Pesimisme

Penulis

Senin, 10 Agustus 2015 00:00 WIB

1949: tak lama setelah Indonesia bangkit dengan euforia kemerdekaan, Chairil Anwar menuliskan baris ini dalam salah satu sajaknya: "Hidup hanya menunda kekalahan."

Sebuah kontras. Mungkin antiklimaks.

Saya yakin kalimat itu hanya gumam Chairil dalam saat yang murung; sajak ini ditulis beberapa bulan sebelum ia meninggal pada umur 27 tahun. Tapi ada yang melihatnya sebagai bagian dari perasaan dan perspektif sebuah generasi di Indonesiaperasaan yang dianggap tak pada tempatnya di kancah sebuah bangsa yang baru tampil ke depan setelah lepas dari penjajahan.

Maka S. Takdir Alisjahbana mengecam kemuraman karya-karya Chairil, "ketakutannya akan dunia sekitarnya yang tak dikuasainya". Bagi Takdir, sajak-sajak seperti yang digubah Chairil memperlihatkan tendensi buruk para penulis Indonesia yang "telah mengambil krisis Barat dan pesimisme Barat". Bagi Takdir, Chairil dan angkatannya cuma gema yang ganjil dari suasana Eropa yang kehilangan harapan.

Di Eropa pesimisme memang berkecamuk di antara dua perang besar yang melibatkan banyak negara, 1914-1918 dan 1939-1945. Orang, terutama kaum terpelajar dan seniman, menurut Takdir, merasa "tiada berkuasa sedikit jua terhadap pembantaian manusia yang besar-besaran". Akhirnya dalam karya-karya mereka (di sini Takdir mengutip Andre Malraux) tak ada lagi kepercayaan kepada manusia.

Advertising
Advertising

Tak adanya lagi kepercayaan kepada manusia adalah sebuah pesimisme yang gawat. Takdir tentu tak melihat gejala itu telah terjadi di Indonesia pasca-1945. Ia sejak dulu yakin akan gerak maju masyarakat dari zaman "jahiliah" Indonesia ke masa depan yang gemilang, Tapi di awal 1950-an, ia sendiri tampaknya tak bisa mengelak dari situasi yang dibayangi krisis.

Sejak 1951 ia berbicara tentang impasse dalam kreativitas manusia Indonesia. Sebuah simposium yang diorganisasinya mengambil pokok "Kesulitan-kesulitan Zaman Peralihan Sekarang". Di sana dinyatakan bahwa kebudayaan di Indonesia ada "di jalan buntu".

Kebuntuan atau impasse atau "krisis" dengan segera jadi percakapan intelektual yang dominan di Indonesia pada 1950-an. Di nomor pertama jurnal Konfrontasi, 1954, Soedjatmoko mensinyalir adanya krisis yang "telah meresap ke dalam masyarakat kita di dalam segala pernyataan dan tindakan jiwa manusia".

Kata-kata Soedjatmoko dramatisdan agaknya tak meyakinkan. Beberapa sanggahan pun dikemukakan, atau bila kata "krisis" menjalar ke tempat lain, ia jadi sesuatu yang berkait dengan yang jenaka: pada 1953 Usmar Ismail membuat film Krisis yang segera disambung dengan Lagi-lagi Krisis. Dalam film yang kedua ini kita lihat Husin bin Said yang pasang papan nama sebagai dukun dan Pedro bintang sandiwara lama yang sudah tak laku. Akhir cerita: sebuah kegagalan usaha memproduksi film....

Tak adakah harapan yang serius? Begitu gampangkah pesimisme dan begitu cepatkah sinisme?

Pada 1860, Ranggawarsita menulis karyanya yang terkenal, Serat Kalatida: 12 bait puisi-tembang yang paling muram dalam sastra Jawa. Ia berbicara tentang "zaman edan" yang dialaminya: merasa tersingkir, ia lihat keadaan politik yang kacau, rurah pangrehing ukara, dan orang di sekitarnya yang hanya berebut harta dan kedudukan.

Tapi seperti ketika Takdir berbicara tentang impasse dan Soedjatmoko tentang "krisis", dalam pesimisme Ranggawarsita ada optimisme yang terselip: keadaan yang buruk itu bisa diatasi. Dalam konsep Takdir, impasse adalah jalan buntu pada zaman "peralihan": akan ada perubahan. Dalam pemikiran Soedjatmoko, "krisis" bisa diatasi dengan "konfrontasi", sebuah perlawanan aktif. Dalam Kalatida: keadaan buruk dihadapi dengan mengundurkan diri ke dalam sepi, muhung mahas ing asepi, mematikan hasrat ibarat "mati dalam hidup".

Tentu ada yang membedakan Ranggawarsita dengan para cendekiawan Indonesia abad ke-20: ada sisa samar-samar kesadaran lama tentang waktu. Dalam pandangan Takdir dan Soedjatmoko, seperti laiknya orang-orang modern, waktu adalah sesuatu yang linear, ibarat garis yang titik ujungnya tak akan berulang. Dalam Kalatidameskipun digubah setelah di Jawa orang mengenal jammasih ada jejak konsep waktu sebagai siklus: waktu adalah sejumlah kala dengan ciri-ciri keadaan tertentu, yang pernah terjadi dan akan terjadi lagi. Dengan kata lain, waktu bergerak bersama cakra manggilingan: nasib ibarat roda pedati, sesekali di atas, sesekali di lantai.

Pada akhirnya, memang tak ada yang mengatakan, "Hidup hanya menunda kekalahan." Kita belum bisa mengatakan, "Tak ada lagi kepercayaan kepada manusia." Sajak Chairil yang sangat muram itu pun masih memperlihatkan tenaga "menunda" justru di tengah waktu yang berubah. Ia masih hendak mengatakan sesuatu, "Sebelum pada akhirnya kita menyerah." Seperti satu baris dalam The Unnamable Samuel Beckett: "...in the silence you don't know, you must go on, I can't go on, I'll go on."

Belum antiklimaks.

Goenawan Mohamad

Berita terkait

Kuasa Hukum Kasdi Subagyono Benarkan Nurul Ghufron Pernah Bahas soal Mutasi Kerabatnya di Kementan

2 menit lalu

Kuasa Hukum Kasdi Subagyono Benarkan Nurul Ghufron Pernah Bahas soal Mutasi Kerabatnya di Kementan

Kuasa hukum eks Sekjen Kementan Kasdi Subagyono membenarkan bahwa Wakil Ketua KPK Nurul Ghufron pernah membahas soal mutasi kerabatnya.

Baca Selengkapnya

Hasil Piala Uber 2024: Kemenangan Lanny / Rachel Bawa Indonesia Kalahkan Uganda 5-0

5 menit lalu

Hasil Piala Uber 2024: Kemenangan Lanny / Rachel Bawa Indonesia Kalahkan Uganda 5-0

Tim bulu tangkis putri Indonesia akan menghadapi Jepang di laga terakhir Grup C Piala Uber 2024, untuk perebutan juara grup, Rabu, 1 Mei 2024.

Baca Selengkapnya

Hasil Piala Asia U-23 2024: Diwarnai Kartu Merah, Timnas U-23 Indonesia Kalah 0-2 dari Uzbekistan

17 menit lalu

Hasil Piala Asia U-23 2024: Diwarnai Kartu Merah, Timnas U-23 Indonesia Kalah 0-2 dari Uzbekistan

Meski kalah, Timnas U-23 Indonesia masih berkesempatan merebut tiket ke Olimpiade Paris 2024 melalui perebutan peringkat ketiga Piala Asia U-23 2024.

Baca Selengkapnya

Tiket Konser Sheila on 7 di Pekanbaru Habis Terjual, 17 Ribu Sheila Gank Ikut Tiket War

20 menit lalu

Tiket Konser Sheila on 7 di Pekanbaru Habis Terjual, 17 Ribu Sheila Gank Ikut Tiket War

Penjualan tiket konser Sheila on 7 di Pekanbaru itu begitu cepat diserbu Sheila Gank, nama penggemar band asal Yogyakarta itu.

Baca Selengkapnya

Aliansi Perempuan Indonesia akan Turun Aksi di Hari Buruh Sedunia

22 menit lalu

Aliansi Perempuan Indonesia akan Turun Aksi di Hari Buruh Sedunia

Mereka akan bergabung dengan kelompok-kelompok buruh lainnya yang juga melakukan aksi Hari Buruh di tempat yang sama.

Baca Selengkapnya

Merasa Terjebak dalam Hubungan Tak Bahagia? Bulatkan Tekad untuk Pergi

37 menit lalu

Merasa Terjebak dalam Hubungan Tak Bahagia? Bulatkan Tekad untuk Pergi

Merasa terjebak dalam hubungan tak bahagia? Berikut tanda Anda harus mengakhiri hubungan karena sudah tak mungkin diperbaiki.

Baca Selengkapnya

Fati Indraloka Lelang Vespa Kesayangan Babe Cabita untuk Pembangunan Masjid

40 menit lalu

Fati Indraloka Lelang Vespa Kesayangan Babe Cabita untuk Pembangunan Masjid

Hasil lelang vespa kesayangan Babe Cabita akan digunakan untuk pembangunan masjid dan pondok pesantren.

Baca Selengkapnya

3 Alasan Banyak Pasien Berobat ke Luar Negeri

42 menit lalu

3 Alasan Banyak Pasien Berobat ke Luar Negeri

Ini strategi Bethsaida Hospital untuk menarik pasien berobat di dalam negeri

Baca Selengkapnya

Trenggono Sebut Perbankan Ogah Danai Sektor Perikanan karena Rugi Terus

1 jam lalu

Trenggono Sebut Perbankan Ogah Danai Sektor Perikanan karena Rugi Terus

Menteri Kelautan dan Perikanan Sakti Wahyu Trenggono mengatakan bahwa sektor perikanan kurang mendapat dukungan investasi dari perbankan. Menurut dia, penyebabnya karena perbankan menghindari resiko merugi dari kegiatan investasi di sektor perikanan itu.

Baca Selengkapnya

Pertamina Bantah Hapus Pertalite, Tapi Beberapa SPBU Sudah Tak Dapat BBM Subsidi

1 jam lalu

Pertamina Bantah Hapus Pertalite, Tapi Beberapa SPBU Sudah Tak Dapat BBM Subsidi

Pertamina Patra Niaga menampik adanya penghapusan Pertalite menjadi Pertamax Green 95 di seluruh SPBU.

Baca Selengkapnya