Penangkapan banyak pejabat oleh Komisi Pemberantasan Korupsi tak pernah membuat jeri pejabat lainnya untuk terus mengulangi perbuatan serupa. Jaket khusus berwarna jingga, kilatan lampu kamera jurnalis yang terus menyorot, dan kecaman dari berbagai sudut terhadap koruptor yang diterungku komisi antikorupsi betul-betul tak ada artinya bagi pejabat lain yang bermental korup.
Pekan lalu, di tengah berita sidang perkara megakorupsi proyek kartu tanda penduduk elektronik atau e-KTP, komisi antikorupsi menangkap sejumlah pejabat PT Penataran Angkatan Laut (PAL) Indonesia. Para petinggi badan usaha milik negara itu disangka menerima suap dalam pembuatan dua kapal perang pesanan Kementerian Pertahanan Filipina pada 2004. Indonesia mengalahkan sejumlah perusahaan dari negara lain dalam proses tender senilai Rp 1,1 triliun.
PAL rupanya menggunakan perusahaan perantara, yakni Ashanti Sales Incorporated, yang berbasis di Singapura, untuk memenangi tender tersebut. Perusahaan itu mendapat imbalan 4,75 persen, yang sebagian di antaranya--yaitu 1,25 persen--ditarik kembali untuk dibagi-bagikan kepada petinggi PAL. "Modus primitif" ini, menurut komisi antikorupsi, dipakai para tersangka, termasuk Direktur Utama M. Firmansyah Arifin dan Direktur Keuangan Saiful Anwar.
Kejahatan ini diduga dilakukan dengan sistematis dan "telaten". Para pelaku menarik sedikit demi sedikit uang kutipan dari sebuah bank di Singapura untuk menghindari kecurigaan otoritas keuangan negara itu. Mereka mungkin berpikir, jejak elektronik perbankan tidak bisa dicium para penyelidik antikorupsi.
Sungguh memprihatinkan, rezim demi rezim telah berganti, tapi praktek korup tak bisa segera dikurangi dari para pejabat pemerintah dan perusahaan negara. Kalau kita menyebutkan contoh kasus, komisi antikorupsi belum tuntas menyidik perkara dugaan suap dalam pembelian mesin Rolls-Royce yang melibatkan Direktur Utama PT Garuda Indonesia, Emirsyah Satar. Sejumlah pejabat perusahaan negara pun telah masuk sel penjara dalam korupsi proyek pembangunan pusat pendidikan olahraga di Hambalang, Jawa Barat, beberapa tahun lalu.
Proses seleksi calon pejabat badan usaha milik negara seharusnya lebih diperketat. Jika perlu, komisi antikorupsi serta Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan dilibatkan dalam menjaring para calon. Lebih dari itu, Kementerian Badan Usaha Milik Negara sepatutnya menjauhkan sejauh-jauhnya pertimbangan kepentingan pribadi dalam mengisi manajemen perusahaan negara.
Auditor internal pun mesti diperkuat. Tim ini harus diisi orang-orang berintegritas, yang berani berteriak jika menemukan kecurangan dalam praktek bisnis perusahaannya. Jika perlu, mereka diberi insentif bila menemukan kasus yang bisa dibuktikan di pengadilan. Mereka pun perlu mendeteksi sejak dini ketidakwajaran harta kekayaan, aktivitas, dan gaya hidup pejabat perusahaan negara beserta keluarganya.
Pembenahan ini mesti segera dilakukan. Apalagi, menurut Ketua KPK Agus Rahardjo, praktek gratifikasi di negara tetangga kepada petinggi badan usaha milik negara lazim dilakukan guna menghindari deteksi aparat penegak hukum Indonesia. Penangkapan demi penangkapan tersangka koruptor tak pernah membuat jera pejabat lainnya. Upaya ekstra perlu dilakukan untuk menghentikan mereka.