DPD Aksesori Demokrasi

Penulis

Kamis, 6 April 2017 01:00 WIB

Sulardi
Dosen hukum tata negara Universitas Muhammadiyah Malang

Kabar tak sedap beredar beberapa waktu lalu yang menyebutkan bahwa saat ini beberapa anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD) masuk partai politik. Informasi terakhir, terdapat 27 anggota DPD yang terdaftar sebagai pengurus Partai Hanura. Jika ini benar, dapat diasumsikan ada anggota DPD lain yang terdaftar di partai politik juga. Ini mengacaukan sistem perwakilan bikameral yang sedang dibangun.

Konsekuensi dari amendemen UUD 1945 pada 1999-2002 menjadikan badan perwakilan di Indonesia mengalami perubahan, yang semula menganut monokameral menjadi bikameral, yang terdiri atas Dewan Perwakilan Rakyat yang mewakili partai politik dan DPD yang mewakili kepentingan daerah.

Ternyata terdapat kesenjangan yang mencolok antara peran DPR dan DPD. Peran DPR sangat besar, yang meliputi penyusunan undang-undang, pengawasan terhadap pelaksanaan undang-undang oleh presiden, dan penyusunan rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara. Bahkan, dalam hal pemberhentian presiden, DPR sangat berperan, dari pengajuan ke Mahkamah Konstitusi hingga pengambilan keputusan dalam pemberhentian presiden di sidang MPR. Ini karena jumlah anggota DPR yang melebihi 3/4 dari keseluruhan anggota MPR. Sedangkan DPD hanya mempunyai peran pelengkap, baik dalam penyusunan undang-undang, pengawasan terhadap pemerintah, maupun penyusunan APBN. Karena itu, checks and balances di lembaga legislatif tidak terjadi. Justru dominasi DPR atas presiden dalam ruang legislasi semakin kuat secara konstitusional.

Ketidaksetaraan kewenangan dan kedudukan antara DPR dan DPD se-sungguhnya dimulai sejak awal perubahan UUD. Pada perubahan pertama tahun 1999, peran legislasi dan politik lembaga legislatif sudah sepenuhnya diserahkan kepada DPR. Di awal pelaksanaan kewenangan DPR yang sangat kuat itu, dirasakan DPR mendominasi kekuasaan presiden. Dengan demikian, pada awal perubahan UUD ketiga tahun 2001, muncul wacana perlunya lembaga penyeimbang atas kewenangan DPR tersebut. Maka, hadirlah DPD.

Kewenangan DPD, yang dikonstruksi sebagai lembaga perwakilan daerah, sesungguhnya telah diambil habis oleh DPR, dari penyusunan undang-undang dan anggaran hingga proses seleksi atas pimpinan lembaga negara dan lembaga independen, seperti Komisi Pemberantasan korupsi. Pengaturan kewenangan DPD pun dipaksakan masuk dalam UUD, tapi tidak secara optimal. Misalnya, Pasal 22D ayat 1 UUD 1945 menyatakan bahwa DPD dapat mengajukan ke DPR rancangan undang-undang yang berkaitan dengan otonomi daerah dan hal kedaerahan lainnya.

Dengan kewenangan yang tidak optimal itu, pada 2008, semua anggota DPD menginisiasi usul perubahan UUD, tapi kandas karena tidak dipenuhinya persyaratan pengajuan usul perubahan UUD, yakni diusulkan sekurang-kurangnya sepertiga dari jumlah anggota MPR. Kegagalan itu juga terjadi karena substansi usulan yang lebih memfokuskan optimalisasi wewenang, tugas, dan kedudukan DPD.

Pada 2013, DPD menempuh cara lain: melalui campur tangan Mahkamah Konstitusi. Pada 28 Maret 2013, Mahkamah melalui putusan nomor 92/PUU-X/2012 mengabulkan permohonan DPD untuk sebagian atas pengujian pasal-pasal dalam Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2009 tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD yang bertentangan dengan UUD 1945. Pada intinya, DPD kini mempunyai kewenangan yang sederajat dengan DPR dan presiden dalam penyusunan undang-un-dang, khususnya yang berkaitan de-ngan otonomi daerah dan hal kedaerahan lainnya.

Namun tetap saja mekanisme persetujuan atas rancangan undang-undang itu dilakukan bersama DPR dan presiden. Artinya, walaupun melalui keputusan MK, kedudukan dan kewenangan DPD dalam menyusun undang-undang naik kelas, tapi kedudukannya masih di bawah DPR dan presiden.

Bergabungnya anggota DPD ke partai politik tertentu itu sesungguhnya merupakan cara anggota DPD untuk mendapat perhatian masyarakat maupun pengamatan ketatanegaraan dan politik serta politikus. Ini mengingatkan bahwa sejak awal DPD hanyalah aksesori demokrasi di Indonesia.

Perlu perombakan besar-besaran untuk menunjukkan bahwa DPD bukanlah aksesori demokrasi. Pertama, jumlah anggota DPD ditambah sesuai jumlah kabupaten dan kota yang berada di provinsi yang diwakilinya. Kelak jumlah DPD sama dengan jumlah kota dan kabupaten di Indonesia. Kedua, peran dan wewenang DPD di tingkat hingga setara dengan DPR. Ketiga, salah satu tugas anggota DPD adalah melakukan pengawasan terhadap pelaksanaan otonomi daerah di kota atau kabupaten asalnya. Keempat, segera mengagendakan perubahan kelima UUD 1945 untuk merealisasikan gagasan ini.

Berita terkait

Presiden Jokowi dalam Sorotan Aksi Hari Buruh Internasional Kemarin

1 hari lalu

Presiden Jokowi dalam Sorotan Aksi Hari Buruh Internasional Kemarin

Aksi Hari Buruh Internasional pada Rabu kemarin menyoroti janji reforma agraria Presiden Jokowi. Selain itu, apa lagi?

Baca Selengkapnya

Massa Aksi May Day Bakar Baliho Jokowi dan Hakim MK Sebagai Bentuk Kekecewaan

1 hari lalu

Massa Aksi May Day Bakar Baliho Jokowi dan Hakim MK Sebagai Bentuk Kekecewaan

Peserta aksi Hari Buruh Internasional atau May Day membakar baliho bergambar Presiden Jokowi di kawasan Patung Arjuna Wijaya, Jakpus

Baca Selengkapnya

Dosen Filsafat UGM Sebut Pentingnya Partai Oposisi: Jika Tidak Ada, Maka Demokrasi Tambah Merosot Jauh

3 hari lalu

Dosen Filsafat UGM Sebut Pentingnya Partai Oposisi: Jika Tidak Ada, Maka Demokrasi Tambah Merosot Jauh

Keberadaan partai oposisi sangat penting untuk memberikan pengawasan dan mengontrol jalannya pemerintahan. Ini pendapat dosen filsafat UGM.

Baca Selengkapnya

Mengenal Fungsi Oposisi dalam Negara Demokrasi

3 hari lalu

Mengenal Fungsi Oposisi dalam Negara Demokrasi

Isu tentang partai yang akan menjadi oposisi dalam pemerintahan Prabowo-Gibran kian memanas. Kenali fungsi dan peran oposisi.

Baca Selengkapnya

Koalisi Prabowo Rangkul PKB dan Partai Nasdem Bahayakan Demokrasi

6 hari lalu

Koalisi Prabowo Rangkul PKB dan Partai Nasdem Bahayakan Demokrasi

Upaya Koalisi Prabowo merangkul rival politiknya dalam pemilihan presiden seperti PKB dan Partai Nasdem, berbahaya bagi demokrasi.

Baca Selengkapnya

Dosen Politik Universitas Udayana Sebut 5 Skenario Potensial Putusan Sengketa Pilpres oleh Hakim MK

12 hari lalu

Dosen Politik Universitas Udayana Sebut 5 Skenario Potensial Putusan Sengketa Pilpres oleh Hakim MK

Dosen Ilmu Politik Universitas Udayana (Unud) prediksi 5 skenario potensial putusan MK sengketa Pilpres 2024 yang akan di gelar Senin, 22 April 2024

Baca Selengkapnya

Kelompok Pemantau Eopa: Pemilu Turki Belum Sepenuhnya Kondusif bagi Demokrasi

31 hari lalu

Kelompok Pemantau Eopa: Pemilu Turki Belum Sepenuhnya Kondusif bagi Demokrasi

Kelompok pemantau pemilu dari Dewan Eropa mengatakan lingkungan pemilu Turki masih terpolarisasi dan belum sepenuhnya kondusif bagi demokrasi.

Baca Selengkapnya

Respons Bambang Widjojanto Soal MK Panggil 4 Menteri Jokowi Jadi Saksi Sengketa Pilpres

31 hari lalu

Respons Bambang Widjojanto Soal MK Panggil 4 Menteri Jokowi Jadi Saksi Sengketa Pilpres

Bambang Widjojanto menilai MK ingin sungguh-sungguh memeriksa setiap bukti dalam sidang sengketa Pilpres 2024.

Baca Selengkapnya

Ketika Ganjar dan Mahfud Md Kompak Berharap MK Selamatkan Demokrasi

36 hari lalu

Ketika Ganjar dan Mahfud Md Kompak Berharap MK Selamatkan Demokrasi

Mahfud Md berharap MK mengambil langkah penting untuk menyelamatkan masa depan demokrasi dan hukum di Indonesia.

Baca Selengkapnya

Ganjar dan Mahfud Bakal Singgung Kemunduran Demokrasi di Sidang Sengketa Pilpres

36 hari lalu

Ganjar dan Mahfud Bakal Singgung Kemunduran Demokrasi di Sidang Sengketa Pilpres

Mahkamah Konstitusi menjadwalkan pemeriksaan pendahuluan kepada Ganjar dan Mahfud, hari ini, pukul 13.00 WIB.

Baca Selengkapnya