Penolakan pemerintah untuk membahas Rancangan Undang-Undang Pertembakauan sepatutnya didukung. Rancangan undang-undang yang merupakan inisiatif Dewan Perwakilan Rakyat itu berpotensi menabrak berbagai undang-undang lainnya.
Presiden Joko Widodo hingga pekan lalu baru sebatas lisan menyatakan menolak membahas rancangan itu. Awal pekan ini, Istana mengirim surat ke Dewan, menyatakan tidak hendak membahas rancangan yang disorongkan DPR ke pemerintah pada Desember lalu itu.
Rancangan aturan pertembakauan sempat memantik silang pendapat di antara para menteri Jokowi. Kementerian Perindustrian selama ini mendukung rancangan tersebut dengan dalih demi memajukan industri rokok dan petani tembakau. Sebaliknya, Kementerian Kesehatan menolak karena menilai RUU Pertembakauan bertabrakan dengan semangat Undang-Undang Kesehatan.
Dalih bahwa produksi tembakau perlu digenjot demi perekonomian nasional mudah dipatahkan. Pada 2015, dengan penjualan sekitar 398 miliar batang, industri rokok memang menyetor cukai sekitar Rp 139 triliun. Tapi cukai tersebut tak sebanding dengan 400 ribu kematian per tahun akibat penyakit yang berkaitan dengan asap rokok. Kementerian Kesehatan pun menghitung kerugian sekitar Rp 378 triliun karena pemerintah harus menanggung asuransi kesehatan.
Beberapa menteri sempat bertemu dengan pimpinan Badan Legislasi DPR. Badan inilah yang meloloskan rancangan undang-undang tanpa naskah akademis itu. Badan Legislasi juga tak pernah membuka siapa sebetulnya pengusul rancangan itu. Penelusuran majalah Tempo pada Januari lalu menemukan jejak lobi industri rokok agar RUU Pertembakauan segera disahkan.
Mencurigakan dari sisi prosedur, secara substansi RUU Pertembakauan juga sarat persoalan. Rancangan ini melonggarkan aturan pengendalian tembakau yang telah diperketat. Misalnya, iklan produk tembakau di media massa diizinkan lagi. Peringatan bahaya merokok pun dibuat lagi sebatas "teks", tanpa visualisasi penyakit akibat rokok.
Bila diundangkan, Rancangan Undang-Undang Pertembakauan akan bertabrakan dengan undang-undang di bidang kesehatan, psikotropika, ataupun penyiaran. Undang-undang baru itu juga bertolak belakang dengan rencana pemerintah Jokowi. Dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah 2015-2019, Jokowi memasang target jumlah perokok berusia di bawah 18 tahun turun dari 18,3 juta pada 2015 menjadi 12,5 juta jiwa pada 2019. Bagaimana mungkin konsumsi rokok bisa turun bila produksinya digenjot dan distribusinya diperlonggar.
Sempat muncul kekhawatiran bahwa Jokowi melunak dengan mengirim surat ke Dewan. Namun, seperti dituturkan Wakil Presiden Jusuf Kalla, surat itu ternyata berisi penegasan sikap pemerintah yang menolak membahas rancangan tersebut. Sikap konsisten ini layak dihargai.