Korupsi dan Pembubaran Partai

Penulis

Kamis, 30 Maret 2017 01:12 WIB

Korupsi dan Pembubaran Partai

Arya Budi
Research Fellow Departemen Politik dan Pemerintahan UGM


Tulisan ini dimaksudkan untuk menanggapi artikel Hifdzil Alim, "Pembubaran Partai" (Kompas, 20 Maret 2017), yang mempunyai argumen mirip dengan artikel Feri Amsari, "Pembubaran Partai Lintah" (Koran Tempo, 1 Mei 2013). Berangkat dari kasus korupsi yang menyerempet fungsionaris dan elite petinggi partai, termasuk yang terakhir adalah e-KTP, kedua penulis berpendapat bahwa korupsi bisa menjadi alasan pembubaran partai. Argumen mereka, partai politik perlu dibuat jera untuk menghindari perampokan uang negara oleh partai. Sebagai pemerhati hukum dan korupsi, tentu nalar hukum, seperti revisi aturan perundang-undangan dan revitalisasi peran Mahkamah Konstitusi, menjadi landasan penting bagi dua penulis tersebut.


Namun ide dan argumen mereka perlu ditanggapi, terutama dalam perspektif pelembagaan partai di Indonesia sebagai proses konsolidasi demokrasi. Ada dua hal penting mengapa ide dan argumen pembubaran partai karena korupsi elite perlu diluruskan. Pertama, apakah dengan membubarkan partai politik, elite dan para eks fungsionaris partai akan berhenti menjarah negara? Pertanyaan ini mengungkapkan bahwa pembubaran institusi akibat kejahatan personal adalah sebuah kegagapan. Jika efek jera atas kasus korupsi beberapa pengurusnya menyasar partai secara organisasi, para elite dan fungsionaris lainnya tidak akan kerepotan untuk sekadar mengubah nama, lambang, AD/ART, dan kelengkapan administratif pendaftaran partai baru karena jejaring politik yang telah terbangun.


Kedua, mungkinkah ide pembubaran partai karena korupsi oleh beberapa elite dan fungsionarisnya akan berakhir pada non-partisan state alias negara tanpa partai? Jika semua partai dibubarkan karena fungsionaris dan elite partai terbukti korupsi, parlemen akan terdiri atas 560 anggota yang berdiri sendiri.


Dalam konteks Indonesia, parlemen tanpa partai sangat mungkin akan bernasib seperti Konstituante pada akhir 1950-an, yang berakhir ricuh serta deadlock dan akhirnya dibubarkan Presiden Sukarno. Eksekutif atau lembaga kepresidenan mempunyai kekuasaan super yang berujung pada otoritarianisme akibat absennya institusi kepartaian.


Advertising
Advertising

Singkatnya, ide pembubaran partai atas kejahatan individual justru melenyapkan fungsi penting institusi partai di level parlemen/pemerintahan: konsolidasi politik. Sekalipun fungsi-fungsi partai politik berangsur diambil alih oleh lembaga konsultan, surveyor, organisasi kemasyarakatan, dan masyarakat sipil, fungsi konsolidasi bisa jadi adalah one of the most residual functions of political parties (Norris 2006: 89). Tanpa lembaga kepartaian, elite politik akan sulit terkonsolidasi dan kekacauan pemerintahan sangat mungkin terjadi.


Solusi atas maraknya kasus korupsi oleh para fungsionaris partai pemegang jabatan publik ini adalah penguatan kelembagaan partai, bukan membubarkannya. Kita memerlukan pembangunan lembaga, bukan penghancuran lembaga. Dari syarat-syarat pelembagaan partai yang dikonsepkan oleh banyak ilmuwan politik (seperti Randall dan Svasan, 2002; Mainwaring dan Torcal, 2005; atau Basedau dan Stroh, 2009), otonomi partai-keterlepasan partai dari seorang patron atau pihak di luar partai seperti para pengusaha-adalah sebuah prasyarat yang harus ada. Dalam hal ini, sumber pendanaan menjadi kunci otonomi partai.


Selama ini, partai bergantung pada dua sumber: oligarki dan politikus pemburu rente. Karena oligarki mempunyai sumber pendanaan yang melimpah dari kerajaan bisnisnya, partai tidak lagi otonom karena adanya seseorang atau sekelompok orang "pemegang saham" partai.


Di sisi lain, para fungsionaris partai diwajibkan menyetor ke organisasi. Artinya, semakin besar kontribusi politikus terhadap partai, semakin stabil atau naik posisi politiknya dalam kompetisi internal (intra-party politics). Kasus e-KTP baru-baru ini hanya salah satu contoh yang menjelaskan hal ini, selain kasus Hambalang di Partai Demokrat atau impor daging sapi di Partai Keadilan Sejahtera.


Artinya, satu hal yang penting untuk memenuhi aspek otonomi ini adalah subvention alias pembiayaan partai yang cukup oleh negara. Partai politik di Indonesia rentan terhadap potensi korupsi karena tidak adanya anggaran negara yang cukup berarti bagi berjalannya organisasi partai.


Pendanaan partai oleh negara pada dasarnya sudah dimulai pada 2000 sebesar Rp 1.000 per suara per tahun. Kemudian nilai itu direvisi pada 2005 menjadi Rp 21 juta per kursi per tahun. Lalu angka tersebut direvisi lagi pada 2010 menjadi Rp 108 per suara per tahun, yang bertahan hingga kini. Studi yang dilakukan Mietzner (2007) menyatakan bahwa pemangkasan anggaran untuk partai di Indonesia pada 2005 memperparah usaha-usaha yang dilakukan para politikus untuk mendapatkan dana negara secara ilegal.


Namun pembiayaan partai oleh negara masih "dicurigai" oleh kebanyakan orang. Padahal masuknya Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara ke institusi memberikan konsekuensi pada tuntutan atas transparansi dan akuntabilitas keuangan partai. Sanksi organisasi terhadap politikus partai yang korup sebenarnya terletak di sini: pemotongan alokasi dana partai, bukan pembubaran partai.

Berita terkait

KPK Arab Saudi Tangkap 241 Orang

16 Maret 2021

KPK Arab Saudi Tangkap 241 Orang

Lembaga Pengawasan dan Antikorupsi Arab Saudi menangkap 241 orang, termasuk pegawai beberapa kementerian, atas dugaan korupsi

Baca Selengkapnya

Kejaksaan Tinggi Riau Periksa 50 Saksi Korupsi Berjamaah APBD Pelalawan

31 Mei 2017

Kejaksaan Tinggi Riau Periksa 50 Saksi Korupsi Berjamaah APBD Pelalawan

Kejaksaan Tinggi Riau tengah mendalami dugaan korupsi berjemaah dana tak terduga pada Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) Pelalawan 2012.

Baca Selengkapnya

KPK Tegaskan Tak Butuh Revisi UU Nomor 30 Tahun 2002

17 Maret 2017

KPK Tegaskan Tak Butuh Revisi UU Nomor 30 Tahun 2002

uru bicara KPK, Febri Diansyah, mengatakan lembaganya tidak membutuhkan revisi Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi

Baca Selengkapnya

Kasus E-KTP, Dua Berkas Setebal 2,6 Meter Dilimpahkan

1 Maret 2017

Kasus E-KTP, Dua Berkas Setebal 2,6 Meter Dilimpahkan

Jaksa penuntut umum Komisi Pemberantasan Korupsi menyerahkan dua berkas dugaan korupsi e-KTP kepada Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta hari ini.

Baca Selengkapnya

Korupsi, Adik Ipar Raja Spanyol Divonis Bersalah

18 Februari 2017

Korupsi, Adik Ipar Raja Spanyol Divonis Bersalah

Pengadilan Spanyol membebaskan adik Raja Spanyol, Christina de Borbon, dalam kasus yang sama.

Baca Selengkapnya

Dua Guru Besar Nilai Revisi UU KPK Janggal, Ini Sebabnya

11 Februari 2017

Dua Guru Besar Nilai Revisi UU KPK Janggal, Ini Sebabnya

Saldi dan Elwi menilai revisi UU KPK hanya memperlemah kewenangan KPK dalam memberantas korupsi di Tanah Air.

Baca Selengkapnya

Indeks Persepsi Korupsi, KPK: Nangkepin Orang Itu Gak Keren  

11 Februari 2017

Indeks Persepsi Korupsi, KPK: Nangkepin Orang Itu Gak Keren  

Hasil pemeringkatan Indeks Korupsi Indonesia tahun-tahun sebelumnya bisa naik 2 poin, padahal jumlah operasi tangkap
tangan (OTT) lebih sedikit.

Baca Selengkapnya

Kasus Korupsi E-KTP, KPK: Lebih dari 4 Saksi Kembalikan Duit

9 Februari 2017

Kasus Korupsi E-KTP, KPK: Lebih dari 4 Saksi Kembalikan Duit

Dia memastikan di antara saksi-saksi itu ada anggota DPR yang ikut mengembalikan duit hasil korupsi.

Baca Selengkapnya

Suap Paspor, Begini Atase Imigrasi Malaysia Jadi Tersangka

8 Februari 2017

Suap Paspor, Begini Atase Imigrasi Malaysia Jadi Tersangka

Diduga menerima suap total Rp 1 miliar dalam penerbitan paspor menggunakan metode reach out tahun 2016 dan calling visa.

Baca Selengkapnya

Korupsi E-KTP, Bekas Anggota DPR Belum Justice Collaborator

6 Februari 2017

Korupsi E-KTP, Bekas Anggota DPR Belum Justice Collaborator

KPK telah mengembangkan semua informasi, data, dan bukti dalam
perkara dugaan korupsi pengadaan proyek kartu tanda penduduk
elektronik.

Baca Selengkapnya