28 Oktober

Penulis

Senin, 12 Oktober 2015 00:00 WIB

Bangsa lahir dan tumbuh dengan sejenis lupa. Bangsa lahir dan bertahan dengan sebekas ingatan.

Dalam satu kuliah umum tahun 1882, di Paris, Ernest Renan menyimpulkan bahwa "lupa adalah satu faktor yang esensial untuk terbentuknya sebuah bangsa". Manusia, yang berbeda-beda asal-usulnya, bahkan yang pernah saling bunuh di masa lalu, menanggalkan ingatan tentang itu; kuatnya hasrat bergabung untuk menjadi satu telah mendorong mereka untuk lupa.

"Tiap warga Prancis," kata Renan, "melupakan Hari Santo Bartolomeus."

Ia menyebut pembantaian orang Protestan Paris oleh orang Katolik Paris pada hari menjelang akhir Agustus 1572 itu. Tapi beberapa abad kemudian, para warga, yang ingin membuat bangsa Prancis lahir dan tumbuh, tak membangun monumen yang menandai dendam. Tanda itu akan menghalangi persatuan antara kedua komunitas dalam tubuh sebuah bangsa. Walhasil, untuk komunitas baru yang disebut "bangsa" (nasion), alih-alih melawan lupa, orang justru mempromosikannya.

28 Oktober 1928 di Indonesia juga sebuah saat yang mengandung "lupa". Gagasan jadi satu nusa, jadi satu bangsa, dipertegas dengan tekad untuk tak lagi mengaitkan diri pada apa yang sering disebut "kedaerahan", "suku", atau "asal-usul".

Advertising
Advertising

Kemarahan kepada penjajahan dan harapan kepada sebuah bangsa yang akan dibentuk mempertalikan semua. Dengan itulah nasionalisme lahir. Ia mengandung kepercayaan, ada yang "eka" dalam "kebhinekaan".

Mungkin kepercayaan itu tak dengan sendirinya berarti kepercayaan akan adanya "yang universal" dalam hakikat manusia. Tapi memang ada saat-saat dalam sejarah ketika manusia merasakan sesuatu yang secara universal menggugah hati, misalnya ketidakadilan. Itu agaknya yang menggerakkan para pemuda, dari utara atau selatan, timur atau barat, pada tanggal 28 Oktober 1928.

Sentuhan nilai-nilai yang universal itu pula yang membuat seorang Gandhi dan seorang Sukarno mengatakan dengan bangga bahwa nasionalisme mereka hidup subur dalam "taman sarinya internasionalisme".

Apalagi nasionalisme itu ditempa sejarah melawan imperialismedengan kesadaran yang dikukuhkan Marxisme-Leninisme, sebuah ajaran yang yakin kepada pembebasan semua orang, bukan saja tanpa kelas, tapi juga tanpa ikatan negeri asal.

Tapi kemudian ada para nasionalis lain. Mereka menganggap pernyataan yang melihat diri sebagai "ahli waris kebudayaan dunia"seperti manifesto "Angkatan 45" dalam kesusastraan Indonesiacenderung membungkam sifat-sifat yang khas dalam tradisi, peninggalan sejarah, dan ekspresi budaya yang lama dan khas. Semua itu kekayaan yang tak boleh hilangdan itulah yang hendak ditegaskan para sastrawan Indonesia pada periode 1950 dan kemudian dikukuhkan oleh doktrin "kebudayaan nasional".

Dalam semangat nasionalisme jenis ini, bangsa lahir dengan mengingat, bukan melupakan. Di sanalah konon tersimpan identitas. Identitas adalah anak yang gagah dari masa lalu.

Tapi masa lalu sebenarnya tak punya anak tunggal. Kita memilih hanya satu atau dua yang kita anggap cocok dengan kehendak kita hari ini. Bahkan kita sering tak menyangka bahwa yang kita anggap berasal dari masa lalu, yang asli, sebenarnya berbeda genealoginya.

28 Oktober 1928: dikatakan hari itu para pemuda dari pelbagai suku bangsa bertemu dan bersepakat. Tapi apa arti "suku" sebenarnya?

Saya tak tahu. Saya juga tak tahu sejak kapan kata itu dipergunakan dalam bahasa sosial-politik Indonesia. Saya sering melihatnya ganjil. Pengertian "suku" mengasumsikan adanya satu totalitas, katakanlah sebatang tubuh, di mana "suku" adalah bagian-bagiannya. Artinya, dalam pikiran kita, "batang tubuh" itu ada sebelum "suku-suku"-nya. Tapi anehnya dikatakan bahwa "suku-suku" itu ada lebih dulu, entah dari mana, dan merekalah yang menyusun diri jadi satu "batang tubuh".

Mungkin pada mulanya adalah sensus. Kini kita dengan gampang menjawab sebuah sensus yang mengklasifikasikan kita dalam "suku-suku": "Jawa", atau "Aceh", atau "Bali". Kita yakin pengertian-pengertian itu berakar pada sejarah yang tua. Kita lupa bahwa klasifikasi itu sebenarnya ditentukan oleh cacah-jiwa yang diperkenalkan kekuasaan kolonial Eropa di Asia. Kita tak melihat bahwa sensus bermula sebagai cara menguasai rakyat jajahan.

Kemampuan menguasai dimulai dengan kemampuan menyederhanakan kemajemukan dunia. Untuk itu pemerintah kolonial memberlakukan kategori yang sebenarnya baru bagi penduduk di koloni: kategori "ras" misalnya. Ketika para administrator Eropa memakai konsep itu dalam desain sensus mereka, mereka sadarseperti ditulis Anthony Reid dalam Imperial Alchemy: Nationalism and Political Identity in Southeast Asiabahwa mereka sedang "memaksakan kategori-kategori kepada sebuah dunia yang bergeser".

Pada awal 1930-an para penguasa Eropa sendiri mengeluhkan betapa tak stabilnya pembedaan rasial di Burma. Seorang perancang sensus kolonial mengakui: "orang Timur sendiri tak punya konsep yang jelas tentang apa itu ras".

Tapi sensus dan penguasaan diteruskan, dan kategori yang diterapkan dari atas itu makin melekat.

Dalam cengkeraman kekuasaan itu penduduk menyesuaikan diri. Mereka ikut menyebut diri "Jawa" atau "Melayu". Dengan kata lain, anggota "suku" yang sudah tertentu. Seakan-akan mereka mewarisi sesuatu yang mereka kenang, mereka lanjutkan, mereka hormati. Sampai kini.

Mereka kira mereka mengingat. Tapi "bangsa" atau "suku" lahir sering dengan ingatan yang palsu.

Goenawan Mohamad

Berita terkait

Profil Ester Nurumi Tri Wardoyo, Atlet Tunggal Putri Indonesia yang Jadi Sorotan di Piala Uber 2024

50 detik lalu

Profil Ester Nurumi Tri Wardoyo, Atlet Tunggal Putri Indonesia yang Jadi Sorotan di Piala Uber 2024

Atlet tunggal putri Ester Nurumi Tri Wardoyo menjadi sorotan dalam gelaran Piala Uber 2024. Ia membuat He Bing Jiao kerepotan di babak final.

Baca Selengkapnya

Jokowi Ungkap 2 Faktor Ekonomi yang Bikin Semua Negara Ketakutan

2 menit lalu

Jokowi Ungkap 2 Faktor Ekonomi yang Bikin Semua Negara Ketakutan

Presiden Jokowi meminta Indonesia menyiapkan fondasi yang kuat untuk pembangunan masa depan.

Baca Selengkapnya

Sinopsis The Atypical Family, Tayang Sabtu-Minggu di Netflix Total 12 Episode

3 menit lalu

Sinopsis The Atypical Family, Tayang Sabtu-Minggu di Netflix Total 12 Episode

Drama Korea The Atypical Family dibintangi Jang Ki Yong dan Chun Woo Hee, tentang keluarga yang kehilangan kekuatan supernatural.

Baca Selengkapnya

Clarke Quay Hadir dengan Wajah Baru Destinasi Hiburan Siang dan Malam di Singapura

11 menit lalu

Clarke Quay Hadir dengan Wajah Baru Destinasi Hiburan Siang dan Malam di Singapura

Clarke Quay selama ini dikenala sebagai kawasan destinasi hiburan malam di Singapura, kin hadir dengan wajah baru

Baca Selengkapnya

Siapa Sebenarnya Pemilik Sepatu Bata yang Pabriknya Tutup di Purwakarta?

11 menit lalu

Siapa Sebenarnya Pemilik Sepatu Bata yang Pabriknya Tutup di Purwakarta?

Bata telah melakukan berbagai upaya selama empat tahun terakhir di tengah kerugian dan tantangan industri.

Baca Selengkapnya

Kala Sistem Noken dalam Pileg 2024 di Papua Tengah Dirundung Masalah

15 menit lalu

Kala Sistem Noken dalam Pileg 2024 di Papua Tengah Dirundung Masalah

Hakim MK kembali menegur KPU RI karena tidak membawa bukti berupa hasil noken atau formulir C Hasil Ikat Papua Tengah.

Baca Selengkapnya

Ditunggu Setengah Jam untuk Wawancara Cegat, Jokowi: Besok Aja

21 menit lalu

Ditunggu Setengah Jam untuk Wawancara Cegat, Jokowi: Besok Aja

Presiden Jokowi nge-prank jurnalis yang sudah menuggu sekitar setengah jam untuk sesi wawancara cegat atau doorstop.

Baca Selengkapnya

Xiaomi 15 Diperkirakan Rilis Oktober Seperti Halnya Xiaomi 14 Tahun Lalu

22 menit lalu

Xiaomi 15 Diperkirakan Rilis Oktober Seperti Halnya Xiaomi 14 Tahun Lalu

Analis teknologi memperkirakan Xiaomi 15 bakal menyerupai generasi sebelumnya ihwal jadwal rilis dan tenggat distribusi.

Baca Selengkapnya

Cegah Kejadian Asusila, DKI Utus 35 Personel Gabungan Jaga RTH Tubagus Angke

32 menit lalu

Cegah Kejadian Asusila, DKI Utus 35 Personel Gabungan Jaga RTH Tubagus Angke

Langkah Pemprov DKI Jakarta dalam meningkatkan keamanan Ruang Terbuka Hijau (RTH) Jalan Tubagus Angke, Jakarta Barat untuk mencegah kejadian asusila di fasilitas publik.

Baca Selengkapnya

Mahasiswa Katolik Unpam Tangsel Jadi Korban Penganiayaan Saat Berdoa Rosario di Sebuah Rumah

32 menit lalu

Mahasiswa Katolik Unpam Tangsel Jadi Korban Penganiayaan Saat Berdoa Rosario di Sebuah Rumah

Mahasiswa Katolik Universitas Pamulang Tangsel jadi sasaran penganiayaan saat berdoa rosario di sebuah rumah.

Baca Selengkapnya