ke Rafah berpotensi memperparah penderitaan ratusan ribu warga Palestina yang terpaksa mengungsi ke kota tersebut
Baca SelengkapnyaEkuador Gugat Meksiko di ICJ karena Beri Suaka Mantan Wakil Presiden
1 hari lalu
Meksiko sebelumnya telah mengajukan banding ke ICJ untuk memberikan sanksi kepada Ekuador karena menyerbu kedutaan besarnya di Quito.
Baca SelengkapnyaIndonesia Dorong Penetapan Hari Danau Sedunia di World Water Forum Ke-10 Bali
3 hari lalu
Penetapan Hari Danau Sedunia menjadi satu dari empat poin usulan yang dibawa Indonesia untuk diangkat menjadi resolusi PBB.
Baca SelengkapnyaParlemen Arab Desak Investigasi Internasional Kuburan Massal di Gaza
3 hari lalu
Parlemen Arab menyerukan investigasi internasional independen menyusul penemuan kuburan massal di Rumah Sakit Al-Shifa dan Rumah Sakit Nasser di Gaza
Baca SelengkapnyaDi World Water Forum ke-10, RI Akan Usul Penetapan Hari Danau Sedunia
4 hari lalu
Pemerintah Indonesia akan mengusulkan penetapan Hari Danau Sedunia dalam acara World Water Forum ke-10 yang dihelat di Bali pada 18-25 Mei 2024.
Baca SelengkapnyaSiprus Lanjutkan Bantuan Pangan ke Gaza Via Laut Pasca-Pembunuhan Relawan WCK
5 hari lalu
Pengiriman bantuan pangan ke Gaza dari Siprus melalui jalur laut dilanjutkan pada Jumat malam
Baca SelengkapnyaPBB: Butuh 14 Tahun untuk Bersihkan Puing-puing di Gaza
5 hari lalu
Serangan Israel ke Gaza telah meninggalkan sekitar 37 juta ton puing di wilayah padat penduduk, menurut Layanan Pekerjaan Ranjau PBB
Baca SelengkapnyaEks Ketua HRW: Israel Halangi Penyelidikan Internasional terhadap Kuburan Massal di Gaza
6 hari lalu
Pemblokiran Israel terhadap penyelidik internasional memasuki Jalur Gaza menghambat penyelidikan independen atas kuburan massal yang baru ditemukan
Baca Selengkapnya70 Persen dari Ribuan Korban Jiwa di Gaza adalah Perempuan
6 hari lalu
ActionAid mencatat setidaknya 70 persen dari ribuan korban jiwa di Gaza adalah perempuan dan anak perempuan.
Baca SelengkapnyaJamaika secara Resmi Mengakui Palestina sebagai Negara
7 hari lalu
Jamaika secara resmi mengumumkan pengakuan Palestina sebagai sebuah negara setelah musyawarah kabinet.
Baca Selengkapnya