Besarnya semangat bakal pemimpin baru Daerah Khusus Ibu Kota Jakarta mengenalkan program Kartu Jakarta Jomblo (KJJ) menunjukkan kelengahan dalam menentukan prioritas program kerja. Menjadikan urusan jomblo-pria atau wanita yang belum punya pasangan hidup-sebagai program resmi pemerintah, selain terkesan main-main, mencerminkan cara pandang yang salah terhadap warga berstatus lajang ini.
Program KJJ berulang kali disampaikan Sandiaga Uno, dimulai saat kampanye lalu hingga sekarang. Ia menyebutkan program ini bertujuan memastikan setiap warga Jakarta bisa memiliki pasangan hidup. Dengan memiliki KJJ, para lajang itu bisa mengikuti kegiatan yang difasilitasi pemerintah. Kegiatan itu, misalnya, berupa acara-acara di ruang publik terpadu ramah anak (RPTRA) dan nonton bareng.
Barangkali agar KJJ terlihat lebih serius, Sandiaga mengatakan kebijakan itu merupakan turunan dari program kampanyenya: OK OCE (one kecamatan one center of entrepreneurship) dan program penyediaan rumah dengan down payment nol rupiah. Sandiaga beralasan program KJJ penting untuk mengantisipasi penurunan populasi seperti yang terjadi di kota-kota besar dunia, misalnya di Singapura.
Tak terlalu jelas apa yang dimaksudkan penurunan populasi itu. Jika merujuk pada tingkat pertumbuhan penduduk Jakarta, memang benar angkanya terus menurun. Pertumbuhan jumlah warga Ibu Kota pada 2016 adalah 1,13 persen. Ini lebih kecil dibanding periode 2000-2010, yang sebesar 1,43 persen. Bahkan angka itu lebih kecil lagi dibanding dekade 1980-1990 yang sebesar 2,42 persen. Namun Sandiaga lupa bahwa penurunan angka itu memang disengaja lewat program Keluarga Berencana. Lagi pula, apakah sudah kasatmata bahwa Jakarta yang padat dan sesak ini memang akan kekurangan penduduk?
Sandiaga juga luput melihat bahwa saat ini Jakarta justru menerima bonus demografi, yakni jumlah penduduk usia muda (>40 persen) jauh lebih besar ketimbang usia tua (15 persen). Artinya, Ibu Kota kebanjiran warga usia produktif. Mereka siap bertarung di Jakarta. Mereka inilah yang mesti diurus dengan menyediakan lapangan pekerjaan, kebutuhan dasar, dan fasilitas publik yang cukup. Jika tidak, bonus itu justru menjadi beban.
Amat disayangkan jika program KJJ nantinya digelar, salah satunya, di RPTRA. Alasannya, selama ini tidak banyak kegiatan di sana. Tujuan RPTRA sejatinya adalah menyediakan ruang interaksi bagi warga permukiman. Jika Sandiaga banyak turun ke lapangan, dia akan tahu bahwa ruang itu sangat meriah oleh kegiatan warga. Menjadikan RPTRA sebagai ruang khusus bagi para jomblo sama saja dengan merampas hak publik yang lebih luas.
Memandang jomblo sebagai entitas yang memerlukan perlakuan khusus sejatinya merendahkan mereka. Cara pandang begini dilandasi pikiran bahwa para lajang adalah orang-orang yang "belum lengkap".
Tak ada salahnya menjadi bujangan. Setiap orang hanya layak dinilai berdasarkan kontribusinya bagi masyarakat, bukan berdasarkan apakah ia lajang atau berpasangan.