Membongkar 32 Tahun yang Sunyi  

Penulis

Selasa, 30 September 2014 06:44 WIB

Poster film The Look Silence (2014)



TEMPO.CO
, Jakarta- Joshua Oppenheimer memukau sekaligus mengguncang dengan film dokumenternya yang terbaru. Sekuel film “Act of Killing” dengan pendekatan personal.

***


Ia meletakkan sekeping lensa di depan matanya dan bertanya apakah bapak sepuh itu sudah bisa jelas melihat pemandangan di hadapannya.

“Tidak...belum,” kata sang bapak tua. Sang optometris, bernama Adi Rukun, menambahkan sekeping lensa lagi, “ini?”

Lelaki tua bertubuh kurus itu bernama Inong. Giginya sudah menghilang, matanya sudah rabun—dan karena itulah Adi Rukun mengunjunginya untuk mengecek matanya—tetapi suaranya masih lantang dan ingatannya tentang peristiwa 50 tahun silam sungguh terang benderang. Dia membunuh begitu banyak orang. Dia Kepada sutradara film ini dia bercerita bagaimana dia membunuh Ramli dan melempar tubuhnya ke sungai.

Adi Rukun, adik Ramli, datang kepadanya. Untuk memperbaiki penglihatan Inong yang sudah rabun. Dan, mungkin ---sekali lagi, mungkin—untuk membuka nurani lelaki ringkih yang ternyata di masa muda adalah salah satu pimpinan gerakan anti komunis di desanya di Deli Serdang setelah pecahnya tragedi 1965.
Tentu saja itu tak terjadi. Pertanyaan demi pertanyaan Adi Rukun membuat Inong merasa tak nyaman. “Kamu sudah mulai bicara politik. Saya tidak mau jawab,” kata Inong dengan lantang. Saat itu dia tak lagi seperti seorang kakek ringkih. Ada sejarah kelam yang menumpuk di balik matanya yang membutuhkan lensa itu.


Ini adalah sebagian adegan film “The Look of Silence” karya Joshua Oppenheimer terbaru yang berhasil meraih penghargaan Grand Jury Prize di Festival Film Venice tahun ini. Sekuel ini, seperti juga film pertamanya, masih berkisah tentang para pelaku pembunuhan tahun 1965-1966 dan juga masih berkisar propinsi Sumatera Utara, tepatnya Kabupaten Deli Serdang. “Act of Killing” mengguncang dunia karena Oppenheimer menampilkan narasumber yang dengan bangga menceritakan bagaimana mereka membantai “para pendukung komunis” itu dan betapa tokoh-tokoh politik yang masih berkuasa dengan enteng menganggap peristiwa itu memang sesuatu yang wajar. Maka “The Look of Silence” adalah sebuah dokumentasi yang lebih personal dan, karena itu, jadi lebih memukau.

Oppenheimer menggunakan suara Adi Rukun sebagai perwakilan dari banyak orang, korban atau bukan korban, yang selalu mempertanyakan lubang gelap dalam sejarah Indonesia. Tetapi Adi adalah sosok istimewa. Adi, 44 tahun, putera dari sepasang suami isteri usia dari Jawa Timur yang menetap di salah satu desa di Deli Serdang. Sesekali kita diperlihatkan bagaimana sang ibu memandikan dan menyuapi ayah Adi yang sudah sangat tua, pikun dan butuh bantuan untuk bisa bergerak. Sang Ayah sudah tak mengenal siapapun dan mengaku “berusia 16 tahun”. Situasi sang Ayah yang membuat pilu dikombinasi dengan sang Ibu yang selalu merindukan Ramli, putera sulungnya yang hilang dibunuh, membuat film ini menjadi sangat personal hampir menyerupai sebuah film fiksi layar lebar. Tetapi justru karena ini adalah sebuah film doku-drama, yang memperlihatkan kehidupan nyata, maka kesedihan itu semakin menikam.

Puluhan tahun berlalu, tetapi para pembunuh Ramli dan korban lainnya masih hidup dengan tenang dan sentosa di tanah yang sama dengan keluarga Adi Rukun. Adi kemudian lebih mengetahui secara rinci tentang peristiwa pembunuhan terhadap abangnya melalui rekaman dokumenter Joshua Oppenheimer yang dilakukan beberapa tahun silam. Dari rekaman itu, Adi melihat bagaimana Inong dan Amir Hasan menyiksa Ramli dan membuang tubuhnya ke Sungai Pekong. Dari rekaman itu pula, Adi mengetahui kekejian demi kekejian yang terjadi pada siapapun yang masuk daftar yang harus diburu.

Adi memutuskan untuk mengunjungi orang-orang di Kabupaten Deli Serdang yang mengaku ikut dalam pembunuhan anggota dan simpatisan PKI atau Gerwani (“saya memotong payudaranya, lalu baru lehernya,” kata salah satu narasumber). I Kita tak pernah tahu tujuan Adi, apakah dia ingin mengkonfrontasi, ingin mendengar sebuah pengakuan atau penyesalan atau pertobatan

Adi menghadapi beragam reaksi dari setiap narasumber yang diwawancarainya. Inong tampak marah dan defensif karena dia merasa itulah tindakan yang harus dilakukan pada zamannya. Ada saat Adi mengunjungi salah satu narasumber bernama Samsir yang selama wawancara didampingi anak perempuannya. Samsir mengaku membunuh orang. Begitu Adi menyampaikan bahwa ia adalah adik Ramli yang juga menjadi korban, Samsir diam, sementara anaknya segera menyampaikan permintaan maaf. Bagian ini seperti sebuah perwakilan mereka yang percaya bahwa sebelum maju ke masa depan, pengakuan dan permaafan adalah sesuatu yang penting. Paling tidak bagi Adi dan bagi puteri Samsir.

Ada lagi keluarga Amir-Hasan yang dijumpai beberapa tahun setelah Amir wafat. Pada pertemuan yang semula santun dan beradab ini, suasana menjadi tak nyaman ketika akhirnya Adi mengungkap siapa dirinya. Isteri dan sanak saudara Amir Hasan menolak untuk menyaksikan rekaman yang dibuat Joshua –yang selalu mendampingi Adi Rukun—yang berisi pengakuan Amir dan Inong tentang peristiwa pembantaian terhadap Ramli dan korban-korban lainnya.

Dari beberapa orang yang ditemuinya, tentu yang paling menyayat hati adalah pertemuan antara Adi Rukun dengan pamannya sendiri yang di tahun-tahun pembantaian bekerja sebagai sipir penjara. Tentu saja sang paman, adik dari ibu Adi, tidak bertanggung-jawab langsung atas kematian Ramli. Tetapi dia bekerja sebagai bagian dari mesin besar itu. Itu bukan saja mengejutkan Adi (dan ibunya yang ternyata tak mengetahui kerja adiknya pada tahun-tahun kelam itu), tetapi juga menusuk hati saat menyadari betapa mereka memang berada di spektrum yang berlawanan. Paman Adi tampak tidak menyesali perannya.

“Kalau saya tolak, mereka membunuh kita, awak jaga keamanan. Mereka tak pernah salat.....berani-beraninya kau menyalahkan saya....” suara sang paman meninggi. Suasana menjadi masam. Wajah Adi tampak terluka.

“Saya melakukannya untuk membela negara,” pamannya menutup pembicaraan dengan kalimat yang sering diulang-ulang mereka sebagai justifikasi.

Beberapa kali kamera Lars Skree menyorot reaksi Adi dari dekat. Sedih, marah, kecewa bercampur baur. Hal-hal yang tak terkatakan oleh Adi Rukun terekam dalam sunyi, tetapi Joshua Oppenheimer tahu keheningan itu berbicara tentang hati Adi dengan jelas.

Benang merah antara kedua film karya Oppenheimer –yang juga diproduksi oleh sineas terkemuka Werner Herzog—adalah kisah para pembantai yang terang-terangan mengaku sebagai pembunuh anggota, simpatisan komunis atau anggota organisasi yang berkaitan (atau dianggap berkaitan dengan PKI). Tak ada penyesalan, sikap pertobatan apalagi permintaan maaf. Semua itu dianggap sebagai tindak laku kepahlawanan. Tetapi justru ada satu kalimat menarik yang tidak dikembangkan oleh sang sutradara. Inong mengucapkan bahwa tentara tak pernah melakukan eksekusi itu. Mereka hanya membiarkan pemimpin desa dan warganya yang melakukannya. Bayang-bayang tentara , yang sebetulnya berkepentingan dalam pembantaian massal se Indonesia itu terasa sekelebat belaka, karena nampaknya Oppenheimer ingin menyorot pelaku dan korban dari kalangan ‘biasa’.

Tetapi penonton yang kritis dan cerdas—yang tak mengikuti sejarah Indonesia—sudah pasti akan bertanya tentang konteks: bagaimana bisa warga di sebuah negara kepulauan nun jauh di timur sana memiliki perasaan yang sama terhadap komunisme di sebuah masa setengah abad silam? Dari mana pula akar kebencian –yang kemudian berkembang menjadi kekejian yang membuat mereka beramai-ramai menerabas sesama warga bak binatang?

Bahwa tentara punya andil yang sangat besar dengan peristiwa ini, tentu tak menghilangkan fakta bahwa warga Indonesia menjadi bagian dari pembantai itu. Tetapi menampilkan sebuah kisah , sepersonal apapun, akan selalu lebih lengkap jika diberi konteks kesejarahan yang lebih luas, apapun caranya. Oppenheimer sekelumit memperlihatkan adegan diskusi Adi Rukun dengan anaknya yang mendapat pelajaran sejarah di kelas tentang jahatnya PKI dan para pengikutnya, sebuah indoktrinasi yang hingga kini masih terus berlangsung. Diskusi itu menarik dan penting, dan seharusnya persoalan ‘lubang besar’ dalam sejarah Indonesia itu juga diangkat untuk melengkapi konteks.

Dari sisi sinematik, “The Look of Silence” menyajikan bahasa gambar yang lebih berbicara dibanding ‘kakak’nya film “Act of Killing”. Visual yang mengikat kita, hingga kita sama sekali tak bisa berhenti menyaksikan –bahkan untuk sedetikpun—dan dialog yang pendek dan serba menegangkan, membuat film ini jauh lebih menggebrak.

Selama 32 tahun, Indonesia membisu tentang derasnya darah yang mengucur dari korban yang diterabas, digolok, dipenggal, dibuang ke sungai, digantung, ditusuk atau dikerat. Indonesia selama ini, sebelum dan sesudah 1998, masih membisu, pura-pura tak tahu, tak faham, tak peduli, tak mau pusing. Tentu beberapa gelintir sudah mulai berbicara melalui diskusi, hasil penelitian , karya seni dan gugatan-gugatan sporadis di sana-sini yang dianggap remeh. Joshua Oppenheimer beserta seluruh timnya, dan para kreator lainnya sudah membuka pintu diskusi itu. Jawaban kini ada pada kita semua: rakyat, media, pemerintah.

Leila S.Chudori


The Look of Silence (Senyap)
Sutradara: Joshua Oppenheimer dan Anonim
Sinematografi : Lars Skree
Produksi: Final Cut for Real (Denmark)
Tahun: 2014







Advertising
Advertising

Berita terkait

Pemeran Film The Idea of You

1 jam lalu

Pemeran Film The Idea of You

Film The Idea of You tayang di Prime Video pada 2 Mei 2024

Baca Selengkapnya

Vina: Sebelum 7 Hari, Sinopsis dan Para Pemerannya

19 jam lalu

Vina: Sebelum 7 Hari, Sinopsis dan Para Pemerannya

Film horor Vina: Sebelum 7 Hari disutradarai oleh Anggy Umbara akan rilis pada 8 Mei 2024

Baca Selengkapnya

Tujuan Hanung Bramantyo Potong Adegan dan Ganti Judul Film Tuhan, Izinkan Aku Berdosa

3 hari lalu

Tujuan Hanung Bramantyo Potong Adegan dan Ganti Judul Film Tuhan, Izinkan Aku Berdosa

Sutradara Hanung Bramantyo menyebut film Tuhan, Izinkan Aku Berdosa awalnya hadir delam dua versi, 21+ dan 17+.

Baca Selengkapnya

Glenn Fredly The Movie: Momentum Setelah Opname hingga Pengisi Vokal dalam Film

7 hari lalu

Glenn Fredly The Movie: Momentum Setelah Opname hingga Pengisi Vokal dalam Film

Film drama biopik Glenn Fredly The Movie mulai tayang di seluruh bioskop Indonesia pada Kamis, 25 April 2024

Baca Selengkapnya

Sinopsis The Fall Guy yang Dibintangi Ryan Gosling

9 hari lalu

Sinopsis The Fall Guy yang Dibintangi Ryan Gosling

The Fall Guy film aksi stuntman produksi Universal Pictures yang tayang di bioskop Indonesia, pada Rabu, 24 April 2024

Baca Selengkapnya

Bamsoet Dukung FKPPI Produksi Film Anak Kolong

9 hari lalu

Bamsoet Dukung FKPPI Produksi Film Anak Kolong

Bambang Soesatyo mengungkapkan, keluarga besar FKPPI akan segera memproduksi atau syuting film "Anak Kolong".

Baca Selengkapnya

Peluncuran Ulang Film The Beatles 'Let it Be' Didahului Perilisan Buku 'All You Need Is Love'

15 hari lalu

Peluncuran Ulang Film The Beatles 'Let it Be' Didahului Perilisan Buku 'All You Need Is Love'

Buku tentang The Beatles diluncurkan menjelang rilis ulang film Let It Be

Baca Selengkapnya

Next Stop Paris, Film Romantis Hasil Kecanggihan AI

17 hari lalu

Next Stop Paris, Film Romantis Hasil Kecanggihan AI

Produsen TV asal Cina, TCL, mengembangkan film romantis berbasis AI generatif.

Baca Selengkapnya

7 Rekomendasi Film Fantasi yang Terinspirasi dari Cerita Legenda dan Dongeng

18 hari lalu

7 Rekomendasi Film Fantasi yang Terinspirasi dari Cerita Legenda dan Dongeng

Film fantasi yang terinspirasi dari cerita legenda dan dongeng, ada The Green Knight.

Baca Selengkapnya

8 Film Terbaik Sepanjang Masa Berdasarkan Rating IMDb

21 hari lalu

8 Film Terbaik Sepanjang Masa Berdasarkan Rating IMDb

Untuk menemani liburan Idul Fitri, Anda bisa menonton deretan film terbaik sepanjang masa berdasarkan rating IMDb berikut ini.

Baca Selengkapnya